Liputan Keras dan Kekerasan Jurnalis

#Catatan_Secarik_Selarik

246
Andi Syahrir

Seorang wartawan senior yang kini telah menjadi petinggi di grup media besar di Indonesia pernah membagikan tips tentang liputan di wilayah keras. Di daerah konflik. Di situasi krisis.

Saya menyimak baik-baik. Yakin betul akan petuahnya sebab dia peliput Perang Irak. Dia kembali ke Indonesia tanpa kurang sedikitpun. Segar bugar.

Apa yang pertama Anda lakukan untuk mendapatkan berita bagus saat meliput di daerah konflik? Jawabannya, pastikan dirimu aman. Itu dulu.

Jangan dulu berpikir berita. Jangan dulu berpikir wawancara. Jangan dulu berpikir menulis. Yang pertama adalah pikirkan bagaimana kamu bisa selamat. Sehat walafiat untuk dapat menyusun hasil reportase.

Sebab, sehebat apapun berita yang berhasil anda liput, seeksklusif bagaimanapun informasi yang anda peroleh, jika Anda kemudian celaka, maka itu sia-sia. Berita tidak akan sampai ke pembaca.

Banyaknya kasus kekerasan yang menimpa para wartawan ketika menjalankan tugasnya, bisa jadi karena minimnya mitigasi atas potensi kekerasan yang bisa menimpanya setiap saat. Tidak ada analisa situasi yang dilakukan wartawan sebelun turun liputan.

PENGUMUMAN KPU KABUPATEN MUNA  

Pengumuman Kabupaten Bombana

Ketika aksi unjukrasa misalnya, semakin dekat kita dengan sumber “ketegangan”, rasa heroisme semakin tinggi. Belum lagi bahwa peluang memperoleh momen eksklusif juga kian besar.

Dalam situasi seperti itu, kita lupa memberi pembeda (baik jarak, tingkah laku, ataupun asesoris yang dikenakan) kepada khalayak bahwa kita adalah jurnalis. Pengunjukrasa kemungkinan mencurigai kita sebagai penyusup dalam gerakan. Sedangkan aparat keamanan berpikir kita adalah pengunjukrasa.

Saya kira, tentang bagaimana cara mengamankan diri dalam peliputan –terutama di wilayah konflik/krisis– perlu ada diklat khusus.

Hal yang sama bagi aparatur keamanan kita. Literasi mengenai bagaimana membedakan wartawan dengan pengunjukrasa, misalnya, perlu pula ditingkatkan. Perlu diklat khusus.

Tapi bukan berarti bahwa setelah mampu dibedakan, maka wartawan bisa aman, tapi pengunjukrasa tidak. Bukan itu maksudnya. Melainkan lebih pada terhindarnya aparat dari melakukan tindak kekerasan yang salah sasaran dan tidak perlu pula.

Jadi, fix ya. Ada dua diklat….😁😁😁

Penulis : Andi Syahrir, mantan wartawan

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

BERITA TERBARU