BALADA PEMOTOR
Jagad maya kembali dihebohkan dengan viralnya perseteruan dua pengendara di ibukota. Berawal dari sebuah mobil cantik yang tidak secantik perilaku pengemudinya, membuang sampah sembarangan.
Masalah timbul ketika sampah itu mengenai pengendara motor yang kebetulan anggota TNI. Tensi meninggi di tengah kemacetan, perkelahianpun tak terelakkan.
Terlepas dari siapa yang salah, inilah resiko yang mau tak mau ditanggung pengendara roda dua. Sampah, debu, cipratan becek, ludah, hingga hewan kecil yang masuk ke mata sudah jadi santapan sehari-hari.
Mari kita coba urai suka dukanya…
Diakui atau tidak, motor sebagai transportasi yang sering dianggap sebagai biang kemacetan ini tetap saja jadi idola menengah ke bawah.
Menurut data terakhir Badan Pusat Statistik, ada 98,88 juta unit mogor di seluruh Indonesia, atau lebih 80 persen dari total jumlah transportasi yang ada. Bayangkan kalo pemotor ini bikin makar, pemerintahan bisa kelar.
Apa yang membuat sepeda motor jadi pilihan favorit? Yang pertama tentu saja harga yang di bawah standar. Harga sepeda motor matik di Indonesia malah yang paling murah se-Asia Tenggara, demikian menurut data dari Yamaha.
Punya duit sejuta dua juta dijamin sudah bisa bikin sales dealer memperlakukanmu bak raja. Deraan siksa cicilan bulanan itu urusan belakangan. Yang penting kau sudah sah punya tunggangan.
Belum lagi bonus dan promonya. Beli motor dapat jaket dan helm, padahal beli helm dan jaket tak pernah dapat motor.
Meski tak segengsi dan sementereng mobil, banyak keutamaan bagi pemotor dalam urusan habluminannas atau hubungan antar sesama manusia. Dengan posisi yang terbuka, pemotor relatif lebih mudah dalam bersosialisasi, lebih punya banyak kenalan.
Apalagi di emperan-emperan toko saat sama-sama berteduh kehujanan.
Banyak organisasi dan klub motor, tak sebanding dengan klub mobil. Ada geng motor, tapi jarang kedengaran ada geng mobil.
Menjaga keromantisan rumah tangga juga salah satu keutamaan bagi pengguna kendaraan bermotor. Pelukan hangat dan lingkaran tangan istri di pinggang jarang didapatkan oleh pengendara mobil.
Begitu pula hubungan dengan anak, pemotor harus punya skill komunikasi dan bercerita yang mumpuni, dan siap punya bahan obrolan untuk mencegah anak tak ngantuk atau tertidur di atas motor.
Kesetiaan dan kesabaran suami juga sama ujiannya. Setia menjaga pandangan dari hal-hal yang mengganggu konsentrasi, semisal saat tiba-tiba di depan ada penampakan seperti garis celengan yang bersumber dari celah pakaian lawan jenis yang dibonceng motor semisal Ninja.
Ini salah satu yang menyeramkan, seakan diingatkan celengan di rumah yang hampa isinya ataupun saldo tabungan yang stagnan tanpa peningkatan.
Belum lagi jika motor yang ada di depan knalpotnya dimodifikasi dengan posisi nungging, asapnya ibarat siaran live, langsung tepat di wajah. Butuh kesabaran tingkat dewa menerimanya.
Tak hanya habluminannas, habluminallah juga terjaga dengan baik. Pemotor pada prakteknya lebih mendekatkan diri pada sang pencipta. Bukan dekat dalam artian sesungguhnya, mengingat resiko kecelakaan lebih banyak bagi pemotor.
Dekat dalam hal ini maksudnya pemotor kadang lebih banyak disibukkan dengan komat-kamit berdzikir, istighfar atau sekadar refleks menyebut nama Tuhan, jika menghadapi hiruk pikuk jalanan.
Sementara pengguna mobil biasanya cenderung santai bersenandung mengikut hingar-bingar irama musik dari fasilitas yang sudah tersedia.
Akan halnya pemotor, bukan berarti semuanya baik-baik saja. Ada saja pemotor dengan kelakuan yang menggemaskan. Ada yang zig-zag selap-selip merasa diri suadaranya Valentino Rossi.
Ada juga yang memaksa komunikasi di tengah padatnya lalu lintas. Kalo sekadar menerima telepon dengan menyelipkan ponsel ke celah helm sih tak jadi soal, tapi sering sekali ditemui pemotor yang SMS-an, seolah nyawanya bisa digadaikan dan ditebus kapan-kapan.
Lampu merah adalah muara dari segala tingkah pengguna motor. Di tempat ini tumpah bermacam kelakuan. Ada yang menjadikan hitungan mundur dari peralihan lampu merah ke hijau sebagai aba-aba balapan.
Ada pula yang sibuk membunyikan klakson, padahal hal ini cukuplah jadi fardhu kifayah, karena logikanya semua kendaraan juga akan bergerak ke depan meski tanpa diklakson.
Pemotor yang minim etika biasanya terbagi atas lima golongan. Pertama, pemotor yang turun di kelas pengantar undangan.
Golongan ini biasanya merasa punya hak imunitas, seolah ada aturan lalu lintas yang mengecualikan penggunaan helm bagi mereka, mungkin dikiranya songkok atau kopiah jika beradu dengan aspal maka aspal yang pecah.
Ke dua, pemotor iring-iringan pengantar jenazah. Yang ini minta ampun anarkisnya, kadang minta diberi jalan sambil memaki-maki pengguna jalan lainnya.
Ke tiga, pemotor yang lagi touring, paling sering merasa jalanan punya mereka.
Ke empat, pemotor keluarga aparat, yang ini juga seringkali ditemui bebas melanggar lalu lintas. Saat kena tilang, sibuk menelepon sanak familinya.
Dan terakhir, ibu-ibu pembawa matic. Nah, kalo yang ini sebaiknya dimaklumi saja. Mereka mayoritas adalah golongan unpredictable. Pasrahkan saja. Karena hanya Tuhan dan mereka sendiri yang tau kapan akan belok ke kiri atau ke kanan, meski dengan nyala lampu sein yang berbeda arah.
Tapi, satu hal yang seolah sudah jadi budaya bagi pengguna motor adalah solidaritas. Tanpa perlu kenal terlebih dulu, pemotor seolah merasa wajib mengingatkan pemotor lainnya saat ada yang lupa mematikan lampu sein, lupa menaikkan standar kaki, ataupun memberi aba-aba segera putar haluan ketika di depan ada razia kendaraan.
Akhirul kalam. Jadilah pemotor yang santun dan beretika. Itulah kunci kedamaian di jalanan. Sebagai pengguna motor, wajib mensyukuri suatu keadaan, yakni saat hujan tak kepanasan, panas tak kehujanan.(***)