Hanya Indonesia dan Vietnam yang Berkomitmen Stop Deforestasi di 2030
JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN) menjadi sorotan karena dinilai tidak berkomitmen terhadap aksi iklim global. Melansir dari asiatoday.id, lebih dari 100 negara telah menandatangani janji untuk menghentikan laju degradasi hutan dan lahan (deforestasi) pada tahun 2030 sebagai langkah nyata untuk memerangi perubahan iklim dan membatasi kenaikan suhu global.
Namun, terlepas dari penandatangan beberapa penjaga hutan terbesar di dunia, termasuk Brasil, Indonesia dan Republik Demokratik Kongo, sebagian besar negara di Asia Tenggara justru tidak membuat komitmen. Bahkan di antara negara-negara anggota ASEAN, hanya Indonesia dan Vietnam yang telah berkomitmen.
Berdasarkan deklarasi tersebut, dana publik sebesar USD12 miliar akan dimobilisasi selama lima tahun ke depan di negara-negara berkembang, selain pendanaan tambahan yang akan disediakan oleh sektor swasta. Hutan sangat penting dalam upaya memperlambat timbulnya perubahan iklim. World Resources Institute memperkirakan, hutan menyerap hampir sepertiga dari semua emisi karbon. Tetapi efektivitasnya dikompromikan oleh aktivitas manusia, termasuk deforestasi yang sedang berlangsung.
Asia Tenggara adalah rumah bagi hampir 15 persen hutan tropis dunia, namun juga memiliki salah satu tingkat deforestasi tercepat. Sementara area hutan yang luas telah hilang, yang tersisa adalah simpanan karbon penting yang menurut para ilmuwan perlu dilindungi.
Nonette Royo, pengacara Hak Asasi Manusia dan lingkungan dan Direktur Eksekutif Fasilitas Tenurial, yang bekerja dengan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan lestari, mengaku kecewa terhadap negara-negara Asia Tenggara dengan tanggung jawab penting untuk melestarikan hutan tidak menandatangani deklarasi tersebut.
“Itu benar-benar mengecewakan. Bagi saya, itu ada dalam daftar keinginan kami agar negara-negara itu maju, ”katanya kepada CNA di sela-sela COP-26.
“Tapi itu tidak meniadakan gerakan di negara-negara. Di semua negara itu, masih ada orang yang memetakan, mendokumentasikan dan menunggu ketika ada kesempatan untuk mendaftarkan hak-hak itu ke dalam sistem, ”katanya.
Sementara itu, lebih dari selusin negara, termasuk Amerika Serikat (AS), berjanji pada Selasa (2/11/2021) untuk meningkatkan perlindungan perairan nasional mereka. Namun para aktivis lingkungan mengatakan, janji itu masih lemah karena tak memiliki ambisi yang diperlukan untuk memulihkan kerusakan lautan yang sedang berlangsung.
Janji tersebut adalah salah satu dari serangkaian komitmen yang dibuat pada KTT Iklim COP-26 di Glasgow, tempat para pemimpin dunia dan negosiator telah berkumpul untuk mempertahankan target menjaga batas kenaikan suhu global 1,5 derajat celsius di atas tingkat pra-industri (era sebelum Revolusi Industri).
Di antara kesepakatan yang dibuat sejauh ini adalah janji untuk mengakhiri deforestasi pada 2030 dan memotong emisi metana sebesar 30 persen pada 2030 dari tingkat 2020. Para ilmuwan dan aktivis telah meminta negara-negara untuk juga mengakui hubungan antara lautan dan perubahan iklim, dengan alasan bahwa mengelola laut secara berkelanjutan dapat membantu mengatur iklim bumi dengan lebih baik.
Utusan AS, John Kerry, mengumumkan bahwa Amerika Serikat akan menjadi negara ke-15 yang menandatangani ikrar laut, yang didukung oleh negara lain yang ekonominya bergantung pada laut termasuk Indonesia, Jepang, Kenya, Cile, dan Norwegia.
Ikrar ini menyerukan investasi yang lebih besar dalam energi terbarukan berbasis laut, dekarbonisasi industri, dan penelitian lebih lanjut. Namun pernyataan itu tidak menyebutkan penghentian subsidi tahunan pemerintah yang masif dan menopang kegiatan seperti industri penangkapan ikan, pendorong utama eksploitasi laut yang berlebihan.
Greenpeace, sebuah LSM lingkungan, menyebut deklarasi itu “lemah”.
“Kita perlu melihat tindakan untuk menciptakan jaringan suaka laut yang mencakup setidaknya 30 persen dari lautan kita pada 2030,” kata Louisa Cason, juru kampanye laut di Greenpeace Inggris.
“Kami membutuhkan daerah tanpa ekstraksi komersial, di mana alam dan populasi ikan yang diandalkan oleh perikanan dapat pulih dan berkembang”.
Dua pertiga dari planet ini tertutup air, dan lautan menyerap panas dan karbon dioksida dan menyebarkannya ke seluruh planet. Tetapi dengan konsentrasi gas rumah kaca pada tingkat tertinggi yang pernah terlihat dan suhu memanas pada tingkat yang mengkhawatirkan, ekosistem laut berjuang untuk mengimbanginya.
Dawn Wright, kepala ilmuwan dan ahli kelautan di ESRI, sebuah perusahaan data pemetaan AS, mengatakan kepada Reuters dalam sebuah wawancara daring bahwa memahami hubungan antara lautan dan perubahan iklim sangat penting bagi delegasi di COP-26 untuk dapat menyusun rencana mengelola lautan secara berkelanjutan.
“Kita saat ini sangat meremehkan emisi karbon yang dihasilkan dari aktivitas manusia di lautan. Hal-hal seperti pukat oleh armada penangkapan ikan, aktivitas yang mengganggu dasar laut. Kita harus memasukkan lautan dalam cara kita menghitung emisi dan polusi, dan saya berharap COP-26 akan mengenali masalah ini.” (ATN)