Nyantri dan Santri di Era Milenial: Refleksi Hari Santri

2,859
Idaman, Sekretaris Lakpesdam NU Sultra. (Istimewa)
Related Posts
PENGUMUMAN KPU KABUPATEN MUNA  

Pengumuman Kabupaten Bombana

KENDARI, LENTERASULTRA.COM – Dalam ulasannya tentang adab seorang pencari ilmu, Imam al-Zarnuji Pengarang Kitab Ta’lim Al-Muta’alim, menulis, “Mereka yang mencari pengetahuan hendaklah selalu ingat bahwa mereka tidak akan pernah mendapatkan pengetahuan atau pengetahuannya tidak akan berguna, kecuali kalau ia menaruh hormat kepada pengetahuan tersebut dan juga menaruh hormat kepada guru yang mengajarkannya. Hormat kepada guru bukan hanya sekadar patuh…sebagaimana dikatakan oleh Sayyidina Ali, ‘saya ini hamba dari orang yang mengajar saya, walaupun hanya satu kata saja’”. (h. 60).

Selanjutnya Imam al-Zarnuji menulis, “seorang murid harus selalu berusaha menyenangkan gurunya; ia tidak boleh berjalan di depan guru; jangan sekali-sekali duduk di kursi yang biasa diduduki guru; janganlah membuka percakapan dengan guru sebelum ia sendiri mengajak bicara, dan janganlah berbicara terlalu banyak dengannya, atau menanyakan soal-soal sekiranya hal ini tidak begitu berkenan di hati guru” (h. 63).

Kutipan panjang tersebut menunjukkan, bahwa dalam soal pendidikan, khususnya di pesantren, adab seorang murid sangat penting dan melampaui ilmu pengetahuan. Sehingga ada istilah, ‘adab mendahului ilmu’, al-adab fauqa-l ‘ilm”. Seorang murid atau santri di pesantren memiliki kepatuhan dan kesetiaan mutlak kepada kyai sampai mati. Seorang santri tidak sepatutnya mengatakan, bahwa ia adalah mantan santri kyai anu. Karena itu, sekali ia menjadi santri, selama-lamanya ia menjadi santri. Dengan catatan, selama ia menjaga adab sebagai seorang santri.

Selain adab, biasanya seorang kyai menekankan penguasaan dan kepemilikan terhadap salah satu kitab kuning sebagai syarat utama untuk disebut sebagai santri. Ketika saya masih nyantri, kyai saya selalu berpesan, ‘kemana pun kalian pergi menuntut ilmu, bawalah selalu kitab bulughul maram, jika tidak maka ia bukan santriku’.

Menjadi seorang santri bukan sesuatu yang maha singkat, sesingkat pencarian ilmu pengetahuan agama melalui ‘pesantren google’. Seorang santri memerlukan waktu yang cukup panjang dalam menyedot segala jenis ilmu pengetahuan agama dari seorang kyai. Di samping itu, seorang santri harus mampu siap secara fisik dan mental. Ia harus bisa mengabaikan rasa rindu akan keluarga yang kerap datang mendera, menahan diri dari nafsu makan dan tidur berlebihan. Singkatnya, pesantren sebagai tempat ‘nyantri’ adalah gambaran dunia realitas sebagaimana di luar pesantren. Karena itu, pesantren tidak saja membekali seorang santri dengan adab dan ilmu pengetahuan, tetapi juga membekali dan menempa mental seorang santri agar siap kembali ke dunia di luar pesantren. Layaknya di sebuah padepokan, seorang pesilat harus mempersiapkan diri sematang-matangnya, paling tidak menguasai segala macam jurus dan jenis-jenis senjata, serta tenaga dalam, sebelum turun berkelana di rimba persilatan.

