Pencegahan Berita Hoaks dan Ujaran Kebencian melalui Kontekstualisasi Filosofi Hidup Orang Tolaki
KENDARI, LENTERASULTRA.COM – Berita hoaks dan ujaran kebencian telah menjadi ‘polusi’ yang mengganggu ruang publik di negeri ini. Bahkan juga telah mengacaubalaukan hubungan silaturahmi antar sesama anak bangsa. Sejak beberapa waktu belakangan, berita hoaks dan ujaran kebencian ini sulit diredam, meskipun telah ada upaya untuk membawa pelaku ke ranah hukum.
Tampaknya, berita hoaks dan ujaran kebencian ini telah berurat akar yang cukup dalam di dalam peri kehidupan masyarakat di negeri ini. Meskipun demikian, kita tentu tidak putus asa dengan kondisi ini. Kontekstualisasi tradisi dan filsafat hidup masyarakat local di negeri ini diharapkan dapat mengatasi dan mencegah semakin meruyaknya hoaks dan ujaran kebencian di tengah-tengah masyarakat.
Hoaks dan ujaran kebencian merupakan konsekuensi dari penerimaan kita terhadap perkembangan media informasi, khususnya facebook, whatsapp, instagram, youtube, dan twitter. Dengan kata lain, ini semua merupakan akibat dari keinginan masyarakat kita untuk lebih dikatakan modern. Lebih jauh, ini semua merupakan imbas dari kebebasan yang diperjuangkan sejak 1998. Ini semua tentu ada harganya, meski sangat menyakitkan dan mengancam keutuhan ‘kekeluargaan’ kita sebagai bangsa.
Sejumlah survei dilakukan terhadap pengguna jejaring media social di negeri ini. Berdasarkan laporan survei APJII 2016, jumlah pengguna Internet di Indonesia telah mencapai 132.7 juta orang dari 256.2 juta orang populasi Indonesia. Ini berarti, pengguna Internet di Indonesia telah mencapai 51.8% dari jumlah penduduk Indonesia seluruhnya. Komposisinya bisa dikatakan berimbang di antara laki-laki (52.5%) dan perempuan (47.5%). Namun demikian, dari segi geografis, pengguna Internet terbesar berada di pulau Jawa sebanyak 65% (86.3 juta orang), sisanya tersebar di Sumatera (15.7%), Sulawesi (6.3%) dan Kalimantan (5.8%). Dua wilayah lainnya yaitu Bali dan Nusa Tenggara persentasenya di bawah 5%.
Dari segi profesi, pengguna Internet didominasi oleh kelompok pekerja/wiraswasta sebanyak 62% atau 82.2 juta orang. Pada peringkat kedua, ibu rumah tangga menjadi pengguna internet terbanyak dengan jumlah 22 juta orang atau 16.6%. Pada peringkat ketiga, terdapat kelompok mahasiswa dengan jumlah 10.3 juta (7.8%). Kelompok pelajar berjumlah 8.3 juta orang (6.3%). Data ini menunjukkan bahwa sebanyak 6,3% pelajar menggunakan internet. Jumlah ini bukanlah jumlah yang kecil mengingat belum semua pelajar memiliki kemampuan yang cukup dalam menggunakan media digital. Beberapa kasus yang terjadi di masyarakat, permasalahan-permasalahan yang muncul sebagai dampak dari penggunaan media digital terjadi di lingkungan pelajar. Disatu sisi, jumlah pelajar yang menggunakan internet sangat tinggi, tapi disisi yang lain, masih banyak dari masyarakat kita yang belum memiliki pengetahuan yang cukup untuk menggunakan media, khususnya media digital.
CNN Indonesia menyebutkan, bahwa dalam data yang dipaparkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan ada sebanyak 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar berita palsu dan ujaran kebencian (hate speech) (Pratama, 2016). Kemkominfo juga selama tahun 2016 sudah memblokir 773 ribu situs berdasar pada 10 kelompok. Kesepuluh kelompok tersebut di antaranya mengandung unsur pornografi, SARA, penipuan/dagang ilegal, narkoba, perjudian, radikalisme, kekerasan, anak, keamanan internet, dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Dari jumlah itu, paling banyak yaitu unsur pornografi (Jamaludin, 2016).
