Satgas COVID-19 Klaim Kasus Aktif dan BOR Semakin Turun
JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Koordinator Bidang Data dan Teknologi Informasi Satgas Penanganan COVID-19 Dewi Nur Aisyah mengatakan, kasus aktif COVID-19 telah turun sebesar 37,85 persen per 11 Agustus jika dibandingkan dengan puncak kasus aktif corona pada 24 Juli 2021 lalu.
“Kalau pekan lalu turunnya 25 persen dari puncak, saat ini turunnya sudah 37,85 persen dari puncak. Begitu banyak penurunan yang terjadi dalam waktu yang begitu singkat, terus berjalan dan belum naik lagi dan masih terus konsisten turun,” ungka Dewi dalam telekonferensi pers di Jakarta, Rabu (18/8).
Penurunan kasus aktif COVID-19 ini, katanya sejalan dengan turunnya angka BOR di rumah sakit rujukan COVID-19. Dijelaskannya, per 18 Agustus sudah tidak ada lagi rumah sakit di level provinsi yang memiliki BOR di atas 80 persen untuk pasien COVID-19. Meski begitu, ada empat provinsi yang masih memiliki BOR di atas 60 persen, yakni Bali, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Lanjutnya, saat ini ada 30 provinsi yang sudah memiliki angka BOR di bawah 60 persen, bahkan tujuh provinsi tercatat sudah di bawah 30 persen yakni diantaranya Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta.
“Ada beberapa tren kenaikan di provinsi luar Jawa dan Bali, tapi kabar baiknya adalah sembari waktu berjalan kasusnya sudah mulai turun dalam beberapa waktu terakhir. Hal itu juga yang mengakibatkan di sini kita tidak melihat ada lagi (BOR) yang di atas 80 persen,” tuturnya dikutip dari voaindonesia.com.
Sementara itu, jika dilihat dari level kabupaten/kota per 17 Agustus terdapat 27 kabupaten/kota yang masih memiliki BOR di atas 80 persen atau 5,29 persen dari 514 kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Lalu, sebanyak 78 kabupaten/kota tercatat memiliki BOR di atas 60 persen namun masih di bawah 80 persen, atau 15 persen dari total seluruh kabupaten/kota yang ada di tanah air.
“Jadi sebenarnya tinggal 20 persen kabupaten/kota yang ada di Indonesia yang masih harus hati-hati, karena 224 kabupaten/kota ini sudah di bawah 60 persen, 181 kabupaten/kota bahkan di bawah 30 persen. Kondisinya ada perbaikan,” jelasnya.
Ruang Isolasi dan ICU
Tren perbaikan pun juga terlihat dari kapasitas di ruang isolasi dan juga ruang ICU. Dewi memaparkan sudah tidak ada lagi ruang isolasi yang terisi di atas 80 persen. Namun, untuk ruang ICU masih ada dua provinsi yang angka keterisian tempat tidurnya masih di atas 80 persen, yakni di Bangka Belitung yang mencapai 95 persen, dan Kalimantan Timur yang berada di level 83 persen.
Dewi menggarisbawahi bahwa tingginya angka BOR ICU di suatu daerah bukan berarti menandakan rumah sakit tersebut betul-betul penuh. Yang harus dipahami adalah berapa kapasitas tempat tidur ICU yang dipunyai oleh masing-masing rumah sakit karena mengkonversi ruangan ICU tidak semudah untuk merubah ruangan untuk isolasi.
Selain di rumah sakit rujukan COVID-19, tren penurunan BOR pun terjadi di rumah sakit darurat Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta. Ia menjelaskan angka BOR di tempat tersebut sempat menyentuh angka 90 persen, dengan total penambahan tempat tidur sebanyak 1.900. Lalu ketika kebijakan PPKM Darurat mulai diberlakukan pada awal Juli lalu, angkanya pun konsisten turun sehingga per 18 Agustus angka BOR di rumah sakit tersebut berada pada level 17,6 persen.
