China ‘Genggam’ Asia Tenggara Melalui Utang Tersembunyi
JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – China sukses ‘menggenggam’ Asia Tenggara melalui skema utang tersembunyi. Melalui Proyek Belt and Road Initiative (BRI) sejumlah negara di kawasan itu kini berada dalam kendali Beijing.
Skema utang tersembunyi China itu terungkap dalam sebuah riset yang dirilis oleh AidData, laboratorium penelitian pengembangan internasional yang berbasis di William & Mary’s Global Research Institute.
Adapun laporan AidData yang bertajuk Banking on the Belt and Road disusun dengan menganalisis data yang mencakup 13.427 proyek di 165 negara senilai USD843 miliar. Proyek-proyek ini dibiayai oleh lebih dari 300 lembaga pemerintah dan badan-badan milik negara China. Berdasarkan laporan AidData tersebut, di wilayah Asia Tenggara, sejumlah negara tercatat memiliki persentase utang tersembunyi yang sangat besar kepada China.
Indonesia memiliki utang gelap kepada China mencapai USD17,28 miliar atau setara Rp247,10 triliun. Angka ini setara dengan 1,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Sementara Vietnam setara 2,8 persen PDB, Myanmar 7,2 persen PDB, Brunei Darussalam 13,5 persen, dan Laos 35,4 persen PDB.
Selain utang tersembunyi, laporan tersebut mencatat Indonesia juga telah menerima pinjaman sebesar USD4,42 miliar dari China melalui skema Official Development Assistance dan pinjaman USD29,96 miliar melalui skema Other Official Flows. Utang tersembunyi China dalam riset tersebut diterjemahkan sebagai utang yang kepada negara berkembang bukan melalui pemerintahan negara peminjam.
Secara umum, riset yang dirilis akhir bulan lalu itu menunjukkan bahwa sejak dicanangkannya BRI, 70 persen utang luar negeri China sekarang diberikan ke perusahaan milik negara, bank milik negara, special mission vehicles, usaha patungan, dan lembaga sektor swasta di negara penerima.
Utang ini, sebagian besar tidak muncul di neraca pemerintah masing-masing negara. Namun, kebanyakan dari penerima utang mendapat manfaat melalui jaminan atau perlindungan pemerintah, secara eksplisit maupun implisit.
Penelitian itu pun menemukan bahwa 42 negara sekarang memiliki tingkat eksposur utang publik ke China lebih dari 10 persen dari PDB. Mereka juga menemukan bahwa utang-utang ini secara sistematis tidak dilaporkan ke Sistem Pelaporan Debitur World Bank (DRS) termasuk IMF. Pasalnya, dalam banyak kasus, pemerintah di negara-negara tersebut sama sekali bukan peminjam utama yang bertanggung jawab untuk membayar utang tersebut.
Brad Parks mengatakan tantangan dalam mengelola utang tersembunyi itu bukan tentang pemerintah yang mengetahui bahwa mereka perlu membayar utang yang tidak diungkapkan kepada China dengan nilai moneter yang diketahui.
Melainkan, kata dia, tentang pemerintah yang tidak mengetahui nilai moneter utang ke China yang mungkin atau tidak mungkin harus dibayar di masa depan. Ekonom Senior Indonesia, Rizal Ramli mengungkap modus operandi China memberikan utangan dengan jumlah sangat besar bagi Indonesia untuk pembangunan infrastruktur.
Hal itu belum termasuk dengan utang tersembunyi yang diberikan China melalui perusahaan negara, bank negara, serta perusahaan patungan yang di luar kesepakatan pemerintah. Menurut Rizal, ini juga selaras dengan temuan lembaga riset AidData soal angka-angka utang Indonesia ke China. Pada periode 2000 sampai 2007 saja, AidData mencatat tumpukan utang tersembunyi RI ke China dalam tiga kali pelaksanaan dan dua metode.
“Angka-angka ini saja tak tercatat sebagai utang Pemerintah, jika ditambah maka utang kita sudah banyak sekali, dan makin tidak terkendali. Hari ini saja untuk bayar pokoknya Rp400 triliun, bunganya saja Rp370 triliun, total Rp770 triliun dalam 1 tahun,” ungkap mantan Menko Ekuin itu sebagaimana di tayangan Youtube TV One ‘Apa Kabar Indonesia Petang, yang dimonitor Jumat (8/10/2021).
“Ya sudah masuk ke ICU, mesti pakai ventilator, sebab bayar bunganya saja harus minjam,” katanya lagi.
Sebagai informasi, pinjaman tersembunyi di luar Pemerintahan memang memiliki perbedaan model bisnis. Peminjam biasanya BUMN China dan perusahaan swasta di sana, tak memberi logika ketika memberi pinjaman. Seperti halnya ketika seseorang meminjam ke bank, maka akan ada perhitungan sepertiga dari kemampuan membayar. Sementara untuk kasus China, mereka disebut Rizal Ramli sengaja memberi utang besar demi taktik tertentu.
“Sama mereka sengaja dikasih pinjaman lebih besar dari seharusnya, supaya kita enggak mampu bayar. Kalau sudah begitu, maka akan lebih mudah dikuasai asetnya. Atau kontraknya ditambah.”
“Seperti yang terjadi di Srilanka, yang membangun pelabuhan dengan biaya mahal sekali. Sementara pendapatan mereka sedikit. Akhirnya karena BUMN Srilanka tak mampu membayar, kontraknya diperpanjang menjadi hampir 200 tahun. Atau bisa juga dengan cara saham mereka menjadi lebih tinggi,” tuturnya dikutip dari asiatoday.id.
Rizal Ramli pun mencontohkan proyek kereta cepat Jakarta Bandung dengan anggaran yang membengkak hingga Rp26 triliun. Konsekuensi WIKA yang tak mampu setor modal membuat China memiliki saham lebih tinggi lagi di sana.
“Perlu diingat, model bisnis BUMN di China itu sengaja kasih pijaman superbesar supaya kita enggak mampu bayar. Seperti mereka dengan rencana pelabuhan besar di Medan demi bisa kontrol Selat Malaka, dan di Belitung, itu besar sekali,” tandasnya. (ATN)