Kasus Teluk Jakarta: Industri Farmasi Mulai Disasar, 13 Sungai akan Ditelusuri
JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Kasus Teluk Jakarta yang terpapar paracetamol membuka tabir terkait masih buruknya tata kelola air limbah di ibukota. Kasus ini juga memberi ruang investigasi, riset secara lebih luas untuk mengungkap sumber-sumber pencemaran, khususnya terkait limbah farmasi, baik yang bersumber dari rumah tangga, industri, maupun sumber lainnya.
Langkah awal, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia akan memanggil perusahaan-perusahaan farmasi di DKI Jakarta untuk mendalami pengolahan limbah farmasi di perusahaan-perusahaan tersebut. Tak hanya itu, 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta juga akan menjadi fokus penelusuran karena diduga berkontribusi sebagai tempat aliran limbah. Sungai-sungai itu berasal dari wilayah Bogor, Bekasi, Depok dan Jakarta.
“Semua potensial menjadi tempat berkumpul pencemaran dari daratan yang di sekitarnya. Paling efisien melakukan penanggulangan dari sumbernya,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Sigit Reliantoro, dalam Media Briefing Paracetamol di Teluk Jakarta pada Selasa (5/10/2021).
Temuan penelitian paracetamol yang dilakukan oleh peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang bekerja sama dengan peneliti di University of Brighton, Inggris, di Teluk Jakarta kini telah direspon luas.
KLHK kini mengambil peran besar untuk menjawab masalah itu.
“Di Jakarta tercatat ada 27 perusahaan farmasi. Rencananya akan kami panggil dan cek untuk mendalami bagaimana pengelolaan limbah dan obat-obatan bekas yang sudah kedaluwarsa dan sebagainya,” ungkap Dirjen Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK, Rosa Vivien Ratnawati dikutip dari asiatoday.id.
Menurut dia, ketika obat itu sudah kedaluwarsa, maka itu akan menjadi limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) dan penanganannya harus menggunakan sistem pengelolaan limbah B3,” urainya.
Sejauh ini kata dia, baku mutu air terkait paracetamol, belum ada standar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Baku mutu adalah batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
Cemaran paracetamol termasuk kategori emerging pollutant atau bahan pencemar baru yang belum memiliki baku mutu. Untuk memasukkan menjadi bahan baku mutu dibutuhkan penelitian secara mendalam.
“Harus ada pemantauan dan penelitian, sehingga kita bisa memasukkan ke dalam kebijakan baku mutu lingkungan. Peraturan baku mutu berdasarkan kajian lingkungan,” jelasnya.
Sementara itu, Sigit Reliantoro menambahkan, emerging pollutant termasuk salah satu unsur polutan yang jumlahnya sangat kecil, sehingga hampir tidak terdeteksi.
Menurut Sigit, bahan baku limbah farmasi di Eropa juga banyak. Pada tahun 2019, ada 3.000 bahan kimia yang berkaitan dengan farmasi.
“Setiap hari jumlahnya bertambah, sehigga kita berkejaran, mana yang diprioritaskan dahulu untuk diatur sebagai kontaminan. Pengaturannya soal bagaimana dampak kesehatan dan di lingkungan dominannya di mana, apakah tanah, sedimen air atau material lingkungan lain,” paparnya.
“Cara mengaturnya juga berbeda. Ketika di lingkungan, polutan bereaksi dengan yang senyawa lain apa saja, apakah membentuk persisten. Ini harus dilihat karena ada konsekuensi cara pengelolaannya,” tandasnya. (ATN)