Kenyataan ini sungguh mencengangkan. Kita sedang digempur dari berbagai lini kehidupan dengan jejaring media social, khususnya yang memiliki konten berita palsu dan ujaran kebencian (hate speech). Kita sedang digiring ke arah masyarakat tanpa moral. Dahulu, negeri ini dikenal sebagai negeri yang ‘ramah’. Sadar atau tidak sadar, kini kita sedang diarahkan untuk menjadi ‘pemarah’ dan ‘pembenci’. Fondasi moral (agama) dan budaya perlahan mulai tergerus di pinggiran.
Perang melawan Hoaks dan ujaran kebencian
Beberapa waktu, Presiden RI, Joko Widodo telah menabuh genderang perang melawan hoaks dan ujaran kebencian, khususnya setelah kemunculan sekolmpok penyebar hoaks dan ujaran kebencian, saracen. Genderang perang sudah ditabuh oleh Jokowi untuk memerangi ujaran kebencian yang disebarkan oleh kelompok Saracen. Presiden Jokowi menilai, kelompok Saracen yang menyebarkan hoaks di dunia maya sangat mengerikan dan harus segera diungkap sampai ke akar-akarnya oleh pihak kepolisian. Menurut Jokowi, “Individu saja sangat merusak kalau informasinya tidak benar, bohong apalagi fitnah. Apalagi yang terorganisasi ini mengerikan sekali. Kalau dibiarkan mengerikan.” (Kompas.com, 27 Agustus 2017).
Genderang perang ini sejatinya menjadi titik poin awal kita melakukan perang total terhadap berita hoaks dan ujaran kebencian, dengan segala cara, dengan perangkat-perangkat hukum yang ada. Semestinya ini menjadi kesadaran semua pihak, bukan saja pemerintah, dan semua lini kehidupan dan lembaga, khususnya mulai dari lembaga pendidikan baik pada level rendah hingga perguruan tinggi, lembaga-lembaga kemasyarakat hingga pada level lembaga adat. Perang total ini, selain melibatkan semua elemen masyarakat, juga membutuhkan energi yang cukup besar.
Upaya pemerintah dalam perang melawan hoaks dan ujaran kebencian harus didukung oleh semua pihak. Jangan biarkan pemerintahan Jokowi berjalan sendiri dalam perang suci ini. Fatwa ulama sangat dibutuhkan saat ini, untuk menjadikan perang melawan hoaks dan ujaran kebencian sebagai jihad suci. NKRI harga mati itu bukan saja sekadar menjaga keutuhna wilayah NKRI, tapi paling penting, menjaga moralitas dan ‘keramahan’ bangsa ini. Fatwa dibutuhkan untuk meminimalisir dan mengkanalisasi keterpaparan hoaks dan ujaran kebencian agar tidak meluber terlalu jauh.
Filosofi hidup orang Tolaki
Suku (Orang) Tolaki merupakan salah satu etnis terbesar yang mendiami sebagian besar daratan Sulwesi Tenggara. Sama halnya dengan sejumlah etnis di negeri ini, orang Tolaki memiliki kebudayaan adiluhung yang masih dipraktikkan hingga saat ini. orang Tolaki memiliki filosofi hidup yang dikenal dengan istilah ‘inae Konasara ie pinesara, inae lia sara ie pinekasara’. Istilah ini berarti ‘barang siapa yang menghargai tradisi ia akan dihormati, barangsiapa yang melanggar tradisi akan diberi sanksi’.
Filosofi hidup (philosophy of life) ini masih diperpegangi dan dihormati oleh orang Tolaki hingga saat ini. orang Tolaki memandang, bahwa adat istiadat menjadi sangat penting dalam menata kehidupan ini. dalam menjalin hubungan-hubungan sosial, antara satu dengan yang lain, setiap orang sejatinya saling menghargai (mombeka pona pona’ako), menjaga lisan (dumagai’I tulura), menghargai tradisi (kosara), dan saling kasih mengasihi (mombeka mei-meiri’ako), hidup rukun dan guyub (medulu mepoko’aso). Retaknya hubungan-hubungan sosial dan kekacauan di dalam masyarakat, biasanya disebabkan oleh pengabaian terhadap tradisi tersebut. Karena itu, jika hubungan-hubungan social dan kekacauan telah timbul di dalam masyarakat, maka orang Tolaki perlu melakukan ritual penyucian (mosehe), dalam rangka mengembalikan keadaan harmoni dan keseimbangan. Ritual tersebut juga dilakukan dalam rangka mengembalikan kesejatian manusia, yakni memiliki jiwa, hati dan pikiran yang suci atau biasa disebut dengan ate pute penao moroha.
