Uganda Bantah Bandaranya Diambil Alih China Karena Utang Rp2,8 Triliun
KAMPALA, LENTERASULTRA.COM – Uganda membantah bahwa Bandara Internasional Entebbe telah diambil alih China karena gagal membayar utang USD200 juta atau setara dari Rp2,8 triliun). Juru bicara Otoritas Penerbangan Sipil Uganda (UCAA), Vianney M. Luggya melalui tweet via akunnya, @UCAA_Spokesman, mengatakan laporan itu salah dan dia anggap hoaks.
“I wish to make it categorically clear that the allegation that Entebbe Airport has been given away for cash is false. @GovUganda can’t give away such a national asset. We have said it before and repeat that it has not happened. There isn’t an ounce of truth in it.
“Saya ingin menjelaskan dengan tegas bahwa tuduhan bahwa Bandara Entebbe telah diserahkan untuk uang tunai adalah salah. @GovUganda tidak bisa memberikan aset nasional seperti itu. Kami telah mengatakannya sebelumnya dan mengulangi bahwa itu tidak terjadi. Tidak ada satu ons pun kebenaran di dalamnya,” ujarnya dikutip dari asiatoday.id.
Sebagai referensi, Uganda meminjam USD200 juta dari Export-Import Bank of China (Exim Bank) untuk memperluas Bandara Internasional Entebbe. Perjanjian pinjaman itu ditandatangani pada 2015.
Surat kabar lokal, The Monitor, melaporkan Uganda sedang berusaha untuk mengubah perjanjian pinjaman yang ditandatangani dengan China pada tahun 2015 untuk memastikan pemerintah tidak kehilangan kendali atas satu-satunya bandara internasional negara itu.
Laporan itu mengutip sumber-sumber yang mengetahui masalah tersebut. Di antara klausul yang ingin diubah pemerintah Uganda, lanjut laporan The Monitor, adalah perlunya Otoritas Penerbangan Sipil Uganda untuk meminta persetujuan dari pemberi pinjaman China untuk anggaran dan rencana strategisnya.
Aturan lain mengamanatkan bahwa setiap perselisihan antara para pihak harus diselesaikan oleh Komisi Arbitrase Ekonomi dan Perdagangan Internasional China. Dalam perjanjian awal, pinjaman USD200 juta harus dibayar selama 20 tahun dan Uganda masih dalam masa tenggang tujuh tahun.
Kemajuan pekerjaan bandara yang dibangun pada tahun 1972 ini telah mencapai 75,2 persen, dengan dua landasan pacu telah mencapai penyelesaian keseluruhan 100 persen. Bandara Internasional Entebbe menangani lebih dari 1,9 juta penumpang per tahun.
Perluasan bandara dengan pinjaman China itu dianggap bagian dari Proyek Belt and Road Initiative atau Sabuk dan Jalan China yang dirundung kontroversi di seluruh dunia. Di Sri Lanka, pemerintah setempat pada tahun 2017 setuju untuk menyewakan pelabuhan ke perusahaan yang dipimpin oleh China Merchants Port Holdings Co selama 99 tahun dengan imbalan USD1,1 miliar.
Di Pakistan rencana awalnya untuk membangun pelabuhan laut, jalan raya, rel kereta api, jaringan pipa, puluhan pabrik, dan bandara terbesar di negara itu belum terealisasi. Sementara itu, Kedutaan Besar China di Uganda dalam sebuah pernyataan yang dikutip Selasa (30/11/2021), menyampaikan bantahan tentang beberapa laporan media yang intinya “Uganda diduga menyerahkan bandara untuk uang China”.
????️Remarks by the Spokesperson of the Chinese Embassy in Uganda on Some Media Reports Alleging that“Uganda Surrenders Airport for China Cash” pic.twitter.com/BqR3Rw4eKd
— Chinese Embassy in Uganda (@ChineseEmb_Uga) November 28, 2021. (ATN)