Omnibus Law Indonesia Diduga Mengadopsi Sistem Komunis China
JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Sorotan terhadap Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR RI dan Pemerintah masih terus bergulir.
Kali ini, sorotan datang dari Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia, Fahri Hamzah.
Fahri menduga Omnibus Law Cipta Kerja (UU Ciptaker) diadopsi oleh pemerintah dan DPR RI dari sistem komunis China.
Menurutnya, pemerintah dan DPR melihat kapitalisme baru ala China lebih menjanjikan dibandingkan kapitalisme konservatif model Amerika Serikat dan di Eropa.
“Sekarang ada kapitalisme baru yang lebih menjanjikan, kapitalisme komunis China. Dari situ diambil kesimpulan, kita harus mengambil jalan mengikuti pola perkembangan ekonomi kapitalisme China yang sebenarnya tidak cocok dengan Indonesia,” kata Fahri melalui keterangan tertulisnya yang diterima Jumat (16/10/2020).
Menurut Fahri mengutip Asiatoday.id, indikasi pemerintah Indonesia mengadopsi sistem China itu terlihat dari sikap para investor dari Amerika Serikat dan Eropa yang ramai-ramai mengirimkan surat ke pemerintah Indonesia, untuk menolak UU Ciptaker karena dianggap tidak bersahabat dengan investor.
Fahri memandang, sikap para investor Amerika Serikat dan Eropa itu memperlihatkan pihak yang berkepentingan di balik UU Ciptaker.
“Sekarang investor Amerika dan Eropa ramai-ramai menulis surat, ini kekeliruan dan mereka menolak UU ini. Kalau investor Amerika dan Eropa menolak, undang-undang ini untuk investor yang mana?” tanya Fahri.
Fahri mengungkapkan, sistem pembentukan regulasi Omnibus Law tidak cocok dengan Indonesia yang menjalankan sistem demokrasi.
“Tradisi demokrasi yang demokratis selama ini, falsafahnya akan diganti dengan nilai-nilai kapitalisme baru yang merampas hak-hak individual dan berserikat atau berkumpul. Mereka juga diberikan kewenangan untuk memobilisasi dana, tanpa dikenai peradilan,” jelasnya.
Fahri berpandangan, pemerintah dan DPR tidak menyadari akan potensi yang sangat berbahaya tersebut.
Menurutnya, pemerintah dan DPR tidak mampu memahami mazhab atau falsafah di belakang UU Ciptaker secara utuh.
Bahkan kata dia, ketidakpahaman terhadap mazhab kapitalisme baru China ini dialami oleh seluruh partai politik, termasuk yang akhirnya menolak pengesahan UU Ciptaker.
Berangkat dari itu, Fahri mempertanyakan pihak yang berkepentingan hingga UU Ciptaker dipaksakan untuk disahkan secara cepat.
Dia menilai, UU Ciptaker akan menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah dalam menarik investasi asing agar menanamkan modal di Indonesia.
“Ini akan menjadi problem tersendiri, karena mazhab UU Ciptaker ini tidak berasal dari pemikiran negara demokrasi seperti Prancis yang menghargai demokrasi dan tidak merusak lingkungan serta tidak merampas hak individu dan berserikat. UU ini mazhabnya dari kapitalisme China,” ujarnya.
UU Ciptaker disahkan DPR dan pemerintah dalam rapat paripurna yang diselenggarakan pada Senin (5/10). Pengesahan regulasi itu kemudian mendapat gelombang penolakan dari elemen buruh, mahasiswa dan masyarakat dengan menggelar unjuk rasa turun ke jalan.
Sementara itu, anggota Baleg DPR dari Fraksi PAN Ali Taher Parasong memandang pernyataan Fahri yang menyebut UU Ciptaker diadopsi dari sistem komunis China bisa diperdebatkan.
Ia menegaskan, regulasi berbentuk omnibus law bersumber dari berbagai macam disiplin hukum, seperti eropa continental dan eropa anglo saxon.
“Saya kira bisa diperdebatkan. Tapi dari sisi sumber informasi terkait dengan persoakan omnibus ini, informasi dari berbagai macam displin hukum, termasuk eropa continental, eropa anglo saxon. Semua dibicarakan, persoalan setuju atau tidak soal lain,” kata Ali saat dihubungi Jumat (16/10).
Menurutnya, semangat pembuatan omnibus law UU Ciptaker lebih kepada kodifikasi hukum dan kebutuhan hukum nasional Indonesia, terkait dengan proteksi investasi
Ali pun menyatakan bahwa investasi diperlukan agar para pengusaha bisa berinvestasi serta banyak tenaga kerja baru yang terserap di dalam dunia kerja.
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya menegaskan Indonesia membutuhkan beleid tersebut karena sejumlah kondisi.
“Saya tegaskan mengapa kita membutuhkan Undang-Undang Cipta Kerja. Pertama,setiap tahun ada sekitar 2,9 juta penduduk usia kerja baru (anak muda) yang masuk ke pasar kerja, sehingga kebutuhan atas lapangan kerja baru sangat-sangat mendesak,” ujar Jokowi dalam pernyataan yang ia sampaikan dari Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (9/10) lalu.
Jokowi menerangkan apalagi di tengah kondisi pandemi Covid-19 terdapat kurang lebih 6,9 juta pengangguran dan 3,5 juta pekerja terdampak.
“Dan, sebanyak 87 persen dari total penduduk bekerja memiliki tingkat pendidikan setingkat SMA ke bawah, di mana 39 persen berpendidikan sekolah dasar sehingga perlu mendorong penciptaan lapangan kerja baru, khususnya di sektor padat karya. Jadi, Undang-Undang Cipta Kerja bertujuan untuk menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya bagi para pencari kerja serta para pengangguran,” kata dia.
Kedua, kata dia, dengan Undang-Undang Cipta Kerja akan memudahkan masyarakat, khususnya usaha mikro kecil untuk membuka usaha baru. Regulasi yang tumpang-tindih dan prosedur yang rumit, dipangkas.
“Perizinan usaha untuk usaha mikro kecil (UMK) tidak diperlukan lagi, hanya pendaftaran saja, sangat simpel. Pembentukan PT atau Perseroan Terbatas juga dipermudah, tidak ada lagi pembatasan modal minimum. Pembentukan koperasi juga dipermudah, jumlahnya hanya 9 orang saja koperasi sudah bisa dibentuk. Kita harapkan, akan semakin banyak koperasi-koperasi di Tanah Air,” tutur Jokowi.
Ketiga, sambungnya, UU Ciptaker akan mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, ini jelas karena dengan menyederhanakan, dengan memotong, dengan mengintegrasikan ke dalam sistem perizinan secara elektronik maka pungutan liar (pungli) dapat dihilangkan.
“Pemerintah berkeyakinan melalui Undang-Undang Cipta Kerja ini, jutaan pekerja dapat memperbaiki kehidupannya dan juga penghidupan bagi keluarga mereka,” katanya seraya menilai penolakan-penolakan atas UU Ciptaker saat ini terjadi karena disinformasi.
Oleh karena itu, kepada yang tak puas terhadap Undang-Undang Cipta Kerja ini, Jokowi mempersilakan melakukan uji materi (judicial review) melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
“Sistem ketatanegaraan kita memang mengatakan seperti itu. Jadi, kalau masih ada yang tidak puas dan menolak, silakan diajukan uji materi ke MK,” imbuhnya. (ATN)