Begini Tanggapan BPOM Kendari Terkait Isu Obat Sirup Yang Beresiko Mengandung Cemaran EG dan DEG
KENDARI, LENTERASULTRA.COM – Badan Pengawas Obat dan Makanan Kendari menanggapi isu obat sirup untuk anak yang berisiko mengandung cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) menyusul adanya informasi dari WHO terkait peristiwa di Gambia, Afrika, Rabu 12 Oktober lalu.
Kepala BPOM Kendari Yoseph Nahak, mengatakan, disebutkan dalam informasi dari WHO, terdiri dari Promethazine Oral Solution, Kofexmalin Baby Cough Syrup, Makoff Baby Cough Syrup, dan Magrip N Cold Syrup. Keempat produk tersebut diproduksi oleh Maiden Pharmaceuticals Limited, India. Keempat produk yang ditarik di Gambia tersebut tidak terdaftar dan tidak beredar di Indonesia dan hingga saat ini.
“Jadi, produk dari produsen Maiden Pharmaceutical Ltd, India tidak ada yang terdaftar di BPOM,” Kata Yoseph Nahak.
Ia melanjutkan, BPOM melakukan pengawasan secara komprehensif pre- dan post-market terhadap produk obat yang beredar di Indonesia. Sesuai dengan peraturan dan persyaratan registrasi produk obat, BPOM telah menetapkan persyaratan bahwa semua produk obat sirup untuk anak maupun dewasa, tidak diperbolehkan menggunakan EG dan DEG.
“Namun demikian EG dan DEG dapat ditemukan sebagai cemaran pada gliserin atau propilen glikol yang digunakan sebagai zat pelarut tambahan, BPOM telah menetapkan
batas maksimal EG dan DEG pada kedua bahan tambahan tersebut sesuai standar
internasional,” lanjutnya.
Selain itu, Kementerian Kesehatan telah menjelaskan bahwa penyebab terjadinya gagal ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI) belum diketahui dan masih memerlukan investigasi lebih lanjut bersama BPOM, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dan pihak terkait lainnya.
BPOM mendorong tenaga kesehatan dan industri farmasi untuk aktif melaporkan efek samping obat atau kejadian tidak diinginkan pasca penggunaan obat sebagai bagian dari
pencegahan kejadian tidak diinginkan yang lebih besar dampaknya.
BPOM juga berkoordinasi secara intensif dengan Kementerian Kesehatan, sarana pelayanan kesehatan, dan pihak terkait lainnya dalam rangka pengawasan keamanan obat (farmakovigilans) yang beredar dan digunakan untuk pengobatan di Indonesia.
“Selain itu, BPOM juga melakukan penelusuran berbasis risiko, sampling, dan pengujian sampel secara bertahap terhadap produk obat sirup yang berpotensi mengandung cemaran EG
dan DEG,” katanya.
Hasil pengujian produk yang mengandung cemaran EG dan DEG tersebut masih memerlukan pengkajian lebih lanjut untuk memastikan pemenuhan ambang batas aman berdasarkan referensi. Selanjutnya, untuk produk yang melebihi ambang
batas aman akan segera diberikan sanksi administratif berupa peringatan, peringatan keras, penghentian sementara kegiatan pembuatan obat, pembekuan sertifikat Cara
Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), pencabutan sertifikat CPOB, dan penghentian sementara kegiatan iklan, serta pembekuan Izin Edar dan/atau pencabutan Izin Edar.
Kemudian semua industri farmasi yang memiliki obat sirup yang berpotensi mengandung cemaran EG dan DEG, diminta untuk melaporkan hasil pengujian yang dilakukan secara mandiri
sebagai bentuk tanggung jawab pelaku usaha. Industri farmasi juga dapat melakukan upaya lain seperti mengganti formula obat dan/atau bahan baku jika diperlukan.
BPOM mengajak masyarakat untuk menggunakan obat secara aman dan selalu memperhatikan hal-hal sebagai berikut yakni, menggunakan obat secara sesuai dan tidak melebihi aturan pakai, membaca dengan seksama peringatan dalam kemasan, menghindari penggunaan sisa obat sirup yang sudah terbuka dan disimpan lama, melakukan konsultasi kepada dokter, apoteker atau tenaga kesehatan lainnya apabila gejala tidak berkurang setelah 3 (tiga) hari penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas pada upaya pengobatan sendiri (swamedikasi).
Melaporkan secara lengkap obat yang digunakan pada swamedikasi kepada
tenaga kesehatan, melaporkan efek samping obat kepada tenaga kesehatan terdekat atau melalui aplikasi layanan BPOM Mobile dan e-MESO Mobile.
“BPOM juga mengimbau masyarakat agar lebih waspada dan menggunakan produk obat yang terdaftar di BPOM yang diperoleh dari fasilitas pelayanan kefarmasian atau sumber resmi serta selalu ingat Cek KLIK (cek kemasan, Label, Izin Edar, dan Kedaluwarsa) sebelum membeli atau menggunakan obat,” pungkasnya.
Sebelumnya, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) melaporkan kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal mencapai 192 orang per Selasa (18/10/2022). Lonjakan dengan kasus bulanan tertinggi terjadi pada September 2022 dengan 81 kasus.
Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI Piprim Basarah Yanuarso mengungkapkan pihaknya menemukan ratusan kasus tersebut di 20 provinsi. Kasus terbanyak ditemukan di DKI Jakarta dengan 50 kasus, kemudian Jawa Barat dan Jawa Timur masing-masing 24 kasus. Selanjutnya Sumatera Barat 21 kasus, Aceh 18 kasus, serta Bali 17 kasus.
Reporter: Sri Ariani
Editor: Ode