‘Saatnya Indonesia Bangun Kekuatan Geopolitik untuk Selamatkan Kekayaan Genetik’
JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Perlahan namun pasti, Indonesia kini mulai menunjukkan kapasitasnya sebagai Negara yang diperhitungkan dipentas global. Dengan posisi geopolitik yang strategis, tidak heran kekayaan genetik yang ada di negeri itu juga menjadi rebutan negara-negara di dunia.
Indonesia sebagai negara kepulauan berada di antara dua benua besar, yaitu Asia dan Australia. Posisinya sangat strategis dengan kekayaan sumber daya alam hayati dan sekaligus endemisitas spesies flora dan fauna yang tinggi. Kekayaan Keanekaragaman Hayati (Kehati) yang tersimpan di wilayah perairan (marine mega biodiversity) Indonesia merupakan yang terbesar di dunia, sedangkan di daratan merupakan nomor dua di dunia setelah Brazil. Kekayaan kehati ini mencakup genetik, spesies hingga beranekaragam ekosistem unik.
Dilihat dari aspek geopolitik, perairan laut lepas dan daratan Indonesia yang terdiri dari kepulauan (archipelagic state) memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan negara-negara tetangga, sehingga memiliki daya tarik tersendiri bagi para investor yang bergerak dibidang pemanfaatan sumber daya alam termasuk sumber daya alam hayati dan sumber daya genetiknya.
“Geopolitik Indonesia yang dirumuskan dalam Ketetapan MPR Tahun 1993 dan Tahun 1998 menunjukan konsep cara pandangan politik nasional Indonesia, yang dirumuskan sebagai Wawasan Nusantara, yang memandang tatanan pulau dan lautan, serta masyarakat di dalam wilayah NKRI sebagai satu kesatuan wilayah, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, serta dijadikan sebagai landasan visional bagi pembangunan nasional,” ujar Menteri Siti, dikutip dari asiatoday.id.
Menteri Siti menerangkan, implementasi Wawasan Nusantara dapat dilihat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang meliputi : (1) Kesadaran akan pentingnya bersatu untuk mencapai tujuan bersama (kita mengenalnya sebagai persatuan dan kesatuan); (2) penguatan jati diri dan ikatan batin bangsa sebagai bangsa yang bermartabat, besar dan disegani ( sebagai konsep kebangsaan); (3) kesatuan wilayah nasional untuk menjamin keutuhan ruang hidup dan sumber kehidupan bangsa (sering kita sebut negara kepulauan); (4) kesatuan bangsa Indonesia dengan tanah airnya yang menjamin kelangsungan hidup dan pertumbuhan bangsa, (konsep geopolitik); (5) kesatuan dalam kemajemukan agar bangsa Indonesia tetap bersatu meskipun dari latar belakang yang berbeda-beda untuk meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan (kita menyebutnya Bhineka Tunggal Ika); serta (6) satu kesatuan kekuasaan berdasarkan kedaulatan rakyat untuk menjamin kesejahteraan, kedaulatan dan kemerdekaannya (sebagai konsep negara kebangsaan).
“Kita perlu ada kesepahaman dalam kesepakatan terhadap penentuan prioritas pemerintah dalam menyikapi posisi Indonesia terhadap negara lain dalam kerangka kesepakatan global dibidang sumber daya genetik. Keanekaragaman hayati dan sumber daya genetiknya yang dimiliki Indonesia, selain menjadi potensi yang luar biasa untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia juga menjadi menarik bagi negara-negara yang tidak memiliki sumber daya tetapi memiliki teknologi untuk dapat memanfaatkannya. Hal ini menjadi tantangan dan ancaman bagi kita apabila tidak mampu mengelolanya dengan baik”, paparnya.
“Oleh karena itu potensi keragaman genetik Indonesia harus dijaga dan dicegah agar tidak beralih kepada pihak asing tanpa sepengetahuan atau persetujuan pemerintah, lanjutnya.
Menteri Siti mencontohkan beberapa kasus pencurian sumber daya genetik (biopiracy), antara lain: (1) Publikasi peneliti asing tanpa ijin atas penemuan species baru Tawon Raksasa (Megalara Garuda) yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, (2) Pendaftaran paten atas 9 (sembilan) jenis tumbuhan asli Indonesia oleh Shiseido perusahaan kosmetik Jepang (kemudian dipaten-kan), meski saat ini sudah dicabut kembali patennya, (3) Pencurian Kantong Semar (Nephentes clipeata) di TWA Gunung Kelam, Kalimantan Barat oleh peneliti asing, dan (4) Publikasi tanpa ijin hasil penelitian amphibi dan reptil di TN Lore Lindu Sulawesi Tengah oleh peneliti asing.
“Kasus semacam ini masih banyak lagi kedepannya jika kita tidak segera mengantisipasi soal pengalolaan sumberdaya genetik kita,” imbuhnya.
Disisi lain Menteri Siti mengungkapkan jika para peneliti Indonesia sebenarnya telah mampu mengungkap potensi sumber daya genetik Indonesia (bioprospeksi).
Sebagai contoh, seperti (1) Pemanfaatan bakteri berguna (microba) untuk pengganti pupuk dan pestisida serta anti frost, (2) Penemuan anti-cancer pada soft Coral di TWA Teluk Kupang, (3) Budidaya Jamur Morel yang memiliki nilai ekonomis tinggi di TN Rinjani dan lain sebagainya.
“Potensi-potensi seperti ini harus terus kita cari dan kembangkan, sehingga sumber daya genetik Indonesia dapat kita jadikan sebagai modal/asset (natural capital) yang dirasakan secara nyata untuk mendukung kesejahteraan masyarakat serta menuju Indonesia maju,” tegasnya.
