Dua Insinyur Asal Indonesia Ikut Bangun Pesawat dan Roket di AS

560
Foto: Ist. 

KENDARI, LENTERASULTRA.COM – Dua insinyur asal Indonesia di AS ikut mengembangkan roket dan pesawat yang lebih canggih untuk masa depan. Avelino Ernestanto ikut mengembangkan pesawat komersial jenis baru, sementara Marko Djuliarso ikut menggarap pembuatan roket baru yang akan membawa astronaut ke Bulan.

 

Related Posts
PENGUMUMAN KPU KABUPATEN MUNA  

Pengumuman Kabupaten Bombana

Amerika Serikat berambisi mengirim astronaut ke Bulan sebelum 2024 dan pada akhirnya ke planet Mars. Target itu semakin dekat dengan pembangunan Space Launch System (SLS), yang disebut-sebut sebagai roket milik Badan Penerbangan dan Antariksa (National Aeronautics and Space Administration/NASA) yang paling kuat. Sebagian besar komponen SLS dibuat oleh Boeing, perusahaan dirgantara terbesar di dunia yang kantor pusatnya ada di AS.

Marko Djuliarso adalah seorang insinyur asal Indonesia yang terlibat dalam penggarapan roket raksasa tersebut di sebuah fasilitas Boeing di New Orleans, negara bagian Lousiana. Lulusan Teknik Industri Universitas Tennessee ini berperan sebagai industrial engineer (insinyur teknik industri) dalam proyek yang telah menelan biaya puluhan triliun rupiah itu.

“Fokusnya ke schedule, budget, atau cost dan kualitas. Kita mengaplikasikan konsep industrial engineering untuk mempercepat schedule, menurunkan ongkos dan menaikkan kualitas produk yang keluar dari pabrik,” ujar pria berusia 42 tahun kepada VOA. Marko sudah bekerja di Boeing selama 10 tahun.

Pemilik dua gelar Master Sains dari Universitas Teknologi Nanyang Singapura dan Universitas Southern California ini mengatakan meski banyak tantangannya, ia merasa bersyukur bisa mendapat kesempatan terlibat dalam proyek yang akan menentukan masa depan dunia antariksa itu.

“Unik sekali proyek ini. Saya merasa beruntung dan mencoba appreciate (menghargai) kesempatan ini. Apalagi kita sudah berhasil mengirim unit pertama ke NASA. Dan itu paling memuaskan kalau kita sudah bisa menyelesaikan produk pertama dan bisa menyerahkan produk ke customer,” ujar pria kelahiran Jakarta yang telah mengerjakan proyek roket sejak 2017 ini.

100 Pekerjaan

Perjalanan karier Marko menuju posisinya sekarang tak selalu mulus. Usai meraih gelar Sarjana Teknik Industri dari Universitas Tennessee, ia sempat bekerja selama dua tahun di Boston dan Jakarta, sebelum pindah ke Singapura untuk bekerja dan kuliah.

Setelah bekerja selama tujuh tahun dalam bidang manufaktur di Singapura, dia dan istri memutuskan untuk memulai hidup baru di AS pada 2009. Berbekal pengalaman kerja dan gelar Master of Science in Computer Integrated Manufacturing dari Universitas Nanyang Singapura, dia berusaha mencari pekerjaan penuh waktu di Dallas, negara bagian Texas. Namun, tidak membuahkan hasil.

“Ekonomi kan lagi susah tuh tahun 2009, jadi saya banyak apply (melamar) kerjaan. Selama enam bulan saya kira-kira setiap minggu mungkin apply 100 kerjaan,” katanya kepada VOA dalam wawancara yang dilakukan secara virtual.

Dari ribuan lamaran yang dikirim, sebagian besar menolak atau tak memberi kabar. Sambil menunggu panggilan, laki-laki yang gemar olahraga kebugaran ini pun bekerja serabutan.

