Vaksinasi Bagi Difabel dan Ibu Hamil Jadi Prioritas

123

Pengumuman Kabupaten Bombana

Seorang ibu hamil menerima vaksin COVID-19 Sinovac di Surabaya, 19 Agustus 2021. (Foto: JUNI KRISWANTO/AFP)
Seorang ibu hamil menerima vaksin COVID-19 Sinovac di Surabaya, 19 Agustus 2021. (Foto: JUNI KRISWANTO/AFP)

JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Kelompok rentan, seperti difabel dan ibu hamil, mulai menerima vaksinasi di daerah. Upaya ini meminimalkan resiko infeksi Covid-19 bagi mereka, sekaligus untuk mengejar target jumlah warga yang divaksin.

 

Dewi, warga Semarang, Jawa Tengah antusias mengantar Kayla -anaknya yang difabel- mengikuti vaksinasi. Siswi SMP itu, ujar Dewi, berkali-kali menanyakan kesempatan menerima vaksin karena rindu datang ke sekolah.

“Kemarin faktor utama saya mencari vaksin untuk anak-anak, karena mungkin mau akan pembelajaran tatap muka ya. Anak-anak juga memang sudah kangen sekolah, dia sendiri merasa banyak enggak pahamnya ketika pembelajaran daring, sementara kalau berangkat sekolah belum vaksin, agak was-was,” kata Dewi.

Sebagai pendamping, Dewi juga turut menerima vaksinasi pada saat bersamaan. Pemerintah memilih vaksin Sinopharm untuk kelompok penerima ini. Dewi sendiri tidak mempermasalahkan merk vaksin, karena menurutnya yang terpenting dia terbantu dalam menghadapi ancaman Covid-19.

“Apapun jenis vaksinnya selama itu minimal bisa bikin tameng buat kita, ya oke aja. Pemerintah sudah cukup berusaha untuk itu. Jangan takut vaksin, banyak komunitas (difabel-red) yang bisa memfasilitasi. Manfaatkan untuk kepentingan bersama,” pesannya.

 

Jawa Tengah telah menerima alokasi vaksin Sinopharm bagi 69.840 penyandang disabilitas. Program vaksinasi ini akan berlangsung pekan ini hingga Oktober. Indonesia sendiri menerima hibah vaksin Sinopharm bagi 225 ribu difabel dari Uni Emirat Arab.

Direktur Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAP), Suharto mengatakan, vaksinasi bagi kelompok difabel lebih kompleks pengelolaannya. Dia menyebut, ada lima masalah yang harus diatasi agar upaya ini membawa dampak maksimal. Persoalan pertama yang perlu pemecahan adalah transportasi. Karena kegiatan vaksinasi biasanya diselenggarakan secara terpusat di lokasi tertentu, kata Suharto, ada sebagian difabel yang kesulitan dalam mengakses transportasi ke tempat itu. Faktornya bisa beragam, mulai karena ketiadaan biaya hingga tidak ada alat transportasi yang memudahkan mereka.

“Kalau yang tidak bisa karena berbagai alasan, sebaiknya ada fasilitas jemput bola, artinya pemberi vaksin yang datang ke rumah-rumah. Ini perlu diatur, agar memudahkan teman-teman yang kesulitan untuk bisa mendapatkan vaksin di pusat vaksinasi,” kata Suharto dikutip dari voaindonesia.com.

Faktor kedua yang butuh solusi adalah soal informasi. Sejauh mana pemerintah mampu menyampaikan informasi kepada difabel, sesuai disabilitas yang mereka miliki. Kelompok difabel juga menerima hoaks terkait vaksin secara masif, yang membuat sebagian ragu menerimanya. Salah satunya terkait Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).

Masalah data, kata Suharto juga menjadi beban. “Siapa yang sudah divaksin, siapa yang belum. Ini datanya bagaimana. Belum lagi teman-teman difabel yang tidak punya Nomor Induk Kependudukan (NIK) karena oleh keluarganya disembunyikan, terutama yang disabilitas psikososial,” tambahya.

Masalah keempat adalah soal komunikasi. Penyelenggara vaksinasi bagi difabel harus menyediakan dukungan komunikasi di lokasi vaksin, misalnya juru bahasa isyarat. Sedangkan faktor kelima yang butuh pencermatan adalah soal tempat. Penyelenggaraan vaksinasi harus mempertimbangkan sarana dan prasarana yang mendukung seluruh difabel. Harus dicek apakah lokasi tersebut memiliki ramp yang memudahkan pengguna kursi roda, blok pemandu bagi difabel netra atau toilet khusus bagi mereka.

 

Kelompok rentan lain yang mulai menerima vaksin pekan ini adalah ibu hamil. Kamis (19/8), ada 1.100 ibu hamil menerima vaksin di Gedung Grha Sabha Pramana, Universitas Gadjah Mada. Mereka merupakan bagian dari total target 13.346 ibu hamil dengan rentang kehamilan 13-33 pekan di DIY yang akan divaksin. Proses vaksinasi dilakukan lebih hati-hati, sehingga masing-masing penerima membutuhkan waktu hingga 15 menit untuk melewati tahap pendaftaran, skrining, penyuntikan. Observasi juga dilakukan pasca penyuntikan.

Proses skrining penting agar ibu hamil tidak mengalami kontraindikasi terhadap vaksin, sedangkan observasi dilakukan guna memantau kondisi pasca penyuntikan.

Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Prof. dr. Ova Emilia menyebut peran penting vaksinasi bagi ibu hamil.

“Akhir-akhir ini mortalitas ibu hamil meningkat, dan memang ibu hamil merupakan kelompok risiko tinggi sehingga perlu peningkatan daya tahan tubuh,” ujarnya.

Ibu hamil merupakan salah satu kelompok paling rentan. Pasalnya jika seorang ibu hamil terinfeksi Covid-19, maka dia memiliki risiko lebih besar mengalami perburukan dan memerlukan perawatan di ruang intensif. Kemungkinan itu makin diperburuk dengan perkembangan varian Delta yang kini menyebar di Tanah Air.

Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) telah merekomendasikan vaksinasi sebagai upaya preventif standar bagi ibu hamil untuk mencegah dampak buruk Covid-19.

“Rekomendasi POGI, segera lakukan percepatan dan perluasan vaksinasi ibu hamil. Terutama yang tinggal di daerah transmisi infeksi tinggi atau tenaga kesehatan, ibu hamil risiko tinggi, atau ibu hamil risiko rendah,” kata dr. Irwan Taufiqur Rachman SpOG(K) dari POGI DI Yogyakarta.

Kementerian Kesehatan sendiri sudah membagikan surat edaran yang menyebut vaksinasi bagi ibu hamil dapat diberikan mulai 2 Agustus 2021. Vaksin yang dapat digunakan untuk ibu hamil ini adalah Pfizer, Moderna, dan Sinovac. Pemberian dosis pertama vaksinasi bagi ibu hamil dilakukan pada kehamilan trimester kedua. Sedangkan pemberian dosis kedua, menyesuaikan interval dari jenis vaksin yang dipakai. [ns/ah/VOA]

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

BERITA TERBARU