Politisi, Gubernur, Akademisi hingga Ormas Desak Jokowi Batalkan Omnibus Law

1,171

 

                                                                                                                                                                                  Presiden Jokowi —ist—

JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Gelombang penolakan terhadap pengesahan Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja oleh DPR pada 5 Oktober 2020, terus menggema di Indonesia.

Aksi demonstrasi mahasiswa dan buruh pun terjadi dihampir seluruh kota di negeri itu dan puncaknya pada Kamis, 8 Oktober 2020. Bentrokan antara demonstran dengan aparat, pembakaran dan pengrusakan berbagai fasilitas hingga tindakan represif aparat mewarnai unjuk rasa pada hari itu.

Dengan kondisi ini, politisi Partai Gerindra, Fadli Zon mendesak Presiden Joko Widodo mendengar aspirasi penolakan, dan segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Perppu untuk membatalkan Omnibus Law tersebut.

“Pak @jokowi, RUU ini atas inisiatif pemerintah. Walaupun telah disahkan @DPR_RI dengan jurus kilat dan tergesa-gesa, ada baiknya dipertimbangkan aspirasi masyarakat banyak. Saran saya segera keluarkan Perppu membatalkan #OmnibusLaw,” tulis Fadli Zon di akun Twitter @fadlizon yang dikutip Asiatoday.id Jumat (9/10/2020).

“Pak Kapolri, banyak polisi brutal dalam penanganan demonstrasi di berbagai tempat. Lihat saja video yang diambil warga. Sangat tidak profesional dan menganggap demonstran sebagai musuh. Seharusnya polisi di lapangan tak boleh bawa senjata @DivHumas_polri,” tulisnya.

Selain itu, Fadli mengapresiasi para kepala daerah yang melakukan dialog dengan para buruh, mahasiswa, dan elemen masyarakat di daerahnya yang menolak UU Cipta Kerja. Dan akan menyampaikan aspirasi agar Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu.

“Kalau banyak Gubernur seperti ini, saya yakin presiden @jokowi akan mempertimbangkan keluarkan Perppu membatalkan #OmnibusLaw,” kicaunya.

Sementara itu, Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji, meminta Presiden Jokowi untuk mencabut Omnibus Law, UU Cipta Kerja, yang sebelumnya telah disahkan oleh DPR.

Menurut Sutarmidji, hal tersebut perlu dilakukan demi menghindari pertentangan di masyarakat.

“Saya Gubernur Kalbar, dengan ini mohon kepada Presiden untuk secepatnya mengeluarkan Perppu yang menyatakan mencabut Omnibus Law, UU Cipta Kerja, demi terhindarnya pertentangan masyarakat dan tidak mustahil semakin meluas,” tulis Sutarmidji di akun Facebook miliknya, dikutip Jumat (9/10/2020).

Ia mengatakan, Undang-Undang yang baik seharusnya sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

Penolakan juga disuarakan oleh ratusan akademisi dari berbagai universitas di seluruh Indonesia.

“Forum ini bentuk tanggung jawab kaum intelektual. Kami berharap agar bapak ibu yang terhormat serta saudara-saudara lainnya yang terlibat dalam pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja ini sungguh-sungguh mendengar keberatan kami,” kata Profesor Susi Dwi Harijanti, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, dalam forum pernyataan sikap itu.

Ratusan Profesor, Dekan, dan Dosen ini menyebut DPR memperlakukan UU Cipta Kerja secara berbeda. Menurut mereka pembahasan UU ini tergolong cepat, berbeda dengan pembahasan lain yang biasanya lamban.

Susi yang mewakili forum saat membacakan pernyataan sikap, mengungkapkan prosedur dan muatan UU Cipta Kerja sangat terburu-buru. Salah satu ketergesaan, misalnya, pengesahan UU Cipta Kerja ini dilakukan pada malam hari, Senin 5 Oktober 2020.

“Sampai menyita waktu istirahat para anggota dewan dan menteri yang terhomat. Begitu banyak yang mengkritik kehadiran Undang-Undang Cipta Kerja tapi pembuat undang-undang bergeming. Lalu dianggap apa partisipasi publik,” katanya.

Related Posts
PENGUMUMAN KPU KABUPATEN MUNA  

Pengumuman Kabupaten Bombana

Mereka menyayangkan eksklusifitas UU Cipta Kerja. Para akademisi juga menduga produk hukum ini bukan untuk kepentingan rakyat. Padahal, menurut mereka undang-undang adalah alat bagi rakyat untuk menentukan bagaimana cara negara diatur dan bagaimana negara diselenggarakan.