“Saya kerja di Target, semacam supermarket, sebagai clerk atau yang naruh-naruh (menyusun) barang. Terus juga kerja di 24 hour fitness, semacam gym, tapi tetap nyari kerja terus,” tuturnya.

Kegiatan itu dijalaninya selama enam bulan, sebelum mendapat tawaran bekerja sebagai insinyur di sebuah perusahaan yang memproduksi jendela di Dallas. Pada saat bekerja di perusaan produsen jendela itu lah tawaran kerja dari Boeing datang. Ia sendiri mengaku sempat lupa sudah pernah melamar dan wawancara ke Boeing.

“Jadi setelah pikir-pikir, saya dan Vieda, istri saya, memutuskan untuk ambil kerjaan di Boeing dan pindah ke daerah Seattle, Washington,” tuturnya.

Pada 2010, Marko memulai kariernya di Boeing sebagai industrial engineer. Di perusahaan dirgantara ini, ia pernah mengerjakan proyek pesawat komersial tipe 787 dan 777 di Italia dan Seattle, sebelum akhirnya menggarap roket untuk NASA di New Orleans. Roket Space Launch System rencananya akan diluncurkan secara perdana tanpa awak ke antariksa pada November mendatang.

Pesawat Komersial Baru

Diperkirakan ada puluhan pegawai asal Indonesia yang bekerja di berbagai fasilitas Boeing yang tersebar di seluruh AS. Salah seorang pegawai lainnya adalah Avelino Ernestanto, 26 tahun, yang bekerja sebagai network system engineer di Seattle, negara bagian Washington.

Pria kelahiran Jakarta ini sedang mengerjakan pesawat jenis baru 777-9, jet bermesin ganda terbesar di dunia yang disebut-sebut akan lebih hemat energi dan mengeluarkan lebih sedikit emisi. Sebagai pakar elektro, salah satu tugas Avelino adalah memproses berbagai piranti lunak dari para pemasok untuk diaplikasikan di pesawat.

“Kita integrasikan (piranti lunaknya), terus kita pasang di pesawatnya, terus kita tes, setelah itu kita laporkan lagi ke supplier, ‘oh ini salah atau kurang ini, gitu.’ Dan kita ulangi prosesnya, sampai ada produk akhirnya,” katanya melalui VOA.

Salah satu momen yang paling berkesan baginya adalah menyaksikan penerbangan perdana pesawat 777-9 pada Januari 2020.

“Kita semua berdiri di rumput, dekat runway, nonton. Terus semuanya ‘hore,’ everybody cheered (bertepuk tangan),” tuturnya.

Itu mungkin kali terakhir Avelino bisa berkumpul dalam jumlah besar bersama para kolega sebelum diberlakukannya pembatasan sosial akibat pandemi virus corona. Kini sebagian besar pekerjaannya dilakukan dari rumah.

“Agak sulit bagi saya karena saya orangnya senang bertemu dengan orang-orang di kantor,” ujarnya.

Meski ada tantangan, lulusan Teknik Elektro dari Universitas Maryland ini mengaku mencintai profesi ini karena bisa membantu masyarakat.

“Saya ingatkan diri sendiri, ‘apa tujuan akhirnya? Oh, ini pesawat bisa membawa barang ke negara lain, mempertemukan keluarga, membantu orang mengeksplorasi dunia.’ Saya senang jadinya,” kata pria yang mengantongi gelar Master Sains dari Universitas Washington ini.

Salah satu momen yang paling berkesan baginya adalah menyaksikan penerbangan perdana pesawat 777-9 pada Januari 2020.

“Kita semua berdiri di rumput, dekat runway, nonton. Terus semuanya ‘hore,’ everybody cheered (bertepuk tangan),” tuturnya.

Itu mungkin kali terakhir Avelino bisa berkumpul dalam jumlah besar bersama para kolega sebelum diberlakukannya pembatasan sosial akibat pandemi virus corona. Kini sebagian besar pekerjaannya dilakukan dari rumah.