Seorang santri tidak selalu merasa cukup dan puas dengan ilmu pengetahuan yang didapatkan selama nyantri, tetapi harus lebih kreatif dan inovatif dalam memperluas dan mengembangkan ilmunya. Seorang kyai pernah berpesan, ‘saya hanya memberikan tanah segenggam, maka bumikanlah, setetes air, maka lautkanlah’. Sebuah petuah yang sarat dengan makna, tentang kewajiban menuntut ilmu hingga akhir ‘uthlubu-l ‘ilma mina-l Mahdi ila-l lahdi’. Kita tidak mesti berhenti dan merasa puas dengan ilmu pengetahuan agama yang didapatkan saat nyatri, tetapi perlu dilanjutkan.

Santri Orisinil

Uraian di atas merupakan gambaran ideal sebagai seorang santri. Gambaran ini tampaknya masih nampak dan dipraktikan di masa kini di kalangan santri dan pesantren di negeri ini. Dalam hal adab dan ilmu, para santri tidak perlu terlalu tergesa-gesa dan ‘potong kompas’ dalam mencari ilmu pengetahuan. Sabar, tekun dan ngalap berkah kyai adalah dia antara sejumlah cara sukses nyantri di peantren. Ini mengabaikan istilah masa kini, ‘tidak perlu ke pesantren untuk belajar agama, tetapi cukup melalui mbah google’. Cara-cara instan mendapatkan ilmu agama ini, tentu berkahnya akan sangat berbeda dengan yang didapatkan oleh santri sejati di pesantren. Lagi-lagi, ini soal tatap muka, rasa, kedekatan hati, dan berkah yang didapatkan dari seorang kyai. Ini tentu berbeda dengan ‘santri seolah-olah’ yang hanya perlu punya laptop/gadget, dan semacamnya, punya paket data, lalu berselancar di dunia maya, ‘nyantri’ di google.

Tidak semua orang dapat dikatakan sebagai santri. Ada syarat yang mesti dipenuhi. Tidak cukup dengan hanya belajar agama saja. Tetapi ada adab yang harus dipraktikkan, adab murid kepada guru, adab santri kepada kyai. Inilah santri. Kalau mengikuti syarat yang dikemukakan para ulama, misalnya oleh KH Mustafa Bisri (Gus Mus), bahwa santri itu 1) adalah murid kiai yang dididik dengan kasih sayang untuk menjadi mukmin yang kuat (yang tidak goyah imannya oleh pergaulan, kepentingan, dan adanya perbedaan). 2) Yang mencintai tanah airnya (tempat dia dilahirkan, menghirup udaranya, dan bersujud di atasnya) dan menghargai tradisi-budaya-nya. Yang menghormati guru dan orang tua hingga tiada. 3) Yang menyayangi sesama hamba Allah; yang mencintai ilmu dan tidak pernah berhenti belajar (minal mahdi ilãl lahdi); Yang menganggap agama sebagai anugerah dan sebagai wasilah mendapat ridha tuhannya. Santri ialah hamba yang bersyukur. (www.nu.or.id Senin 22 Oktober 2018).

Santri adalah para siswa yang mendalami ilmu-ilmu agama di pesantren baik dia tinggal di pondok maupun pulang setelah selesai waktu belajar. Zamakhsyari Dhofir dalam Tradisi Pesntren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,  membagi menjadi dua kelompok sesuai dengan tradisi pesantren yang diamatinya, yaitu: a.Santri mukim, yakni para santri yang menetap di pondok, biasanya diberikan tanggung jawab mengurusi kepentingan pondok pesantren. Bertambah lama tinggal di Pondok, statusnya akan bertambah, yang biasanya diberi tugas oleh kyai untuk mengajarkan kitab-kitab dasar kepada santri-santri yang lebih junior. b. Santri kalong, yakni santri yang selalu pulang setelah selesai belajar atau kalau malam ia berada di pondok dan kalau siang pulang ke rumah (51-52).

Bahkan kyai Said Aqiel Siradj (Ketum PBNU) dalam suatu kesempatan mengemukakan, bahwa “Santri dalam pengertian (hari santri) ini adalah orang Islam yang beriman kepada Allah dan berakhlakul karimah. Itu sudah santri,” ujarnya dalam acara puncak Kirab Hari Santri di Tugu Proklamasi, Jakarta, Kamis (22/10/2015).

