Efek Perubahan Iklim, 2,6 Juta Kematian di Asia Terjadi Setiap Tahun
JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Sebuah riset yang diprakarsai oleh para ilmuwan mengungkap dampak mengerikan dari perubahan iklim. Para ilmuwan menemukan suhu ekstrem (panas dan dingin) akibat perubahan iklim telah memicu terjadinya kematian lebih dari 5 juta jiwa secara global setiap tahun. Dari jumlah itu, 2,6 juta jiwa terjadi di Asia setiap tahunnya.
Menurut riset yang diterbitkan di The Lancet Planetary Health awal bulan ini, 9,4 persen kematian global selama dua dekade terakhir dapat dikaitkan dengan suhu ekstrem. Sebagian besar dari kematian itu disebabkan oleh cuaca dingin. Tetapi perubahan iklim telah memperburuk risiko panas yang berbahaya.
Di Asia Tenggara, sekitar 190.000 kematian tahunan disebabkan oleh “suhu ekstrem”, dengan sekitar 89 persen di antaranya terkait dengan dingin. Tetapi trennya bergeser di wilayah tersebut, dengan kematian terkait panas meningkat.
“Ini dapat memberikan informasi yang sangat baik kepada berbagai tingkat pemerintahan tentang berapa banyak kematian yang terjadi akibat suhu panas dan dingin. Mereka dapat membuat rencana strategis untuk melindungi rakyatnya di masa depan. Saat ini, saya pikir banyak orang tahu bahwa suhu adalah risiko bagi kesehatan manusia, terutama panas dan dingin yang ekstrem. Kami dapat memberikan bukti ini,” katanya dikutip dari asiatoday.id.
Studi yang diterbitkan dalam jurnal pembangunan berkelanjutan adalah yang pertama secara langsung menghubungkan kematian dengan suhu dalam skala global, dengan menganalisis data dari 43 negara dan 750 kota.
Ditemukan, Eropa menderita tingkat kematian tertinggi karena panas antara 2001 dan 2019, dan Afrika sub-Sahara adalah yang paling terpengaruh oleh dingin yang tidak normal.
Sementara populasi secara bertahap dapat menyesuaikan diri dengan perubahan suhu, peristiwa ekstrem yang dipicu oleh perubahan iklim dapat secara langsung membahayakan kesehatan masyarakat. Kondisi gelombang panas yang kuat telah melanda belahan bumi utara dalam beberapa pekan terakhir, menyebabkan ratusan orang meninggal di beberapa negara. Guo mengatakan timnya berharap untuk lebih menyempurnakan data untuk menentukan berapa banyak kematian berlebihan yang disebabkan oleh peristiwa semacam itu.
William Goggins, seorang profesor di Fakultas Kedokteran di Chinese University of Hong Kong, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan tingkat kematian yang tinggi akan menjadi kejutan bagi mereka yang tidak bekerja di bidang ini dan lebih banyak bukti perlunya pemerintah untuk berinvestasi dalam mitigasi iklim, terutama di daerah perkotaan.
“Ada bagian dunia yang sudah sangat panas dan banyak orang di daerah ini tidak mampu membeli AC. Ada juga bahaya gelombang panas tiba-tiba di daerah di mana orang tidak terbiasa dengan panas dan mungkin tidak siap, bahkan jika mereka memiliki sumber daya untuk melakukannya,” katanya.
Menurut Goggins, para peneliti telah melihat ini terjadi dan gelombang panas ini akan terjadi dengan tingkat keparahan dan frekuensi yang meningkat.
“Desain perkotaan yang lebih baik, dengan lebih banyak ruang hijau dan biru, dan orientasi bangunan yang memungkinkan penetrasi angin yang lebih baik, berpotensi mengurangi efek panas perkotaan dan menurunkan mortalitas dan morbiditas terkait panas perkotaan,” katanya. (ATN)