Sejalan dengan Indonesia, UE Desak Seluruh Negara Terapkan Pajak Karbon

133
Related Posts
PENGUMUMAN KPU KABUPATEN MUNA  

Pengumuman Kabupaten Bombana

 

GLASGOW, LENTERASULTRA.COM – Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mendesak seluruh negara untuk menerapkan pajak karbon. Hal itu diungkapkan saat ia berbicara dalam KTT Iklim COP-26 di Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11/2021) waktu setempat.

“Kita perlu menyetujui kerangka aturan yang kuat, misalnya, untuk mewujudkan pasar karbon global menjadi kenyataan. Beri harga pada karbon, alam tidak dapat membayar harga itu lagi,” kata Von der Leyen, yang bergabung dengan para pemimpin dari lebih dari 100 negara di COP-26.

Pembahasan tentang merancang sebuah pasar yang memperdagangkan pengurangan emisi karbon di bawah kesepakatan iklim Paris telah menggagalkan KTT iklim PBB terakhir pada 2019, karena negara-negara bertengkar tentang bagaimana sistem tersebut akan diperhitungkan terhadap target iklim nasional mereka.

Sebanyak 27 negara Uni Eropa (UE) berjanji untuk mengurangi sedikitnya 55 persen emisinya pada tahun 2030 dari tingkat tahun 1990. Von der Leyen mendesak negara-negara lain untuk berkomitmen pada pengurangan lebih banyak emisi dalam dekade ini.

“Kita harus memberikan komitmen yang kuat untuk mengurangi emisi pada tahun 2030. (Tujuan) nol karbon bersih pada tahun 2050 itu baik, tetapi tidak cukup,” ujar dia.

UE sedang merundingkan kebijakan hijau baru yang menempatkannya di depan banyak negara yang telah menetapkan target iklim yang jauh, tetapi belum menyusun undang-undang yang diperlukan untuk mewujudkannya.

Proposal UE termasuk menghapus penjualan mobil dengan mesin pembakaran internal pada 2035 dan meluncurkan pasar karbon kedua UE untuk sektor bangunan dan transportasi.

Usulan kebijakan itu telah memicu ketegangan di antara negara-negara UE barat yang lebih kaya, yang mendukung tindakan iklim yang ambisius dibandingkan negara-negara timur yang lebih miskin yang takut akan dampak sosial dan ekonomi.

Perdana Menteri Ceko Andrej Babis memanfaatkan COP-26 untuk menyerang apa yang disebutnya proposal iklim berbahaya UE.

“Ini bukan kesepakatan tetapi ideologi,” kata dia.

Babis mengatakan bahwa proposal itu akan merugikan warga karena membuat harga bahan bakar fosil jadi lebih mahal.

Seruan Uni Eropa tersebut sejalan dengan langkah yang telah diambil oleh Indonesia. Bahkan Indonesia menjadi negara pertama yang mengimplemntasikan pajak karbon sekaligus menjadi penggerak untuk negara kekuatan ekonomi baru (emerging).

Pajak karbon yang lahir melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan menambah sederetan kebijakan fiskal yang digunakan sebagai instrumen pengendali perubahan iklim. Penerapan pajak karbon menjadi bukti bagi masyarakat dan dunia luar bahwa pemerintah berkomitmen menggunakan berbagai instrumen fiskal untuk membiayai pengendalian perubahan iklim sebagai agenda prioritas pembangunan.

“Bahkan implementasi pajak karbon ini menjadikan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju yang telah melaksanakan kebijakan pajak karbon ini, diantaranya Inggris, Jepang, dan Singapura,” ungkap Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu.

Tujuan utama dari pengenaan pajak karbon adalah mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon. Hal ini sejalan dengan upaya Pemerintah mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.