Santri menurut Nurcholis Madjid ada dua pengertian, pertama, berasal dari bahasa Sangsekerta yaitu “sastri” berarti orang yang melek huruf, dan kedua, berasal dari bahasa jawa “cantrik” seorang yang mengikuti kiai dimanapun untuk menguasai suatu keahlian sendiri. Berbeda dengan KH. Sahal Mahfudh, santri dimaknai sebagai bahasa Arab, dari kata santaro yang mempunyai jamak (plural) sanaatiir (beberapa santri). Dibalik kata santri tersebut mempunyai 4 huruf arab (sin, nun, ta’, ra’), oleh KH Abdullah Dimyathy dari Pandeglang, Banten mengimplementasikan kata santri dari 4 fungsi manusia. Adapun 4 huruf tersebut, yaitu; Pertama, “Sin” yang artinya “satrul al-aurah” (menutup aurat), Kedua, “Nun” yang berarti “na’ibul ulama” (wakil dari ulama), ketiga, “Ta” yang artinya “tarku al-Ma’shi” (meninggalkan kemaksiatan), dan keempat, “Ra” yang berarti “raisul ummah” (pemimpin umat). (Buku Kumpulan Tanya Jawab dan Diskusi Keagamaan: Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam, PISS-KTB, 2013. hlm. 1626-1628).

Begitu beratkah beban menjadi santri? Tentu tidak bagi yang telah merasakan hidup di pesantren selama beberapa tahun. Pasca meninggalkan pesantren setelah nyantri selema beberapa tahun, beban menjadi santri tidak dianggap sebagai sesuatu yang maha berat, tetapi lebih sebagai amanah; amanah Tuhan, Agama dan kyai/gurutta. Amanah itu tidak akan terlalu berat dipikul, selama berkah kyai/gurutta selalu mengiringi perjalanan hidup seorang santri.

Tipologi santri yang dikemukakan oleh Gus Mus, kyai Said, Cak Nur, Dhofier, dan Kyai Abdullah Dimyathy merupakan tipe santri ideal, baik santri di masa lalu hingga masa kini. Inilah santri orisinil, bukan santri KW. Di era millennial dan era post-truth ini, menjadi santri orisinil mendapat pelbagai tantangan, khususnya ketika berhadapan dengan santri KW, orang yang mengaku-ngaku santri, santri medsos, youtube, twitter, whatsapp, dan facebook. Karena itu, santri orisinil itu, tidak bisa tidak, sejatinya mengedepankan adab atau akhlakul karimah dan pada saat bersamaan mendapatkan ilmu agama dari seorang guru/kyai/gurutta yang memiliki sanad keilmuan yang jelas dan runtut.

Santri kekini-disinian

Gus Dur dalam tulisannya yang bertajuk Pesantren, Penddikan Elitis atau Populis?, menuliskan, “Pesantren dulu sebagai pembanding dari sekolah keraton yang hanya menampung golongan elitis saja, sekarang nampaknya pesantren telah berubah, ketika berbicara pesantren kesan yang muncul adalah sebagai lembaga keagamaan. Dulunya, pesantren menampung semua lapisan masyarakat (kemanunggalan dengan semua orang) yang tidak ditampung dalam lembaga pendidikan keraton. Karena itu dimasa awalnya pesantren sebagai lembaga pendidikan adalah sebuah lembaga pendidikan umum; di dalamnya tidak hanya diajarkan agama. Dalam perkembangannya, akhir-akhir ini tampak kecenderungan untuk menciptakan pesantren sebagai lembaga pencetakan para ulama.” (Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, 1999. Hlm. 111-116).

Masih menurut Gus Dur, “sudah hebat sekali dari total 10.000 santri jika lulusannya 50% ahli agama.” Dalam realitasnya itu susah dilakukan, kalau kita lihat lebih jauh lagi alumni pesantren, tidak sedikit mereka yang kebingungan setelah keluar dari pesantren, tidak sedikit yang berprofesi serabutan, tidak sedikit yang berprofesi sebagai tukang ojek, dan sejenisnya. Kalaupun di antara alumni pesantren tersebut ada yang sukses menjadi pengusaha, pejabat, atau pun pemikir, jumlahnya lebih sedikit dari yang biasa-biasa saja itu.

