Asia Tenggara Mulai Tinggalkan Vaksin China

3,048
PENGUMUMAN KPU KABUPATEN MUNA  

Pengumuman Kabupaten Bombana

JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Negara-negara Asia Tenggara yang menyuntikkan vaksin virus corona buatan China mulai beralih ke alternatif vaksin buatan Barat saat kawasan itu berjuang untuk membendung wabah mematikan yang disebabkan varian delta.

Negara-negara seperti Indonesia dan Thailand pernah bertaruh besar pada vaksin Sinovac China, meskipun ada peringatan dari para ahli medis. Tetapi sistem kesehatan mereka semakin tertekan ketika varian delta menghantam kota-kota besar dan sejumlah daerah. Indonesia mencatat lebih dari 100.000 kematian secara keseluruhan.

“Kenyataan saat ini sangat kontras dengan kemeriahan saat Beijing meluncurkan vaksin mereka dan kemudian bersikeras pada kemanjurannya yang tinggi, bahkan ketika data kurang tersedia,” kata Chong Ja Ian, seorang profesor ilmu politik di Universitas Nasional Singapura yang mempelajari persaingan AS-China di Asia, sebagaimana dilaporkan The Washington Post, Selasa (10/8/2021).

Menurut Ching, perubahan itu menunjukkan betapa berisikonya mencoba menjadikan pandemi saat ini dan bahaya yang sangat nyata bagi kehidupan manusia, menjadi semacam alat propaganda. Vaksin Sinovac dan Sinopharm di antara beberapa vaksin yang melakukan uji coba paling awal, tapi mereka tidak merilis data penuh. Jutaan orang telah disuntik menggunakan vaksin tersebut, di mana pemerintah berlomba mengamankan pasokan sebelum AS berjanji berbagi vaksin.

Di saat negara-negara kaya dengan cepat berusaha membeli vaksin Pfizer dan Moderna, beberapa negara berkembang memiliki sedikit pilihan kecuali berharap pada China.

Keraguan terhadap efektivitas Sinovac muncul pada Juni, ketika sejumlah dokter Indonesia yang telah divaksinasi penuh mulai terinfeksi Covid-19.

Melansir dari asiatoday.id, IDI mencatat sedikitnya 20 dokter meninggal yang telah divaksinasi penuh menggunakan Sinovac. Salah satunya ilmuwan yang melakukan uji coba Sinovac, Novilia Sjafri Bachtiar. Awal bulan ini, WHO menyetujui penggunaan darurat vaksin tersebut.

Perwakilan Sinovac dan Sinopharm tidak menanggapi permintaan komentar. Pada Juni, Sinovac mengatakan kepada koran pemerintah China, Global Times, vaksinnya tidak bisa memberi 100 persen perlindungan tapi bisa mengurangi tingkat keparahan penyakit dan kematian.

CEO Sinovac, Yin Weidong, saat berbicara pekan lalu di forum yang diselenggarakan Menteri Luar Negeri China, mengatakan perusahaannya akan mengajukan penelitian klinis dan izin penggunaan darurat untuk varian delta ke regulator China dalam beberapa hari mendatang.

Dia juga mengatakan perusahaannya memiliki kapasitas produksi yang cukup untuk mengembangkan dan memproduksi vaksin untuk mengatasi varian baru.

Beralih ke vaksin buatan Barat

Indonesia yang berpenduduk 270 juta itu mulai memberikan vaksin Moderna buatan AS pada akhir Juli kepada tenaga kesehatan, setelah Washington menyumbangkan 8 juta dosis.

Adegan saat sumbangan vaksin ini tiba dalam kotak-kotak yang dihiasi dengan bendera Amerika, kontras dengan yang terjadi pada Januari lalu ketika Presiden Indonesia Joko Widodo disuntik vaksin Sinovac dengan disiarkan langsung di televisi.

Pejabat kesehatan mengangkat kotak vaksin, yang bertuliskan nama Sinovac, untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat pada vaksin tersebut. Media pemerintah China memuji langkah Jokowi sambil menggembar-gemborkan vaksinnya aman dan efektif.