Selain itu, pengenaan pajak karbon memberikan sinyal kuat yang mendorong perkembangan pasar karbon, inovasi teknologi, dan investasi yang lebih efisien, rendah karbon, dan ramah lingkungan. Penerimaan negara dari pajak karbon dapat dimanfaatkan untuk menambah dana pembangunan, investasi teknologi ramah lingkungan, atau memberikan dukungan kepada masyarakat berpendapatan rendah dalam bentuk program sosial.

Sebagai tahap awal, pajak karbon akan diterapkan pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara pada 1 April 2022 dengan menggunakan mekanisme pajak berdasarkan pada batas emisi (cap and tax). Tarif Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi cap yang ditetapkan. Dalam mekanisme pengenaannya, wajib pajak dapat memanfaatkan sertifikat karbon yang dibeli di pasar karbon sebagai penguran kewajiban pajak karbonnya.

Penerapan pajak karbon dan pengembangan pasar karbon merupakan milestones penting menuju perekonomian Indonesia yang berkelanjutan, serta menjadi bukti keseriusan Indonesia dalam agenda pengendalian iklim global. Momentum ini menjadi kesempatan Indonesia mendapatkan manfaat penggerak pertama.

“Indonesia menjadi penentu arah kebijakan global, bukan pengikut dalam melakukan transisi menuju pembangunan yang berkelanjutan. Indonesia akan menjadi acuan dan tujuan investasi rendah karbon di berbagai sektor pembangunan baik di sektor energi, transportasi, maupun industri manufaktur,” pungkas Febrio.

Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan Indonesia berkomitmen untuk memprioritaskan transisi energi bersih. Terdapat tiga hal yang dibutuhkan dalam mekanisme transisi energi.

Pertama, pembiayaan untuk penghentian lebih cepat operasional Pembangkit Listrik Tenaga Batubara agar beralih ke sumber energi terbarukan. Untuk hal ini, Menkeu mengungkapkan telah berdiskusi dengan seluruh dunia usaha, baik itu para penambang maupun pengusaha pembangkit listrik berbasis batubara.

“Kami sudah melakukan percakapan dengan semua pembangkit listrik yang berbasis batu bara. Sejauh ini, menurut saya diskusi berjalan dengan baik dalam memberikan pemahaman sekaligus bagaimana kita akan merancang kebijakan bersama,” kata Menkeu dalam World Bank Group Event, Selasa (12/10/2021) lalu.

Kedua, dibutuhkan pendanaan untuk membangun energi baru terbarukan karena permintaan akan terus bertambah. Menkeu menekankan perlunya pendanaan, baik domestik maupun global, untuk membantu APBN mencapai target tersebut.

“Pendanaan menjadi penting karena Energy Transition Mechanism (ETM) untuk mengakselerasi transisi energi dari yang berkarbon tinggi menuju energi yang lebih bersih,” ujar Menkeu.

Ketiga, mekanisme transisi energi perlu memperhatikan tenaga kerja yang terlibat di dalamnya karena akan berdampak pada kehilangan pendapatan. Dengan begitu, transisi energi bersih akan dapat dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat.

“Kalau kita tidak memperhatikan sumber daya manusianya, maka transisi ini tidak inklusif dan tidak memberikan dukungan kepada mereka. Tenaga kerja akan menjadi populasi yang paling terpengaruh dengan kehilangan pendapatan langsung dari transisi ini,” kata Menkeu dikutip dari asiatoday.id.

Menkeu menjelaskan, Pemerintah Indonesia dan DPR baru saja menyepakati Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi undang-undang. Kebijakan tersebut mengatur pengenaan pajak karbon yang bertujuan untuk mendukung penuh komitmen internasional dalam penanganan perubahan iklim.

“Pasar karbon adalah satu hal yang kita sekarang juga meminta perusahaan listrik, Badan Usaha Milik Negara, untuk mulai melakukan yang disebut cap and trade. Jadi, mereka memiliki batasan untuk produksi CO2 tertentu untuk berbasis batubara dan kemudian mereka difasilitasi untuk melakukan perdagangan di antara para pelaku ini,” ujar Menkeu. (AT Network)

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

BERITA TERBARU