Oleh karenanya Menteri Siti meminta agar Indonesia sebagai negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang tinggi perlu memiliki kemampuan penguasaan teknologi untuk dapat mengolah kekayaan tersebut. Perwujudannya memerlukan dibukanya kesempatan/peluang kerjasama dengan negara-negara pemilik teknologi melalui kebijakan pemanfaatan sumber daya genetik yang menguntungkan Indonesia sebagai negara penyedia sumber daya.
Pemikiran yang dijadikan asas disini menekankan pada penjaminan pembagian keuntungan yang adil dan merata dari pemanfaatan sumberdaya genetik tersebut bagi pemiliknya. Selain itu diperlukan perhatian atas pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik tersebut.
“Banyak hal yang perlu dikembangkan terkait dengan pengaturan atas pemanfaatan sumber daya genetik, sehingga diperlukan kesepahaman antar Kementerian/Lembaga agar mampu melindungi keberadaan kekayaan keanekaragaman hayati sebagai asset negara untuk masa kini dan masa depan. Indonesia perlu mengalokasikan investasi untuk melakukan riset secara komprehensif terkait potensi pemanfaatan keanekaragaman hayati dan sumber daya genetik asli yang tersebar di seluruh daerah yang masih belum semuanya di eksplorasi. Hal ini mengingat bahwa sumber daya genetik memiliki nilai strategis untuk keutuhan pangan, kesehatan, energi, ekonomi, keamanan negara, perkembangan teknologi dan lingkungan serta sebagai bentuk kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tandasnya.
Sementara itu, Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar sepakat bahwa sangat penting bagi Indonesia untuk terus berupaya keras menjaga kelestarian keanekaragaman hayatinya, sumber daya genetik dan pengetahuan-pengetahuan tradisional dan mengembangkannya secara berkelanjutan.
Menurutnya, Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mengelola keanekaragaman hayati termasuk dari aspek perlindungan, konservasi, serta pemanfaatan dan pembagian keuntungan dari pemanfaatan komponen kehati telah dilakukan pemerintah disegala tingkatan dari nasional hingga global.
Di tingkat internasional Indonesia menjadi negara pihak konvensi keanekaragaman hayati atau CBD dan telah meratifikasinya menjadi UU No 5/1994. Indonesia juga telah meratifikasi International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (ITPGRFA) melalui UU No.4/2006 tentang upaya perlindungan sumber daya genetik tanaman untuk pangan dan pertanian.
Pengelolaan keanekaragaman hayati Indonesia juga diatur dalam UU No.11/2013 tentang pengesahan Protokol Nagoya mengenai akses pada sumber daya genetik dan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang yang timbul dari pemanfaatannya. Indonesia juga aktif dalam perundingan di forum internasional lainnya.
Guna mengoptimalisasi pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia serta menjaga kedaulatan negara atas kekayaan alamnya, Mahendra Siregar menekan beberapa hal yang perlu untuk terus dimajukan, diantaranya dengan memperkuat kompetensi domestik dan meningkatkan investasi dibidang riset, ilmu pengetahuan teknologi dan inovasi mengenai kehati. Kemudian pentingnya meningkatkan kerjasama multipihak baik dengan pamengku kepentingan nasional maupun internasional, serta dengan penguatan mekanisme dan kerja sama internasional.
“Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian kekayaan kehati global berada di negara-negara berkembang, banyak negara dan perusahaan di negara maju yang memiliki kepentingan baik untuk keperluan usaha, investasi maupun industri mencari potensi sumber daya genetik dari negara-negara berkembang untuk kemudian dikembangkan untuk kebutuhan penelitian, ekonomi, dan komersial. Hal ini yang Pemerintah terus kejar agar terjadi pembagian keuntungan yang adil dan seimbang yang timbul dari pemanfaatan komponen kehati” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Kepala LIPI Laksana Tri Handoko bahwa pengelolaan sumber daya genetik penting dilakukan. LIPI sebagai scientific authority mengupayakan perlindungan sumber daya genetik melalui konservasi eksitu yaitu Kebun Raya. LIPI juga mengkoleksi spesimen fisik/spesimen mati baik flora maupun fauna dan juga mikroba kemudian saat ini LIPI juga sudah melakukan ekstraksi data digitalnya baik itu data DNA, struktur protein dan juga senyawa-senyawa aktif yang dikandung di spesimen-spesimen tersebut.
“Informasi dari ekstraksi itu sangat penting karena saat ini kita tidak cukup hanya dengan tracing dari taksonomi konvensional, kita harus masuk ke level molekuler, sehingga jika kita ingin menuntut benefit sharing sesuai dengan Protokol Nagoya yang telah kita ratifikasi, maka kita bisa membuktikan secara molukuler bahwa ini memang sumber daya genetik asli Indonesia. Kemudian juga tentu akan berguna sampai pemanfaatan khususnya yang terkait dengan bioenginering dan bioteknologi,” ungkap Laksana.
Forum ini diselenggarakan selama 2 (dua) hari pada tanggal 23 – 24 Maret 2021 secara hybrid, tatap muka (untuk pembicara) dan on-line (untuk Peserta), bertempat di ruang Rimbawan I Gedung Manggala Wanabhakti Kementerian LHK Jakarta. FGD hari pertama ini dihadiri oleh sekitar 4.021 orang peserta secara online yang terdiri dari perwakilan Kementerian/Lembaga, Akademisi dan Pakar, serta praktisi di bidang sumber daya genetik. (ATN)