Kemurahan Hati dan Sedeqah
Renungan Ramadan 1442 Hijriah
Oleh: Makmur Ibnu Hadjar
KENDARI, LENTERASULTRA.COM – Syekh Ragip al-Jerrahi, seorang sufi dari Amerika, dalam sebuah ulasannya membagi kemurahan hati dalam tiga tingkatan. Pertama, kemurahan hati orang kebanyakan, indikasi kemurahan hati pada tingkatan ini adalah, memberikan atau mendermakan hartanya kepada orang lain, dari sebahagian kecil yang mereka miliki. Kedua, kemurahan hati dari segelintir (sedikit) orang, yaitu memberikan atau mendermakan sebagian besar harta yang mereka miliki, dan menyimpan hanya sebagian kecil untuk diri mereka sendiri. Ketiga, kemurahan hati para wali, yang mengabdikan dirinya hanya kepada kebenaran Tuhan. Mereka menyerahkan (mendermakan) seluruhnya, tidak menyisihkan sedikitpun untuk dirinya dan untuk masa datang, mengandalkan sepenuhnya pada apapun yang diberikan Tuhan.
Kemurahan hati, berarti kita menyambut kesempatan secara ihlas untuk bersedeqah, tampa sedikitpun menyesali apa yang telah kita dermakan.Sedeqah itu sebuah konsep ke-Ilahian dan sekaligus sosial (muamalah), yang secara umum dipahami oleh kebanyak orang sebagai perbuatan yang mulia, tetapi sebagian besar juga melihatnya sebagi tindakan yang berat untuk dilaksanakan. Seorang sufi Turki, Muzaffer Efendi, melukiskan beratnya jiwa kita untuk melakukan sedeqah, beliau mengatakan; bahwa sebahagian orang berperilaku dompet mereka seakan-akan diliputi jelatang, ketika meraih dompet untuk bersedeqah, tangannya seperti tersengat listrik, lalu membatalkannya.
Ada sebuah kisah yang menarik terkait dengan kemurahan hati dan sedeqah, yang kami nukilkan dalam renungan ini, sebagai berikut:
Alkisah, sebelum era Islam, seorang Nabi, dimasa awal penyebaran agama tauhid, tinggal disebuah kota kecil. Dia mengajari dan menujukkan kepada ummatnya tatacara keagamaan, mulai kelahiran, pernikahan dan pemakaman. Suatu hari dia memimpin pernikahan sepasang kekasih. Setelah pesta pernikahan usai, nampak eksprsi sang Nabi sangat sedih. Para sahabatnya bertanya, kenapa beliau nampak sangat sedih, dan beliau menjawab; “ Takdir kedua mempelai itu sangat menyedihkan. Mereka sangat bahagia saat ini, tetapi mereka akan mati malam ini juga”.
Keesokan paginya, sang Nabi melihat mempelai laki-laki itu di pasar. Sang Nabi terkejut, lalu mendekati pemuda itu, dan bertanya, apakah ia boleh datang di rumahnya. Pemuda itu berkata, ‘tentu saja boleh’. Sang nabi beranjak bersama pemuda itu. Setibanya di rumahnya, Sang Nabi lalu masuk, dan menyaksikan selimut sang ‘pengantin baru’ masih tergulung di pojok pembaringan. Sang nabi menyingkap selimut itu, dan serta merta muncul seekor ular yang sangat berbisa. Sang nabi bertanya kepada ular tersebut tentang apa yang terjadi tadi malam, dan ular itu menjawab; “aku bergulung diranjang ini untuk mendapatkan kehangatan. Ketika kedua mempelai itu naik ranjang, membuat aku terusik, saat hendak mematuk mereka, sekonyong-konyong ada yang mencengkram tubuhku, sehingga aku mematung sepanjang malam. Sang nabi berfikir, inilah ular yang nyaris membunuh pasangan pengantin baru, namun sesuatu merubah takdir mereka. Kemudian Sang nabi beralih bertanya kepada pasangan suami istri itu, adakah sesuatu yang istimewah terjadi semalam?. Suami istri saling memandang, mencoba mengingat, hingga sang istri berkata, “ sesaat sebelum kami beranjak tidur, seorang pengemis mengetuk pintu, dan meminta minum, dan aku memberinya segelas susu”.
Sang nabi berkata, “ segelas susu itulah yang menyelamatkan hidup kalian dari gigitan ular yang sangat berbisa itu”.
Dalam sebuah hadist, Rasulullah SAW, bersabda ; …..“sedeqah mencegah datangnya bencana”.
Sering kita terkecoh dan salah memahami, bahwa sedekah itu adalah amalia sepele, tetapi ternyata bahwa sedeqah itu, bersumber dari kemurahan hati, sehingga semakin sering kita bersedeqah maka hati kita semakin lembut, semakin lapangan, dan semakin leluasa menampung kearifan. Wallahuallam bissawab*.