China Paling Menikmati Keuntungan dari Industri Nikel di Indonesia

3,831
PENGUMUMAN KPU KABUPATEN MUNA  

Pengumuman Kabupaten Bombana

JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – China disebut paling menikmati keuntungan besar dari industri nikel di Indonesia. Menurut Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, Indonesia hanya menikmati keuntungan nilai tambah sebesar 10 persen dari industri bijih nikel di Morowali dan Konawe. Sedangkan sisanya sebesar 90 persen menjadi keuntungan bagi investor China yang membangun smelter di kawasan industri tersebut.

“Dari seluruh nilai yang diciptakan, dari proses olah bijih sampai produk smelter, maksimal yang tinggal di Indonesia 10 persen. Jadi 90 persen dinikmati China. Indonesia hanya dijadikan ekstensi untuk dukung industrialiasi China saja,” terang Faisal dalam tayangan YouTube milik pengamat politik, Refly Harun, yang diunggah pada Selasa (27/7/2021).

Faisal mengatakan pengembangan industri nikel di kawasan ekonomi khusus Morowali dan Konawe sampai saat ini belum memenuhi hilirisasi. Sebab, tidak ada fasilitas produksi untuk mengolah bijih nikel menjadi hidroksida dan nikel murni berkadar 99,9 persen yang menjadi bahan utama penghasil beterai.

Menurut Faisal, perusahaan-perusahaan smelter itu hanya mengolah sebagian besar bijih nikel pig iron (NPI) dengan produk akhir maksimal 20-25 persen. Dengan fasilitas yang ada, seperti tax holiday dan keringanan pajak ekspor, investor China dapat membeli olahan nikel setengah jadi ini dengan harga seperempat atau sepertiga lebih murah dari harga internasional.

Dampaknya bagi Indonesia, nilai ekspor akan naik. Namun nilai yang didapatkan Indonesia tidak maksimal.

“Karena itu, mereka berbondong-bondong datang ke Indonesia. Kalau pabrik tetap di China, mereka beli dengan harga USD100 per ton atau kilogram, kalau pindah ke Indonesia bisa dapat USD25-35 saja,” ujar Faisal dikutip dari asiatoday.id.

Ketika produk nikel setengah jadi sampai di China, akan diolah lebih lanjut menjadi produk sendok, garpu, pisau, atau lembaran baja yang tahan karat dengan kualitas tinggi. Setelah menjadi produk-produk tersebut, Indonesia kembali mengimpornya dari China. Analisis dan pandangan Faisal Basri itu juga telah dirilis di situs Faisalbasri.com beberapa waktu lalu. Ia menduga industri nikel hanya menjadi sarang bagi praktik pemburuan rente besar-besaran.

“Belum ada sama sekali pijakan untuk mengembangkan bijih nikel menjadi bahan utama untuk baterai lithium. Belum ada rute menuju ke sana. Indonesia sejauh ini hanya dimanfaatkan sebagai penopang industrialisasi di China dengan ongkos sangat murah dibandingkan kalau kegiatan serupa dilakukan di China,” demikian Faisal Basri menegaskan dalam tulisannya. (ATN)

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

BERITA TERBARU