“Dari 90 persen ke 17,6 persen, ini penurunan absolutnya sekitar 73,19 persen,” jelasnya.
Apakah Akurat?
Berbagai penurunan baik angka kasus aktif COVID-19 maupun angka BOR pun kerap dipertanyakan keakuratannya. Hal ini dikarenakan strategi “3T” yakni testing, tracing dan treatment diyakini masih belum optimal. Terkait testing, Dewi mengakui memang masih ada beberapa daerah yang belum bisa mencapai target testing karena keterbatasan sarana dan prasarana pendukung seperti alat PCR dan sumber daya manusia (SDM).
“Semuanya memang secara nasional, secara jumlah pemeriksaan saat ini memang sudah melebihi strandar yang WHO tetapkan. Tetapi kalau kita breakdown, dari provinsi, kabupaten/kota , mulai terlihat di daerah-daerah mana yang harus kita bongkar, kita olah datanya, saya belum bisa menjawab daerah mana yang masih kurang (testing),” katanya.
Maka dari itu, Dewi pun mengakui bahwa data yang tercatat pada saat ini masih belum sepenuhnya menggambarkan kondisi di lapangan. Berbagai faktor dan variabel memang harus diteliti lebih lanjut. Namun ia menegaskan, bahwa kebijakan PPKM telah berdampak menekan laju perebakan wabah virus corona pada saat ini.
“Kalau dari sisi epidemiologi kita paham bahwa data yang ter-capture sekarang, pasti ini adalah fenomena gunung es, yang kita capture mungkin masih bagian atasnya saja, bagian bawahnya kalau kita ingin melihat berapa sih real-nya orang yang sebetulnya terinfeksi? Jangan-jangan bisa jauh lebih banyak, ya benar, karena kan ada yang tidak bergejala, atau mungkin dia melakukan isolasi mandiri dan tidak dilaporkan ke puskesmas setempat, kita pasti akan menemui kasus seperti itu. Tapi salah satu yang menjadi control variable kita adalah BOR-nya tadi. Apakah benar BOR-nya naik atau turun. Ketika memang kasusnya ini semakin turun, maka BOR di rumah sakit pasti turun,” pungkasnya.
Waspadai Kenaikan di Luar Jawa dan Bali
Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengungkapkan memang ada tren penurunan kasus yang terjadi di Jawa dan Bali pasca diberlakukannya kebijakan pengetatan seperti PPKM Darurat dan per level. Ia mengatakan, bahwa angka kasus sebenarnya yang ada bisa mencapai 200 ribuan per hari, yang mengindikasikan masih lemahnya strategi “3T” yang dilakukan oleh pemerintah. Dicky pun memperingatkan pemerintah, bahwa tren kenaikan kasus di luar Jawa dan Bali bisa lebih parah dibandingkan dengan di Jawa dan Bali.
“Skenario buruk baru yang bahkan masih jauh lebih tinggi dari yang puncak kasus di Jawa dan Bali kemarin, karena ini bisa di kontribusi oleh luar Jawa dan Bali banyak karena daerahnya lebih luas bisa di 300 ribuan. Puncaknya di pertengahan September untuk skenario terburuk di luar Jawa dan Bali. Jawa sendiri sudah melandai tapi sekali lagi cakupan yang dideteksi pemerintah masih tiga sampai empat kali lebih rendah dari yang sebenarnya karena memang belum optimal 3T nya dan betul setidaknya 70 persen masyarakat yang terpapar masih berada di rumah (tidak pergi ke rumah sakit),”ungkap Dicky kepada VOA.
Prediksi lonjakan kasus di luar Jawa dan Bali, katanya dikarenakan berbagai keterbatasan yang ada, mulai dari SDM, sistem kesehatan, demografi, geografi, lalu faktor sosial, ekonomi dan literasi masyarakat yang masih rendah. Langkah yang harus dilakukan pemerintah tidaklah berubah, yakni harus memperkuat strategi “3T”, penegakan 5M kepada masyarakat dan perluas jangkauan vaksinasi. [gi/em/VOA]