Membongkar Jantung Masalah Overcrowded di Lembaga Pemasyarakatan

Oleh : Ahmad Ubaidillah Assyafii*

30

Lembaga pemasyarakatan di Indonesia memiliki tantangan serius terkait overcrowded, karena jumlah narapidana melebihi kapasitas maksimal lembaga pemasyarakatan. Data dari Sistem Database Pemasyarakatan (SDP) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menunjukkan bahwa pada tanggal 23 Agustus 2023, persentase jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di rutan mencapai 210 persen dan di lapas mencapai 201 persen. Angka tersebut belum termasuk di LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) dan LPP (Lapas Perempuan).

Overcrowded di lembaga pemasyarakatan menjadi masalah yang kompleks dan memerlukan solusi yang tepat. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan stakeholder mapping. Stakeholder mapping dapat membantu untuk mengetahui posisi setiap pihak yang dapat memengaruhi, akan dipengaruhi, dan dilibatkan dalam upaya mengatasi overcrowded. Dengan demikian, suatu organisasi dapat menentukan langkah-langkah yang efektif untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi.

Menurut Eden dan Ackerman (1998), stakeholder mapping dapat dilakukan dengan mengelompokkan pihak-pihak yang terlibat berdasarkan tingkat kekuatan (power) dan keinginan (interest) yang merekamiliki. Analisis stakeholder mapping dapat dilakukan dengan menggunakan grafik power dan interest yang dikembangkan oleh Aubrey L. Mendelow.

Dalam analisis stakeholder mapping untuk mengatasi overcrowded di lembaga pemasyarakatan, terdapat beberapa kelompok stakeholder yang perludi perhatikan. Pertama, kelompok Crowd sebagai pihak dengan kekuatan dan keinginan yang rendah dalam bekerjasama untuk mengatasi overcrowded. Keluarga narapidana, mantan narapidana, dan masyarakat umum termasuk dalam kelompok ini. Meski pun memiliki power dan interest yang rendah, keluarga narapidana masih dapat memengaruhi keberhasilan pembinaan narapidana dan mengatasi overcrowded di lapas.

Kedua, kelompok subject sebagai stakeholder dengan kekuatan rendah namun keinginan tinggi dalam bekerjasama untuk mengatasi overcrowded. Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) termasuk dalam kelompok ini. Meskipun memiliki power yang terbatas, WBP memiliki minat yang tinggi dalam mengatasi overcrowded karena kondisi overcrowded berdampak langsung terhadap kehidupan mereka di dalam lapas.

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dapat melibatkan WBP dengan cara mengidentifikasi pemimpin di antara mereka agar dapat mengarahkan WBP lainnya dan menjadi wakil dari WBP untuk mengungkapkan pendapat serta dengan menumbuhkan rasa solidaritas di antara WBP.

Related Posts

Melawan Politik Uang dengan Adat Muna

Jejak Candu di Buton

Pengumuman Kabupaten Bombana

Selain itu, Ditjen PAS dapat bekerjasama dengan LSM sebagai contest setter. Mereka memiliki kekuatan advokasi yang tinggi, akan tetapi menangani overcrowded bukan isu utama bagi mereka. Ditjen PAS dapat bekerja sama dengan LSM sebagai pemberi masukan berdasarkan keahlian dan pengetahuan yang mereka miliki.

Dalam konteks ini, Ditjen PAS memiliki peran sebagai players karena memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengelola lapas, serta membuat kebijakan terkait pemasyarakatan. Overcrowded juga menjadi daya tarik utama bagi Ditjen PAS karena berdampak pada berbagai aspek, seperti risiko kerusuhan, kurangnya fasilitas untuk WBP, dan peningkatan biaya operasional.

Kementerian Keuangan juga berperan sebagai players karena memiliki kewenangan dalam menyetujui anggaran untuk Ditjen PAS, yang dapat mempengaruhi keputusan di seluruh UPT Pemasyarakatan di Indonesia.

Dengan menggunakan stakeholder mapping, Ditjen PAS dapat menentukan langkah-langkah yang tepat untuk bekerjasama dengan berbagai pihak terkait dan mengidentifikasi siapa saja yang dapat diajak bekerjasama karena memiliki kepentingan dan pengaruh dalam mengatasi overcrowded di lapas.(*)

Penulis :

  • Taruna Utama Ilmu Politik Kemasyarakatan Angk 56
  • Prodi Manajemen Pemasyarakat B

 

 

 

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

BERITA TERBARU