Indonesia Masih Resesi
JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Badan Pusat Statisktik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan-I 2021 sebesar minus 0,74 persen secara year on year (yoy). Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan adapun besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku (ADHB) sebesar Rp3.969 triliun, sementara bila dilihat dari atas dasar harga konstan (ADHK) tercatat Rp2.683 triliun.
“Sekali lagi secara yoy perekonomian Indonesia triwulan-I 2021 mengalami kontraksi 0,74 persen, sementara secara q to q (quarter to quarter-red) mengalami kontraksi 0,96 persen,” ungkap Suhariyanto dalam telekonferensi pers, di Jakarta, Rabu (5/5).
Meskipun masih mengalami kontraksi, ia melihat perekonomian Indonesia mulai menunjukkan sinyal perbaikan. Hal itu dilihat dari pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2020 yang cukup tertekan hingga minus 5,32 persen yoy. Lalu mulai membaik pada triwulan III-2020 dengan minus 3,49 persen yoy, dan kuartal IV-2020 kembali minus sebesar 2,19 persen yoy.
“Di triwulan-I ini kontraksi kita hanya sebesar 0.74 persen. Ini menunjukkan bahwa tanda-tanda pemulihan ekonomi akan semakin nyata dan tentunya kita berharap ke depan apa yang kita harapkan bahwa pemulihan ekonomi akan terjadi di tahun 2021 betul-betul bisa terwujud,” paparnya, dikutip dari voaindonesia.com.
Suhariyanto cukup optimistis, pertumbuhan ekonomi tanah air akan semakin membaik ke depannya. Hal ini didukung dengan perekonomian mitra dagang utama Indonesia yang sudah bergerak positif.
Pertumbuhan ekonomi China, katanya, bergerak cukup impresif menjadi 18,3 persen, Amerika Serikat tumbuh 0,4 persen, Singapura tumbuh 0,2 persen, lalu Korea Selatan, Vietnam dan Hong Kong yang pada triwulan-I 2021 ini juga tumbuh sebesar 7,8 persen. Namun, katanya pertumbuhan ekonomi di Uni Eropa masih terkontraksi cukup dalam sebanyak minus 1,7 persen.
Sementara itu, sektor lapangan usaha yang terkontraksi paling dalam pada periode kali ini adalah sektor transportasi dan pergudangan yang tercatat minus 13,12 persen, serta akomodasi dan makan minum yang mengalami kontraksi minus 7,26 persen.
“Ekonomi Indonesia mengalami kontraksi 0,74 persen dan kalau kita lihat dari sumber pertumbuhannya maka transportasi dan pergudangan adalah sumber kontraksi yang terdalam yaitu sebesar minus 0,54 persen, kemudian disusul oleh industri pengolahan minus 0,29 persen, dan akomodasi dan makan minum minus 0,22 persen,” jelasnya.
Ditambahkannya, jika dilihat dari sisi komponen pengeluaran, yakni konsumsi rumah tangga, masih mengalami kontraksi sebesar minus 2,23 persen, sementara dari sisi investasi juga masih mengalami kontraksi tipis sebesar minus 0,23 persen. Hal ini, kata Suhariyanto harus terus diperbaiki, mengingat struktur PDB Indonesia sebanyak 88,89 persen berasal dari konsumsi rumah tangga dan investasi.
Dalam kesempatan ini, Suhariyanto juga melaporkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2021 tercatat 6,26 persen. Angka ini menurun dibandingkan pada posisi Agustus 2020 yang mencapai 7,07 persen. Dari laporan tersebut diketahui bahwa TPT untuk perempuan mengalami penurunan yang lebih cepat dibandingkan laki-laki. Untuk TPT perempuan turun 1,05 persen, sementara TPT laki-laki turun 0,65 persen.
Selain itu, diketahui pada Februari 2021 ada 19,10 juta penduduk usia kerja yang terdampak COVID-19. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1,62 juta penduduk usia kerja masih menganggur dan tidak mencari pekerjaan. Sementara sebanyak 1,19 juta orang masih tidak bekerja untuk sementara waktu.
“Yang paling besar dampaknya dialami oleh 15,72 juta penduduk usia kerja di mana mereka masih bekerja tapi mengalami pengurangan jam kerja atau jam kerja yang lebih pendek,” paparnya.
Tingkat pengangguran di perkotaan katanya juga turun lebih cepat dibandingkan dengan di pedesaan. Di kota pengangguran turun sebanyak 0,98 persen, dan di desa turun 0,6 persen.
“(TPT) Hampir menurun di seluruh provinsi. Seperti DKI Jakarta , Banten, dan Jawa Barat dari Agustus ke Februari turun 2,44 persen. Di Bali penurunan TPT nya sangat lambat karena Bali sangat tergantung dengan pariwisata, dan pertumbuhan ekonominya masih mengalami kontraksi sangat dalam,” pungkasnya.
Pengamat Ekonomi INDEF Bhima Yudistira mengatakan pemulihan ekonomi Indonesia cenderung lebih lambat daripada negara-negara lain, khususnya negara di kawasan Asia. Ia mencontohkan Singapura yang pertumbuhan ekonominya sudah positif pada triwulan-I 2021 ini. Ekonomi China dan Vietnam bahkan sudah positif sejak tahun lalu.
Menurutnya, ada beberapa faktor, mengapa pemulihan ekonomi Indonesia cukup lambat. Pertama, katanya, besaran stimulus pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia relatif kecil yakni berkisar 4-5 persen, sementara negara tetangga lainnya seperti Singapura dan Malaysia sudah berada di atas 10 persen dari PDB.
“Ini artinya, peluang fiskal untuk menciptakan pemulihan ekonomi, seperti perlindungan sosial, subsidi bagi UMKM, di Indonesia relatif kecil dan sangat terbatas, belum lagi ada problem seperti pendataan kemudian bantuan belum tepat sasaran, belum merata, juga terkait adanya korupsi dalam pemerintah, sehingga ini membuat pemulihan ekonomi cenderung lebih melambat,” ungkap Bhima kepada VOA.
“Jadi sense of crisis-nya kurang, padahal sekarang ini yang dibutuhkan adalah pasokan likuiditas dalam bentuk anggaran untuk segera dicarikan sehingga ekonomi daerah mulai bergerak kembali,” paparnya.
Agar perekonomian Indonesia bisa bergerak positif, Bhima menyarankan pemerintah untuk terus melanjutkan program perlindungan sosial seperti bantuan subsidi upah yang diberikan secara spesifik ke pekerja informal dan pekerja di sektor transportasi-pariwisata.
Selain itu, pemerintah juga perlu mempercepat penyerapan anggaran khususnya di tingkat pemerintah daerah (pemda), lalu meningkatkan investasi yang berkualitas yaitu investasi yang menyerap banyak tenaga kerja.
“Untuk triwulan-II -nya adalah ekspor. Pertumbuhan ekspor cukup menggembirakan. Kinerja ekspor naik 6,74 persen yoy karena pasar utama yakni China, AS dan Singapura pemulihannya cepat. Permintaan bahan baku dan barang penolong ke negara industri turut dongkrak harga komoditas CPO dan pertambangan. Momentum ini harus dimaksimalkan. Tapi untuk mencapai pertumbuhan tujuh persen di kuartal ke II nampaknya masih berat,” jelas Bhima. [gi/ab/VOA]