Moratorium Ekspor Bijih Nikel, Tata Niaga Domestik Harus Dibenahi
JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan larangan ekspor bijih nikel dipercepat, dari sebelumnya pada 1 Januari 2020 menjadi 28 Oktober 2019, lebih cepat dua bulan dari yang disepakati, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 tahun 2019.
Merespon hal tersebut, anggota Badan Anggaran DPR RI, Siti Mukaromah mengatakan pentingnya langkah antisipasi menanggapi percepatan moratorium bijih nikel terutama untuk wilayah Provinsi Sulawesi Selatan sebagai kontributor terbesar.
“Dampak negatif dari moratorium Ekspor bijih nikel adalah pengurangan pemasukan negara dari ekspor nikel. Sebagai contoh, kinerja ekspor Sulawesi Selatan periode Agustus 2018 mengalami penurunan 10,96% bila dibandingkan periode Juli pada tahun yang sama karena dipengaruhi merosotnya pengiriman nikel ke Jepang,” jelas wakil rakyat dari Fraksi PKB ini melalui keterangan tertulisnya seperti dikutip AsiaToday. Id yang diterima Minggu(15/12/2019).
Hal itu disampaikan oleh Anggota Badan Anggaran DPR RI dalam Kunjungan Kerja Badan Anggaran dalam rangka melihat realisasi perekonomian serta menggali informasi yang komprehensif mengenai potensi perekonomian di wilayah tersebut.
Kendati demikian, legislator yang akrab disapa Mbak Erma ini mengungkapkan bahwa moratorium ekpsor bijih nikel ini akan membawa dampak yang positif dalam jangka panjang.
“Dalam jangka panjang, ekspor produk hilir bijih nikel dengan nilai tambah yang lebih tinggi akan mampu membawa dampak positif untuk perekonomian Indonesia,” terangnya.
Secara ideal, hilirisasi produk nikel ini akan menciptakan supplai chain baru sehingga memperkuat keterkaitan hulu-hilir nikel (mining, extraction, refining, first use, hingga end uses). Salah satu manfaat hilirisasi adalah meningkatnya nilai ekonomis produk hilir nikel yang jauh lebih tinggi, bisa empat sampai lima kali dari produk hulu/bijih nikel.
“Implikasi jangka panjang yang ditargetkan adalah akselerasi industri baterai mobil listrik Indonesia,” jelas anggota DPR RI Komisi VI ini.
Baterai litium-ion adalah jantung dari revolusi mobil listrik. Saat ini, produsen baterai telah berupaya meningkatkan kadar nikel dalam komponen bahan baku utama baterai mobil listrik, mengingat harga nikel relatif lebih murah. Peningkatan kandungan nikel dalam komposisi baterai juga akan meningkatkan kepadatan energinya sehingga mobil listrik akan memiliki kemampuan jarak tempuh yang lebih jauh.
“Jika Indonesia berhasil memaksimalkan potensi pasar global baterai mobil listrik sebagai produk hilir dari nikel produksi dalam negeri, penerimaan negara akan meningkat, permasalahan defisit transaksi berjalan akan teratasi dalam jangka panjang. Hal ini akan membawa stabilitas rupiah yang lebih baik dan membuka ruang bagi lingkungan suku bunga lebih rendah di Indonesia,” lanjut Erma yang juga menjabat sebagai Ketua Kelompok Badan Anggaran Fraksi PKB ini.
Dalam pertemuan Badan Anggaran DPR RI dengan Gubernur Sulawesi Selatan, para bupati se-Sulawesi Selatan, Anggota DPRD Sulsel, Kantor Wilayah Dirjen Pajak Sulsel, dan Bank Indonesia itu, Erma menekankan bahwa kebijakan ini harus diikuti dengan kebijakan-kebijakan yang tepat agar tercipta penyambungan industri hulu hingga hilir nikel.
“Pemerintah harus menata tata niaga nikel ini, agar smelter bisa membeli hasil nikel dari penambang sesuai dengan harga internasional. Pemerintah juga harus menyediakan insentif sehingga investor asing tertarik ikut andil dalam industri hilir di dalam rantai nilai (suplly chain) hulu-hilir nikel,” pungkas Erma.
Industri-industri hilir dari nikel akan tumbuh dan dapat menciptakan lapangan kerja baru. Salah satunya manfaatnya adalah membuka kesempatan kerja yang lebih luas kepada masyarakat Indonesia.
“Maka dari itu, Pemerintah dan Pemerintah daerah harus menyiapkan sumber daya manusia yang mampu mengisi peluang dalam pembentukan industri hilir ini,” pungkas Erma. (AT Network)