“Agak sulit bagi saya karena saya orangnya senang bertemu dengan orang-orang di kantor,” ujarnya.

Meski ada tantangan, lulusan Teknik Elektro dari Universitas Maryland ini mengaku mencintai profesi ini karena bisa membantu masyarakat.

“Saya ingatkan diri sendiri, ‘apa tujuan akhirnya? Oh, ini pesawat bisa membawa barang ke negara lain, mempertemukan keluarga, membantu orang mengeksplorasi dunia.’ Saya senang jadinya,” kata pria yang mengantongi gelar Master Sains dari Universitas Washington ini.

Selama tiga bulan di musim panas, Avelino remaja menceburkan diri dalam dunia kerja. Tugasnya mulai dari menyolder papan sirkuit, mengepak dan mengirim barang, mengelola barang-barang milik perusahaan, hingga membeli kopi.

Pengalaman itu membuatnya mantap memilih jurusan teknik elektro di Universitas Maryland.

Avelino mengaku tak pernah mengalami kesulitan mencari pekerjaan karena kampusnya aktif membantu mencarikan peluang bagi para mahasiswanya. Perkenalannya dengan perusahaan Boeing berawal dari career fair atau pameran lowongan kerja di kampusnya.

“Meja Boeing panjang banget (antreannya). Saya penasaran kenapa panjang sekali antreannya? Kenapa banyak mau apply? Jadi saya ikut baris. Waktu saya di career fair habis untuk menunggu giliran. Akhirnya saya ngobrol dengan mereka, dan saya jadi tertarik untuk melamar,” kenangnya.

Selepas lulus, laki-laki yang hobi badminton ini pindah ke Seattle untuk bekerja. Selama empat tahun lebih di Boeing, Avelino pernah terlibat dalam proyek pesawat komersial tipe 767, 747, dan 737 sebelum ditempatkan di 797-9. Pada usia 26 tahun, ia sudah dipercaya untuk memimpin sebuah tim.

Selama tiga bulan di musim panas, Avelino remaja menceburkan diri dalam dunia kerja. Tugasnya mulai dari menyolder papan sirkuit, mengepak dan mengirim barang, mengelola barang-barang milik perusahaan, hingga membeli kopi.

Pengalaman itu membuatnya mantap memilih jurusan teknik elektro di Universitas Maryland.

Avelino mengaku tak pernah mengalami kesulitan mencari pekerjaan karena kampusnya aktif membantu mencarikan peluang bagi para mahasiswanya. Perkenalannya dengan perusahaan Boeing berawal dari career fair atau pameran lowongan kerja di kampusnya.

“Meja Boeing panjang banget (antreannya). Saya penasaran kenapa panjang sekali antreannya? Kenapa banyak mau apply? Jadi saya ikut baris. Waktu saya di career fair habis untuk menunggu giliran. Akhirnya saya ngobrol dengan mereka, dan saya jadi tertarik untuk melamar,” kenangnya.

Selepas lulus, laki-laki yang hobi badminton ini pindah ke Seattle untuk bekerja. Selama empat tahun lebih di Boeing, Avelino pernah terlibat dalam proyek pesawat komersial tipe 767, 747, dan 737 sebelum ditempatkan di 797-9. Pada usia 26 tahun, ia sudah dipercaya untuk memimpin sebuah tim.

“Kita lihat apa yang kita suka dan pursue (mengejar) apa yang kita senang. Harus diseimbangkan dengan kemampuan kita dan juga dengan pasar kerja, apakah pekerjaan itu dibutuhkan di pasar atau tidak,” kata ayah dari seorang putri berusia 7 tahun ini.

Dan sebagai bapak bekerja, yang tak kalah penting bagi keduanya adalah mempertahankan keseimbangan antara bekerja dan mengurus keluarga. [vm/jm/voa]

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

BERITA TERBARU