Butuh Kesadaran Kolektif Selamatkan Teluk Jakarta dari Limbah Farmasi

191
Related Posts
PENGUMUMAN KPU KABUPATEN MUNA  

Pengumuman Kabupaten Bombana

JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Kasus Teluk Jakarta yang terpapar limbah farmasi kini menjadi sorotan luas. Pemerintah pun harus segera mengambil langkah mitigasi untuk membenahi tata kelola air limbah. Tim peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan University of Brighton UK merilis hasil dari studi pendahuluan (preliminary study) mengenai kualitas air laut di beberapa situs terdominasi limbah buangan.

Hasil studi tersebut dimuat dalam jurnal Marine Pollution Bulletin berjudul “High Concentrations of Paracetamol in Effluent Dominated Waters of Jakarta Bay, Indonesia”.

Hasil riset Dr. Wulan Koagouw (BRIN, UoB), Prof. Zainal Arifin (BRIN), Dr. George Olivier (UoB), dan Dr. Corina Ciocan (UoB) ini mengidentifikasi beberapa kontaminan air dari empat lokasi di Teluk Jakarta yaitu: Angke, Ancol, Tanjung Priok, dan Cilincing; serta satu lokasi di pantai utara Jawa Tengah yakni Pantai Eretan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa parameter nutrisi seperti Amonia, Nitrat, dan total Fosfat, melebihi batas Baku Mutu Air Laut Indonesia. Selain itu, Paracetamol terdeteksi di dua situs, yakni muara sungai Angke (610 ng/L) dan muara sungai Ciliwung Ancol (420 ng/L), keduanya di Teluk Jakarta.

Konsentrasi Paracetamol yang cukup tinggi, meningkatkan kekhawatiran tentang risiko lingkungan yang terkait dengan paparan jangka panjang terhadap organisme laut di Teluk Jakarta. Paracetamol merupakan salah satu kandungan yang berasal dari produk obat atau farmasi yang sangat banyak dikonsumi oleh masyarakat Indonesia secara bebas tanpa resep dokter.

“Hasil penelitian awal yang kami lakukan ingin mengetahui apakah ada sisa parasetamol yang terbuang ke sistem perairan laut,” kata Zainal Arifin, salah satu anggota tim peneliti dari BRIN melalui keterangannya, Sabtu (2/10/2021).

“Kami melakukan dua lokasi utama, yaitu di Teluk Jakarta dan Teluk Eretan. Kosentrasi paracetamol tertinggi ditemukan dipesisir Teluk Jakarta, sedangkan di Teluk Eretan tidak terdeteksi alat,” lanjutnya.

Zainal menjelaskan, bahwa secara teori sumber sisa paracetamol yang ada di perairan teluk Jakarta dapat berasal dari tiga sumber, yaitu: ekresi akibat konsumsi masyarakat yang berlebihan; rumah sakit, dan industri farmasi.

“Dengan jumlah penduduk yang tinggi dikawasan Jabodetabek dan jenis obat yang dijual bebas tanpa resep dokter, memiliki potensi sebagai sumber kontaminan diperairan. Sedangkan sumber potensi dari rumah sakit dan industri farmasi dapat diakibatkan sistem pengelolaan air limbah yang tidak berfungsi optimal, sehingga sisa pemakaian obat atau limbah pembuatan obat masuk ke sungai dan akhirnya ke perairan pantai,” ungkapnya dikutip dari asiatoday.id.

Adapun mengenai bahaya Paracetamol tersebut terhadap lingkungan, peneliti BRIN lainnya, Wulan Koaguow mengaku belum mengetahui, dan perlu riset lebih lanjut.

“Kami belum tahu, karena memang riset kami baru pada tahap awal. Namun jika konsentrasinya selalu tinggi dalam jangka panjang, hal ini menjadi kekhawatiran kita karena memiliki potensi yang buruk bagi hewan-hewan laut. Hasil penelitian di laboratorium yang kami lakukan, menemukan bahwa pemaparan paracetamol pada konsentrasi 40 ng/L telah menyebabkan atresia pada kerang betina, dan reaksi pembengkakan. Penelitian lanjutan masih perlu dilakukan terkait potensi bahaya paracetamol atau produk farmasi lainnya pada biota-biota laut,” papar Wulan.

Hasil penelitian menunjukkan, lanjut Zainal, jika dibandingkan dengan pantai-pantai lain di belahan dunia, konsentrasi Paracetamol di Teluk Jakarta adalah relatif tinggi (420-610 ng/L) dibanding di pantai Brazil (34. 6 ng/L), pantai utara Portugis (51.2 – 584 ng/L).

Meskipun memerlukan penelitian lebih lanjut, namun beberapa hasil penelitian di Asia Timur, seperti Korea Selatan menyebutkan bahwa zooplankton yang terpapar paracetamol menyebakan peningkatan stress hewan, dan oxydative stress, yakni ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dengan sistem antiosidan, yang berperan dalam mempertahankan homeostasis.

Sisa atau limbah obat-obatan atau farmasi memang seharusnya tidak ada di dalam air sungai dan air laut.

“Tugas setiap kita baik industri maupun masyarakat, untuk menjaga kesehatan manusia dan juga kesehatan lingkungan termasuk laut. Semua itu agar kita dapat hidup lebih bermakna,” ungkap Zainal.

“Pemerintah perlu melakukan penguatan regulasi tatakelola pengelolaan air limbah baik untuk rumah tangga, komplek apartemen, dan industri. Sedangkan dalam pemakaian produk farmasi (obat, stimulan), publik perlu lebih bertanggung jawab, misalnya tidak membuang sisa obat sembarangan. Ini yang nampaknya belum ada, perlu ada petunjuk pembuangan sisa-sisa obat,” pungkasnya. (ATN)

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

BERITA TERBARU