Caleg Terpilih Belum Perlu Mundur Saat Daftar Pilkada
KENDARI, LENTERASULTRA.COM-Calon anggota DPR, DPD dan DPRD yang terpilih dari hasil Pemilu 2024 dinyatakan tidak perlu mengundurkan diri jika punya niat maju sebagai calon kepala daerah di Pilkada 2024. Mereka dianggap belum memiliki kewajiban konstitusi yang melekat seperti halnya anggota DPR, DPD dan DPRD yang sedang menjabat atau seperti diatur di Pasal 7 Ayat (2) huruf s UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Hal ini dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan atas permohonan uji materil terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf s Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang diajukan dua orang pemohon bernama Ahmad Alfarizy dan Nur Fauzi Ramadhan. Sidang Pengucapan Putusan Nomor 12/PUU-XXII/2024 ini digelar di Ruang Sidang Pleno MK pada Kamis (29/2/2024) dengan dipimpin oleh Ketua MK, Suhartoyo.
Seperti dikutip lenterasultra.com dari situs resmi Mahkamah Konstitusi (MK) yang diunggah Humas MK Kamis (29/02/2024) pukul 19.05 WIB, dalam pertimbangan hukumnya, hakim konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyebutkan status calon anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD yang terpilih sesungguhnya belum melekat hak dan kewajiban konstitusional yang berpotensi dapat disalahgunakan oleh calon anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD yang bersangkutan.
Oleh karena itu, jika hal ini dikaitkan dengan kekhawatiran para Pemohon sebagai pemilih yang berpotensi tidak mendapatkan jaminan adanya pemilihan kepala daerah yang didasarkan pada pelaksanaan yang memberi rasa keadilan bagi para pemilih, maka kekhawatiran demikian adalah hal yang berlebihan.
Sebab, jika dicermati berkenaan dengan sequence waktu yang ada saat ini, masih terdapat selisih waktu antara pelantikan calon anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD terpilih dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang hingga saat ini direncanakan akan diselenggarakan pada tanggal 27 November 2024. Dengan demikian, maka belum relevan untuk memberlakukan syarat pengunduran diri bagi calon anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Namun demikian, sambung Daniel, penting bagi mahkamah untuk menegaskan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) mempersyaratkan bagi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD terpilih yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah untuk membuat surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik secara resmi sebagai anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD apabila tetap ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Selanjutnya berkaitan dengan dalil para Pemohon mengenai belum diakomodirnya ketentuan pengaturan pengunduran diri terhadap calon anggota DPR, DPD, DPRD yang akan menjadi calon kepala daerah bukan menjadi penyebab calon anggota dewan atau calon kepala daerah tersebut mengingkari amanat yang diberikan oleh pemilihnya, termasuk menjadi “second option” dalam memilih jabatan baginya.
“Oleh karena itu, menurut Mahkamah belum diakomodirnya persoalan tersebut tidak harus memperluas pemaknaan ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada, namun hal tersebut cukup diakomodir dengan penambahan syarat. Bahwa pengunduran diri calon anggota DPR, DPD, DPRD sebelum ditetapkan sebagai anggota justru berpotensi mengabaikan prinsip kebersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945,” sampai Daniel.
Pendapat Berbeda
Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) terhadapa putusan ini. Menurut Guntur, substansi permohonan para Pemohon hendaknya dikabulkan, sehingga ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf s tersebut harus dimaknai termasuk juga Caleg terpilih berdasarkan hasil rekapitulasi suara yang ditetapkan KPU. “Dengan demikian, menurut pendapat saya, Permohonan para Pemohon seharusnya dikabulkan (gegrond wordt verklaard),” kata Guntur dikutip dari Putusan Nomor 12/PUU-XXII/2024.
Sebagai tambahan informasi, dua orang mahasiswa, Ahmad Alfarizy dan Nur Fauzi Ramadhan, mengajukan permohonan pengujian Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada ke MK yang berbunyi “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota DPR, DPD dan DPRD sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan.”
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara yang dilaksanakan di MK pada Jumat (2/2/2024), Fauzi menyebutkan pasal tersebut menyatakan pengunduran diri dari posisi anggota DPR, DPD, atau DPRD yang ingin menjadi peserta dalam pemilihan kepada daerah (pilkada).
Namun pada pasal tersebut tidak mengakomodir soal pengunduran diri bagi calon legislatif terpilih yang belum dilantik. Akibatnya, dikhawatirkan adanya konflik status antara caleg terpilih Pemilu 2024 dengan pasangan calon peserta Pilkada 2024. Bahkan bisa menghalangi proses kaderisasi dalam partai politik.
Lebih lanjut Alfarizy meneruskan alasan permohonan bahwa pelaksanaan pemilu dan pilkada yang dilakukan serentak pada 2024 ini berpotensi besar pada munculnya dual mandate bagi peserta yang ikut dalam kontestasi pesta demokrasi tersebut. Kondisi ini menurut para Pemohon merugikan masyarakat yang pada awalnya memilih seseorang untuk mengisi satu posisi saja, justru harus menerima realitas terdapat kandidat yang dipilihnya dalam pemilu legislatif kemudian maju menjadi kepala daerah tanpa mengundurkan diri.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “juga menyatakan pengunduran diri sebagai calon anggota DPR, DPD dan DPRD berdasarkan rekapitulasi suara dari KPU.
Harusnya, menurut pemohon, pasal 7 ayat (2) huruf s berbunyi, “menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota DPR, DPD dan DPRD berdasarkan rekapitulasi suara dari KPU sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan.”(red)