Obok-obok Lima Tempat di Kendari, KPK Sita Dokumen Proyek
LENTERASULTRA.com-Sepanjang Jumat (2/3) lalu, mulai siang hingga malam hari, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengobok-obok lima tempat di Kota Kendari guna mencari tambahan bukti dugaan keterlibatan empat orang dari Kota Kendari yang ditetapkan jadi tersangka dugaan penyalahgunaan wewenang, sejak Kamis (1/3) lalu.
Lima tempat tersebut adalah rumah sekaligus toko dan kantor milik tersangka Hasmun Hamzah di Jalan Syekh Yusuf, Kecamatan Mandonga. Kemudian di rumah jabatan Walikota Kendari, rumah milik H Imran, mertua Adriatma Dwi Putra (ADP) di Jalan Tina Orima Kadia. KPK juga sempat masuk mencari tambahan bukti di rumah pribadi Asrun di Jalan Syech Yusuf II Kecamatan Mandonga, termasuk di rumah milik Fatmawati Faqih di Jalan Sao-sao Komplek BTN I Kota Kendari.
“Kami menyita sejumlah dokumen penting dan barang bukti elektronik dari lima tempat itu,” kata Febri Diansyah, juru bicara KPK, kepada lenterasultra.com di Jakarta, Senin (5/3) sore tadi. Sayangnya, Febry tak merinci dokumen apa saja yang disita itu.
Mantan aktivis ICW (Indonesian Corruption Watch) tersebut hanya memastikan bahwa dokumen dan sejumlah barang bukti elektronik itu terkait sejumah proyek di Kota Kendari. “Penyidik mengamankan sejumlah dokumen terkait proyek dan barang bukti elektronik,” tutur Febri di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin, (5/3).
Dalam kesempatan tersebut Febri juga menyatakan bahwa pada Sabtu (3/3) penyidik memeriksa 4 orang saksi untuk para tersangka. Keempat saksi adalah saksi-saksi yang turut diamankan saat tangkap tangan di Kendari, yaitu pihak swasta, dua pegawai PT.SBN (Sarana Bangun Nusantara), milik Hamsun dan Staf BPKAD.
Seperti diketahui kasus ini bermula dari kegiatan yang disebut KPK sebagai operasi tangkap tangan (OTT), sepanjang Selasa (27/2) hingga Rabu (28/2) di Kota Kendari. KPK menetapkan empat orang tersangka. Mereka adalah Wali Kota Kendari non-aktif, Adriatma Dwi Putra, mantan Walikota Kendari, Asrun, mantan Kepala BPKAD, Fatmawati Faqih, dan Direktur PT BSN, Hasmun Hamzah.
Mereka diduga telah melakukan praktik suap menyuap yang berhubungan dengan pengadaan barang dan jasa. Nilai suapnya cukup banyak yaitu sebanyak Rp 2,8 miliar. Diduga uang suap tersebut akan digunakan oleh Adriatma untuk membiayai kampanye ayahnya dalam Pilgub Sultra 2018.
Akibat perbuatannya itu, KPK menyangkakan Hasmun sebagai pihak pemberi dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sedangkan Adriatma, Asrun dan Fatmawati, sebagai pihak penerima disangkakan dengan Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tipikor Jakarta Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (rere)