Inae konasara ie pinesara mengandung makna bahwa siapa pun yang menghargai dan menjunjung tradisi, termasuk dalam hal ini merekatkan hubungan silaturrahmi, patuh kepada peraturan dan hukum, serta memiliki sikap sopan santun (merou), maka ia wajib dihargai, dijujung tinggi, dan diberi kedudukan istimewa dalam jiwa masyarakat Tolaki. Sementara istilah inae lia sara ie pinekasara mengandung makna sebaliknya. Seseorang tidak layak diberikan penghargaan dan penghormatan jika melanggar dan tidak menghargai tradisi, berkata-kata kasar (tulura kasara), serta memutus hubungan silaturrahmi (kekeluargaan).
Filosofi hidup orang Tolaki tersebut juga mengandung makna , bahwa setiap orang yang melakukan fitnah (mondutulu), berkata kasar dan vulgar (mombeka’uari), dan gibah (mososangge) akan dikenakan denda/sanksi adat yang biasa disebut dengan peohala. Sanksi adat ini biasa dalam bentuk barang, seperti satu pis kain kaci/kafan, kerbau, dan sebagainya.
Filosofi hidup yang kemudian diejawantahkan dalam sikap dan tata cara hidup (way of life) ini merupakan pengetahuan lokal orang Tolaki yang telah diwariskan dan ditransformasikan dari generasi ke generasi. Sumber pengetahuan lokal ini disombolkan dalam bentuk kalosara, sebuah pilinan rotan yang berbentuk bundar yang mengambarkan simbolisasi kesatuan agama, tradisi dan pemerintah dalam peri kehidupan orang Tolaki. Kalosara ini, bagi orang Tolaki, merupakan puncak kehidupan dan kosmologi orang Tolaki. Karena itu, ia dijunjung tinggi, dihormati dan dianggap sakral hingga saat ini.
Orang Tolaki, Anti-hoaks dan ujaran kebencian
Melalui filosofi dan tata cara hidup orang Tolaki yang kemudian memuncak kepada simbol kalosara, sejatinya hoaks dan ujaran kebencian merupakan sesuatu yang harus ditolaki dan diperangi. Hoaks dan ujaran kebencian, melalui cara pandang orang Tolaki, merupakan dua hal yang membuat kekacauan dalam masyarakat dan merenggangkan hubungan kekeluargaan. Setiap orang yang menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian, harus diberi sanksi adat dan disucikan melalui mekanisme ritual mosehe. Pada gilirannya, orang yang menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian, kemudian diberi sanksi, sejatinya memiliki rasa malu (kohanu) untuk mengulangi tindakannya. Dosa sosial tampaknya lebih berat ditanggung oleh orang Tolaki yang mengabaikan dan melanggar tradisi dan kebiasaan dalam masyarakat Tolaki.
Orang yang menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian perlu direhabilitasi mental dan pikirannya agar kembali menjadi manusia yang suci. Ritual mosehe merupakan metode efektif merehabilitasi mentalitas dan pikiran jahat orang yang menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian. Jika tidak dilakukan ritual mosehe, dikhawatirkan bencana (abalaa) akan menyasar orang-orang yang tidak berdosa.
Perang melawan hoaks dan ujaran kebencian ini tampaknya menemukan titik terangnya melalui rekontekstualisasi tradisi dalam setiap etnis di negeri ini. kita tentu berharap, selagi masyarakat kita masih memegang teguh tradisi yang baik, maka hoaks, ujaran kebencian, dan sebagainya akan dapat dihindari. Karena itu, bijaklah dalam bermedia sosial, bijak dalam kata-kata dan tindakan. Jika dahulu ada pepatah “mulutmu harimaumu”, maka saat ini bisa jadi bertambah menjadi, “jemarimu pisau belatimu”. Di era post-truth ini, dua alat indera manusia yang dapat menghindarkan petaka, yakni jemari dan lidah, dan tentu juga, meminjam istilah Aa Gym (Abdullah Gymnastiar), “jagalah hati, jangan kau nodai”. Semoga