Pemilu dan Kegagalan Caleg
KENDARI, LENTERASULTRA.COM – Tanggal 17 April 2019 adalah hari yang menegangkan bagi para Calon Anggota Legislatif (Caleg). Berbagai upaya dan cara dilakukan oleh politisi “menjual” diri agar mendapat simpati dan dukungan dari pemilih agar menjadi “jawara” politisi.
Pemilihan telah usai berbagai cerita “antagonis” politik muncul di permukaan. Suka dan duka dalam berjuang menjadi humor politik perbincangan di warung kopi.
Bagi caleg yang terpilih momentum 17 April merupakan momentum yang tidak bisa terlupakan dalam catatan hidup mereka, begitu pula bagi caleg sebaliknya.
Politisi yang terpilih akan menceritakan kiat-kiat kesuksesannya sehingga mendapat dukungan masyarakat. Sementara caleg yang gagal akan mengumbar berbagai cerita “pengkhianatan” tim sukses dan warga pendukungnya.
Inilah dunia politik, jika sukses maka yang akan terlontar romantisme perjuangan. Tapi bagi yang kalah akan melontarkan berbagai “cacian” dan kedengkian.
Banyak caleg gagal yang menyalahkan pihak lain faktor kegagalannya. parahnya lagi, berbagai upeti yang sudah diberikan ditarik kembali jika caleg tersebut tidak siap kalah cuma siap menang.
Di berbagai media massa sebagian caleg gagal mulai mengalami “gangguan” jiwa yang menjurus pada kegilaan “permanen”. Nampaknya mereka tidak siap menerima kenyataan dan dicap sebagai “mantan” caleg.
Diakui atau tidak ada beberapa penyebab mengapa para caleg gagal menjadi pemenang di dapil masing-masing.
Adapun pemicu kegagalan caleg penulis akan uraikan sebagai berikut:
Logistik menjadi urat nadi dalam “peperangan” politik, tanpa logistik yang memadai sulit akan memenangkan pertarungan.
Bila anda mendengar cerita caleg yang terpilih maka yang akan diumbar yaitu dana operasional yang mereka keluarkan. Parahnya lagi uang tersebut didominasi untuk “membeli’ suara bukan untuk mengenalkan visi dan misi ke publik.
Money politik dalam pertarungan tersebut menjadi senjata pamungkas untuk keluar sebagai pemenang tanpa uamg jangan harap anda akan dicoblos di TPS. Apalagi warga menganggap money politik sebagai rezeki 5 tahunan dari caleg. Sangat miris!.
Fakta dari uang, sangat menentukan untuk menjadi jawara politik yakni banyak caleg terpilih yang tidak dikenal oleh publik bahkan tidak pernah melakukan sosialisasi, namun suara di TPS membludak.
Selain faktor logisitik, kesolidan tim juga menjadi penentu caleg “terjual”. Kerja-kerja tim yang taktis dan militan untuk “menjual” anda ke konstituen begitu penting karena jejaring politik yang solid juga menandakan pertahanan politik caleg yang sangat mumpuni.
Namun faktanya sebagian caleg tidak “merawat” jejaring politik yang dimiliki bahkan cenderung mengabaikan.
Selain itu, proses perekrutan tim sukses caleg tidak selektif. Sehingga tanpa sadar banyak tim justru menjadi “musuh” dalam selimut dan atau menjadi intel “melayu,” pihak lain. Akibatnya “racikan” politik banyak yang diketahui musuh serta terjadi pengkhianatan oleh tim sukses.
Selain dua hal di atas, yang juga tidak bisa dipungkiri adalah perihal banyaknya parpol yang merekrut caleg tanpa melakukan verifikasi dan atau tidak selektif.
Fenomena ini sulit dihindari apalagi partai yang kekurangan kader. Partai politik yang minim stok politisinya akan menawarkan berbagai kemudahan serta iming-iming “manis” kepada politisi dadakan untuk menjadi caleg.
Dampak buruk dari pola perekrutan seperti ini yakni mesin politik partai politik tidak akan berjalan maksimal, karena caleg dadakan cenderung apatis bahkan lebih banyak mengeluarkan keluhan ke parpol induknya ketimbang bekerja untuk kemenangan.
Caleg dadakan selain tidak bekerja maksimal justru akan menjadi beban dan atau “benalu” parpol dan jangan harap caleg model seperti itu akan mendapat suara di TPS.
Pemilu telah usai dan secara defacto publik sudah mengetahui caleg-caleg yang sukses untuk menjadi wakil rakyat. Sekarang kita tinggal menunggu KPU menetapkan secara yuridis para pemenang. Sedangkan bagi caleg caleg yang gagal agar legowo menerima kekalahah serta ikhlas dan segera move on.