Pesantren, kyai/gurutta dan santri merupakan tiga hal pokok yang manunggal dalam tradisi pendidikan tradisional di masala lalu hingga kini. Lembaga pendidikan tradisional, dalam hal ini pesantren dengan kyai-nya atau gurutta-nya menyiapkan santri agar mampu terjun kembali ke dalam masyarakat luas dengan segala profesi, dan tentu saja mengamalkan segala ilmu dan pengalaman yang didapatkan selama nyantri. Para santri sejatinya tidak perlu gagap terhadap perkembangan zaman dan perubahan sosial yang terjadi secara meluas di masyarakat. Sebab, para santri telah memiliki kesiapan mental, fisik dan pikiran.

Santri kekini-disinian atau santri modern bukan semata dilihat dari tampilan fisik semata, tetapi di dalam dirinya terkandung adab, ilmu dan kesiapan menjalankan amanah kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Santri tidak lagi semata dipandang sebagai orang yang hanya bergelut dengan soal-soal keagamaan; baca doa, yasinan, tahlilan, imam masjid. Tetapi beberapa waktu terakhir santri telah membuktikan dirinya mampu mengemban amanah dalam semua sektor kehidupan. Seorang santri pernah menjadi presiden, dan bahkan kini menjadi wakil presiden. Ini artinya, santri tidak lagi dipandang sebelah mata akan peran-perannya dalam semua bidang kehidupan.

Di era milenial, santri diharapkan kemampuannya berkiprah di lapangan media social, semisal facebook, whatsapp, youtube, twitter dan sebagainya. Keterlibatan santri di media sosial sebenarnya memberi warna tersendiri di tengah maraknya pencarian ilmu (thalab al-‘ilm) yang serba instan di kalangan generasi muda, secara khusus. Di samping itu, nyatri virtual bisa menjadi alternative dari keengganan orang untuk masuk ke lembaga pesantren. Dengan catatan, bahwa adab seorang santri seyogyanya tetap dijaga. Dalam arti ini, para santri virtual tidak mengumbar berita bohong, bijak dalam bermedsos, menyaring sebelum sharing, mencegah ujaran kebencian yang dapat memantik konflik dan pertentangan di masyarakat. Lembaga pendidikan tradisional atau pesantren sejatinya merespon perkembangan dunia digital saat ini dengan menawarkan alternatif pendidikan agama yang tidak lagi harus mondok di pesantren, misalnya dengan pembelajaran daring. Istilah ‘santri kalong’ perlu direkonstruksi ulang dalam kondisi kekinian, sehingga semua orang bisa mengakses informasi agama dari sumber yang jelas dan akurat.

Santri kekinian, milenial atau apapun sebutannya, boleh-boleh saja digunakan dengan tidak mengabaikan konsep awal santri yang mengedepankan adab atau akhlakul karimah. Dengan kata lain, mengutip K.H. Said Aqiel Siradj, setiap orang bisa menjadi santri, selama ia “orang Islam yang beriman kepada Allah dan berakhlakul karimah”.

Di tengah suasana semarak hari santri yang diperingati setiap 22 Oktober, kita, yang merasa, sebagai santri patut bersyukur atas hadiah dari pemerintah melalui penetapan tanggal 22 oktober sebagai hari santri, di samping kesyukuran kita bahwa salah seorang santri utama diberi amanah mendampingi Ir. Joko Widodo, sebagai Wakil Presiden RI periode 2019-2024. Momentum hari santri sejatinya menjadi titik awal merefleksi diri kita, seberapa besar sumbangan kita, kaum santri, terhadap NKRI, seberapa besar kerja-kerja kita untuk kelangsungna pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, serta seberapa besar kemampuan kita untuk terus merawat ‘silaturrahmi’ di antara kita sebagai satu ‘keluarga’ yang bernama Indonesia. Selamat hari santri. Ayo nyantri, ayo mondok!

Penulis: Idaman, Sekretaris Lakpesdam NU Sultra

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

BERITA TERBARU