Bersengketa Soal Tanah, Warga Desa Polindu Minta Solusi DPRD Buteng
BUTON TENGAH, LENTERASULTRA.COM-Rencana pemerintah desa (Pemdes) Polindu, di Kecamatan Mawasangka membangun gedung sanggar seni terpaksa tertunda. Pasalnya, tanah yang disiapkan sebagai lokasi pembangunan ternyata diklaim oleh salah seorang warga desa sebagai lahan miliknya. Selember sertifikat diajukan sebagai bukti. Sedangkan pemerintah juga punya dokumen serupa juga.
Urusan ini akhirnya sampai ke gedung wakil rakyat di DPRD Buton Tengah. Ada forum bernama Front Masyarakat Polindu Menggugat yang mengadukan hal ini sehingga langsung disikapi. Rapat dengar pendapat guna mencari solusi masalah pun digelar Senin (7/8/2023) lalu. Semua pihak yang terkait diajak duduk bersama, termasuk dari pemerintah kabupaten.
Setelah melalui proses diskusi alot di ruang rapat dewan, Ketua Komisi I DPRD Buteng, La Ode Ali Alam yang memimpin jalannya rapat sampai pada satu kesimpulan yakni sengketa tanah itu memang pelik dan tak bisa selesai di dewan. Alasannya, dua pihak yang mengklaim berhak atas tanah itu sama-sama memiliki legalitas hukum.
“Jadi, melalu forum ini kami hanya mengeluarkan dua rekomendasi yang tidak merugikan kedua pihak, baik pemerintah desa maupun warga yang tanahnya dianggap diambil,” terang La Ode Ali Alam, Ketua Komisi I DPRD Buteng. Dua solusi jangka pendek itu, kata Ali Alam, salah satunya adalah sebaiknya lokasi pembangunan sanggar seni digeser ke tanah yang bebas sengketa.
Sementara rekomendasi kedua, kata legislator ini adalah meminta pemerintah desa didampingi Bagian Hukum Pemda Buteng, untuk melakukan upaya hukum penyelesaian tanah sengketa ke lembaga yang berwewenang. “Susah kita mau memutuskan siapa lebih berhak, karena sama-sama punya sertifikat,” tukas La Ode Ali Alam.
Anggota Fraksi Partai NasDem ini menyampaikan, warga bernama Diman Safaat yang mengaku sebagai ahli waris bisa menunjukan sertifikat atas tanah itu yang keluar pada tahun 2000. Itu juga dibenarkan oleh mantan kepala desa sebelumnya (periode 1998-2006) di masa pemerintahannya.
Sedangkan sebaliknya pernyataan data kepala desa saat ini, membenarkan desa secara hukum bahwa mareka memiliki sertifikat aset desa tahun 1989 di masa pemerintahan mantan kepala desa (1985-1998). “Ini berarti terjadinya tumpang tindih sertifikat di atas sertifikat. Jadi, kita keluarkan rekomendasi solusi saja. Soal siapa pemilik sahnya, nanti hukum yang putuskan,” ucapnya.
Ia berharap, kesepakatan tersebut dapat didengarkan dan difahami kedua belah pihak untuk tidak ada lagi konflik permasalahan berkaitan persoalan sengeketa tanah ini. Kemudian jika memang tak bisa diselesaikan dengan baik, maka jalur hukum adalah tempat paling tepat tempat untuk membuktikan kebenaran dan klaim masing-masing pihak. (ADV)