Thailand juga beralih mencampur dosis vaksin, mengubah kebijakannya pada pertengahan Juli mengimunisasi penduduknya dengan suntikan pertama menggunakan Sinovac dan dosis kedua menggunakan AstraZeneca.

Tenaga kesehatan yang telah divaksinasi penuh dengan Sinovac akan menerima suntikan booster ketiga menggunakan AstraZeneca, Pfizer atau Moderna.

Sebelum kebijakan tersebut berubah, media Thailand melaporkan adanya sebuah memo, yang diperkirakan bocor saat para pejabat rapat soal vaksin. Memo itu menentang penggunaan vaksin berbeda untuk suntikan booster bagi mereka yang telah divaksinasi penuh menggunakan Sinovac karena akan menjadi pengakuan bahwa vaksin China tidak bisa memberi perlindungan.

Bocoran informasi itu memicu kemarahan dan tagar “BeriPfizerUntukTenagaMedis menjadi trending di media sosial.

Bahkan Kamboja, sekutu terdekat Beijing juga beralih menggunakan vaksin AstraZeneca sebagai suntikan booster untuk mereka yang telah menerima dua dosis vaksin buatan China yang ditelah diberikan kepada sekitar setengah dari populasi negara tersebut.

Menanggapi pertanyaan pada Mei apakah Kamboja sangat bergantung pada China, Perdana Menteri Hun Sen menjawab: “Kalau saya tidak bergantung pada China, kepada siapa saya akan bergantung? Jika saya tidak meminta China, kepada siapa saya minta? Tanpa bantuan dari China, mungkin kita tidak akan punya vaksin untuk rakyat kita.”

China akan menyumbangkan 2 miliar dosis vaksin kepada negara-negara berkembang tahun ini, seperti disampaikan Presiden Xi Jinping pekan lalu.

Keraguan komunitas medis

Namun bahkan sebelum varian delta menyebar, orang-orang menunjukkan preferensi untuk vaksin buatan Barat, terutama suntikan mRNA yang dikembangkan Amerika Serikat.

Sebuah survei awal tahun ini di Filipina menunjukkan lebih dari 63 persen orang dewasa lebih memilih Amerika Serikat sebagai sumber vaksin virus corona. Pada bulan Mei, penduduk berduyun-duyun ke satu situs yang menawarkan dosis Pfizer, dengan antrean mulai pukul 02.00 dini hari.

“Kami melihat kesenjangan besar ini bahkan dalam komunitas medis di antara mereka yang mau dan tidak mau menerima Sinovac,” kata Vincen Gregory Yu, seorang dokter dan peneliti kesehatan masyarakat.

Rekan-rekan dan keluarganya juga meragukan vaksin China, lalu mendaftar untuk mendapatkan vaksin Moderna melalui sektor swasta.

“Dalam kebanyakan kasus, sebenarnya bukan, ‘Kami tidak menginginkan vaksin ini karena tidak efektif,’  tapi lebih ke ‘kami tidak mau menerima ini karena sesuatu yang lebih baik akan tiba,’” jelasnya.

Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, yang di awal masa jabatannya menyatakan akan mengucapkan “selamat tinggal” kepada Washington, sekutu lama, mempertahankan hubungan hangat dengan China.

Duterte menerima 1 juta dosis Sinovac beberapa hari yang lalu ketika negaranya memberlakukan lockdown baru di tengah lonjakan infeksi.

Namun Duterte mengakui keputusannya untuk mempertahankan pakta pertahanan antara Amerika Serikat dan Filipina dipengaruhi sumbangan vaksin Moderna baru-baru ini dari Washington.

“Ini memberi dan menerima. Mari kita berterima kasih kepada mereka, dan saya memberi mereka konsesi,” ujar Duterte.

Chong mengatakan pengalaman vaksin ini membuat beberapa negara Asia Tenggara menyadari bahwa ketergantungan pada Republik Rakyat China tidak cukup, baik pada vaksin atau hal-hal lain. (ATN)

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

BERITA TERBARU