Salam Online!
Oleh : Arham Rasyid
Uber tidak membunuh bisnis taksi, keterbatasan armada dan aturan kontrol harga yg melakukannya.
Apple tidak mematikan industri musik. Tapi keharusan membeli satu album utuh karya musisi yg menyebabkannya.
Amazon tak pernah merontokkan industri ritel. Melainkan pelayanan yg buruk dan tidak adanya pengalaman belanja yg memicunya.
Stop salahkan teknologi dan daya beli. Semua bisnis yg abai terhadap kebutuhan dan keinginan konsumen dijamin nyungsep dan tinggal kenangan.
Kira-kira demikian bunyi pesan berantai pada sebuah grup whatsapp yg saya ikuti. Konon ini adalah kesimpulan dari pelaku bisnis dunia yg disarikan the economist.
Wow.. Kesimpulan kelas dunia, tauwwa!
Dari mana sumber pesan yg mendaku diri sebagai perwakilan dunia bisnis ini tak penting. Tapi jika mau berprasangka-prasangka kecil pada redaksi kalimat, maka terlihat jelas ada kecemasan di situ. Kadangkala memotivasi dan menyenangkan diri memang setipis kulit ari.
Coba kita urai alakadarnya.
Uber tidak membunuh bisnis taksi, keterbatasan armada dan aturan kontrol harga yg melakukannya?
Faktanya, uber memang tidak membunuh bisnis taksi secara langsung, but taksi said uber killing me softly with their strike. Ngapain repot cuap-cuap dengan operator taksi serta tumpang tindihnya pemesan, jika request armada semudah sentuhan jari pada smartphone? Tinggal download aplikasi, silahkan ongkang-ongkang kaki. Belum lagi bonus-bonus poin yg ditawarkan.
Ragam pilihan kendaraan dari sekelas Avanza hingga Pajero Sport pun ada. Berhentilah melihat segala sesuatu dengan tolak ukur harga. Ini bukan hanya persoalan mahal murah, sebab hidup tak melulu urusan angka-angka.
Apple tidak mematikan industri musik. Tapi keharusan membeli satu album utuh karya musisi yg menyebabkannya?
Come on…, membeli satu album atau membeli single apa bedanya? industri musik lambat laun tetap akan mati jika hanya berharap dengan cara-cara konvensional. Mau menjajakan musik ke mana? kerjasama provider dengan jualan RBT? Basi!
Atau memaksa para penikmat kuliner mendengar musikmu dengan mengobral kepingan CD sebagai bonus membeli paha ayam di gerai-gerai fried chicken? kasiannya mi..
Amazon tak pernah merontokkan industri ritel. Melainkan pelayanan yg buruk dan tidak adanya pengalaman belanja yg memicunya.
Ini juga terkesan ngawur. Realistis saja lah. Jangankan kota-kota besar, di daerah Kendari ini saja pembangunan ruko mangkrak di mana-mana. Daya beli ruko untuk urusan bisnis menurun. Diakui atau tidak, salah satu sebabnya tentu saja online shop.
Kendati seumpama kau sambut pembeli dengan tarian mondotambe di depan kedaimu, kecenderungan masyarakat yang enggan berurusan dengan hal-hal yang tak instan tetap mengalahkannya. Hari ini, tinggal telepon kurir penghantar makanan, customer tak perlu direpotkan berpayah-payah di antrian.
Stop salahkan teknologi dan daya beli. Semua bisnis yg abai terhadap kebutuhan dan keinginan konsumen dijamin nyungsep dan tinggal kenangan?
Ya, teknologi memang tak salah. Orang yang gagap teknologi dan gagu modernitas sumber kesalahan sebenarnya.
Semua bisnis berbasic fisik saat ini praktis lebih tinggi tingkat kerumitannya, demikian halnya media massa. Dalam sebuah rapat besar petinggi media beberapa waktu lalu, bos sebuah perusahaan media cetak raksasa negeri ini berkata bahwa surat kabar yang ia pimpin kasusnya anomali, tidak terpengaruh oleh dahsyatnya ekspansi media digital.
Padahal khalayak tak bisa dikibuli, oplah turun di mana-mana. Harga kertas melambung tinggi, omong kosong jika hanya bergantung dari penjualan tanpa iklan. Gramedia sebagai salah satu raja cetak pun tak bisa terhindar dari perampingan. HAI yang notabene majalah kiblat mode generasi pra millenium, toh terdepak juga dari percetakan. Teranyar, beberapa hari lalu Tere Liye memutuskan pisah dari penerbit Republika yang membesarkannya. Ia takluk oleh pajak yang semena-mena. Entah ke mana akhir biduk nasib buku-bukunya bermuara.
Maka tak salah jika dikata online adalah sebuah niscaya. Jangan dianggap sekadar pelampung ataupun perahu karet, melainkan dermaga masa depan. Kau hanya punya dua pilihan. Terimalah kenyataan perubahan meski sulit, atau pandai-pandailah dalam berkelit.
Kucek matamu lebih dalam, sebelum bisnismu menghembuskan nafas terakhir dihantam putaran roda zaman.(***)