Susi menyoroti mengapa Undang-Undang Cipta Kerja ini kontroversial. Salah satu yang ia sebut adalah UU Cipta Kerja telah menyalahi konstitusi soal otonomi daerah.

Selain itu ia juga menyebut soal pencabutan hak tenaga kerja yang memicu protes dari buruh, dan hak atas lingkungan hidup.

“Kami tidak ingin demoralisasi Indonesia bergerak meluas akibat pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja,” kata dia.

Penolakan juga disuarakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menegaskan sejak awal Muhammadiyah meminta kepada DPR untuk menunda, bahkan membatalkan pembahasan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Selain karena masih dalam masa pandemi Covid-19, di dalam RUU itu juga banyak pasal yang kontroversial.

“RUU Cipta Kerja tidak mendapatkan tanggapan luas dari masyarakat. Padahal seharusnya sesuai UU, setiap RUU harus mendapatkan masukan dari masyarakat, tapi DPR jalan terus, Omnibus Law tetap disahkan,” kata Mu’ti.

Dikatakan, usul Muhammadiyah dan beberapa organisasi yang mengelola pendidikan telah diakomodir oleh DPR. Lima UU yang terkait dengan pendidikan sudah dikeluarkan dari Omnibus Law Cipta Kerja.

Namun masih ada pasal terkait dengan perizinan yang masuk dalam Omnibus Law Cipta Kerja.

Mu’ti menyampaikan, sebaiknya semua elemen masyarakat dapat menahan diri dan menerima keputusan DPR sebagai sebuah realitas politik. Jika terdapat keberatan terhadap UU atau materi dalam UU tersebut dapat melakukan judicial review. Demo dan unjuk rasa tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan akan menimbulkan masalah baru.

Sementara itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan pernyataan sikap resmi terkait pengesahan UU Cipta Kerja. NU akan ikut bersama pihak-pihak yang berupaya mencari keadilan dengan menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pernyataan sikap tersebut ditandatangani oleh Ketua PBNU Said Aqil Siroj dan Sekjen Helmy Faishal Zaini.

Ada 9 butir sikap yang dituangkan ormas Islam tersebut menanggapi pengesahan UU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020.

Tokoh NU Ulul Abshar Abdalla menyebarkan sikap resmi tersebut pada Jumat (9/10/2020). Dia mengatakan bahwa sikap PBNU berada di pihak yang menolak UU tersebut.

“Kata Kiai Said, ini UU yang zalim,” tulisnya di Twitter

Berikut pernyataan lengkap PBNU terkait pengesahan RUU Cipta Kerja:

Mencermati dinamika terkait legislasi dan pengesahan UU Cipta Kerja, Nahdlatul Ulama menyampaikan beberapa sikap sebagai berikut:

  1. Nahdlatul Ulama menghargai setiap upaya yang dilakukan negara untuk memenuhi hak dasar warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Lapangan pekerjaan tercipta dengan tersedianya kesempatan berusaha. Kesempatan berusaha tumbuh bersama iklim usaha yang baik dan kondusif. Iklim usaha yang baik membutuhkan kemudahan izin dan simplisitas birokrasi. UU Cipta Kerja dimaksudkan untuk menarik investasi dengan harapan dapat memperbanyak lapangan pekerjaan dan menyalurkan bonus demografI sehingga dapat mengungklt pertumbuhan serta keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap).
  2. Namun, Nahdlatul Ulama menyesalkan proses legislasi UU Ciptaker yang terburu-buru, tertutup dan enggan membuka diri terhadap aspirasi publik. Untuk mengatur bidang yang sangat luas. yang mencakup 76 UU, dibutuhkan kesabaran, ketelitian, kehati-hatian dan partisipasi luas para pemangku kepentingan. Di tengah suasana pandemi, memaksakan pengesahan undang-undang yang menimbulkan resistensi publik adalah bentuk praktek kenegaraan yang buruk.
  3. Niat baik membuka lapangan kerja tidak boleh diciderai dengan membuka semua hal menjadi lapangan komersial yang terbuka bagi perizinan berusaha. Sektor pendidkan termasuk bidang yang semestlnya tidak boleh dikelola dengan motif komersial murni, karena termasuk hak dasar yang harus disediakan negara. Nahdlatul Ulama menyesalkan munculnya Pasal 65 UU Ciptaker, yang memasukkan pendidikan ke dalam bidang yang terbuka terhadap perizinan berusaha. lni akan menjerumuskan Indonesia ke dalam kapitalisme pendidikan. Pada gilirannya pendidikan terbaIk hanya bisa dinikmati oleh orang-orang berpunya.
  4. Upaya menarik investasi juga harus disenai dengan perlindungan terhadap hak-hak pekena. Pemberlakuan pasar tenaga kerja fleksibel (labor market flexibility) yang diwujudkan dengan perluasan sistem PKWT (Pekerja Kontrak Waktu Tertentu) dan alih daya akan merugikan mayoritas tenaga kerja RI yang masih didominasi oleh pekerja dengan skiII terbalas. Nahdlatul Ulama bisa memahami kerisauan para buruh dan pekerja terhadap Pasal 81 UU Ciptaker yang mengubah beberapa ketentuan di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Penghapusan jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun bagi pekerja PKWT (Pasal 59) meningkatkan risiko pekerja menjadi pekerja tidak tetap sepanjang berlangsungnya industri. Pengurangan komponen hak-hak pekerja seperti, uang penghargaan dan uang penggantian mungkin menyenangkan investor, tetapi merugikan jaminan hidup layak bagi kaum buruh dan pekerja.
  5. Upaya menarik investasi juga harus disertai dengan perlindungan lingkungan hidup dan konservasi sumber daya alam. Menganakemaskan sektor ekstraktif dengan sejumlah insentif dan diskresi kepada pelaku usaha tambang, seperti pengenaan tarif royalti 0 persen sebagaimana tertuang di dalam Pasal 39 UU Cipta Kerja, mengancam lingkungan hidup dan mengabaikan ketahanan energi. Alih-alih mengubah isi UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba yang mengokohkan dominasi negara dan oligarki, UU Cipta Kerja memperpanjang dan memperlebar karpet merah bagi pelaku usaha. Pemerintah menjamin investasi dan diskresi menteri tanpa batas bagi pelaku usaha yang menjalankan usaha hulu-hilir secara terintegrasi untuk mengekstraksi cadangan mineral hingga habis. Ini mengabaikan dimensi konservasi, daya dukung lingkungan hidup, dan ketahanan energi jangka panjang. Pemerintah bahkan mendispensasi penggunaan jalan umum untuk kegiatan tambang, yang jelas merusak fasilltas umum yang dibangun dengan uang rakyat.
  6. Upaya menarik investasi tidak boleh mengorbankan ketahanan pangan berbasis kemandirian petani. Pasal 64 UU Ciptaker yang mengubah beberapa pasal dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan berpotensi menjadikan impor sebagai soko goro penyediaan pangan nasional. Perubahan Pasal 14 UU Pangan menyandingkan impor dan produksi dalam negeri dalam satu pasal. Ini akan menimbulkan kapitalisme pangan dan memperluas ruang perburuan rente bagi para importir pangan.
  7. Semangat UU Cipta Kerja adalah sentralisasi, termasuk dalam masalah sertifikasi halal. Pasal 48 UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuan dalam UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal mengokohkan pemusatan dan monopoli fatwa kepada satu Iembaga. Sentralisasi dan monopoli fatwa, di lengah antusiasme industri syariah yang tengah tumbuh, dapat menimbulkan kelebihan beban yang mengganggu keberhasilan program sertifikasi. Selain itu, negara mengokohkan paradigma bias industri dalam proses sertifikasi halal. Kualifikasi auditor halal sebagaimana dltegaskan dalam Pasal 14 adalah sarjana bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, kedokteran, tata boga atau pertanian. Pengabaian sarjana syariah sebagal auditor halal menunjukkan sertifikasi halal sangat bias industri, seolah hanya terkait proses produksi pangan, tetapi mengabaikan mekanisme penyediaan pangan secara luas.
  8. Nahdlatul Ulama membersamai pihak-pihak yang berupaya mencari keadilan dengan menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Dalam suasana pandemi dan ikhtiar bersama untuk memotong rantai penularan. Upaya hukum adalah jalur terbaik dan terhormat dalam mencari keadilan dibanding mobilisasi massa.
  9. Semoga Allah selalu melindungi dan menolong bangsa Indonesia dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. (ATN)

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

BERITA TERBARU