Mencari Oposisi Solutif

481
La Ode Rahmat Apiti

KENDARI, LENTERASULTRA.COM – Pemerintahan yang demokratis mensyaratkan terjadinya mekanisme chek and balances. Ruang partisipasi publik harus dibuka seluas-luasnya berbagai gagasan dan aspirasi masyarakat harus menjadi “amunisi” untuk memperbaiki kondisi yang belum sempurna.

Oposisi dalam pemerintahan menjadi prasyarat mutlak untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Oposisi baik di parlemen maupun di luar parlemen diharapkan bisa memberi kontrol bagi jalannya pemerintahan. Sehingga berbagai kebijakan publik tidak menimbulkan “kepanikan” di tengah masyarakat.

Oposisi yang cerdas yakni oposisi yang bisa diajak berdialog atau berdialektika dengan berbagai pihak bukan oposisi yang mengedepankan bahasa propaganda yang bila ditelaah lebih jauh. Bahasa-bahasa yang dilontarkan hanya pepesan kosong dan lebih fatalnya  mencopy paste gagasan pihak lain. Sehingga oposisi seperti ini hanya mencari sensasi serta bergaining dan atau oposisi cari posisi karena mengalam sindrom of power.

Semenjak reformasi, munculnya oposisi tidak bisa dibendung baik oposisi tematik dan atau paradigmatik maupun oposisi kaleng-kaleng bahkan di sulawesi tenggarapun kelahiran oposisi bagaikan cendawan dimusim hujan yang biasanya kelahiran organ organ oposisi dimotori oleh aktifis-aktifis “veteran” yang kalah bertarung di berbagai ruang politik.

Menurut hemat penulis fenomena oposisi di Sulawesi Tenggara (Sultra) ada beberapa kategori. Pertama, oposisi cari posisi, oposisi jenis ini biasanya dimotori oleh aktifis yang pernah merasakan kursi kekuasan. Namun karena putaran waktu terdegradasi oleh kekuasaan sehingga pensiun dini dari lingkaran kekuasaan.

Ciri khas dari oposisi seperti ini,getol melakukan agitasi bila targetnya belum tercapai bahkan sok cerdas serta sok suci bagaikan “ahli” surga, namun bila target sudah terwujud  suda mendapatkan posisi “basa” akan menjadi anak manis di hadapan penguasa.

“Fenomena yang sangat menjijikan,” cetusnya.

Kedua, oposisi oplosan. Ciri khas dari oposisi seperti ini bagaikan penjual obat di kaki lima. Melakukan kritik tanpa disertai dengan gagasan yang paradigmatik dan apapun yang dilakukan pemerintah dianggap salah. Bahkan kelompok mereka yang dianggap benar lebih parahnya kelompok seperti ini anti kritik bahkan lebih feodal dari firaun.

“Oposisi” seperti ini biasanya dimotori oleh beberapa kelompok misalnya pengusaha dan atau kontraktor tidak pernah mendapatkan “jatah” proyek. Pejabat yang non job, aktivis yang sindrom kekuasaan.

Ketiga, oposisi kaleng-kaleng. Oposisi seperti ini kerjanya meneriakan kegagalan pemerintahan, namun tanpa ide dan konsep jangka panjang. Teriakan dan gerakan sporadis menjadi ciri khas dengan berbekal spanduk, megaphone, dan pers reles melakukan advokasi namun ketika dimintai solusi akan mengalami kegagapan bahnkan parahnya lagi, apa yang disampaikan merupakan “orderan” pihak tertentu.

Tiga fenomena diatas merupakan hasil pemetaan penulis dalam mengamati “oposisi” di Sultra. Oposisi yang diharapkan menjadi pengontrol kekuasaan tidak bisa diharapkan lagi. Karena oposisi yang lahir di jaman “milenial” justru menjadi “polusi” demokrasi dan atau sampah politik karena saat ini oposisi lahir untuk mencari keuntungan politik, dan ekonomi.

Kedepan kita berharap ada oposisi yang lahir dari kekuatan masyarakat, oposisi yang cerdas, memiliki agenda-agenda terstruktur dan transformatif serta tidak tergoda degan aroma kekuasaan.

Oposisi solutif menjadi harapan masyarakat yang melakukan kritik berangkat dari berbagai kajian akademik serta visioner. Melacurkan diri menjadi oposisi setelah berada diluar kekuasaan, sangat naif karena suara suara “kritis” yang dilahirkan akan menjadi bahan cibirian karena menjadi “pelacur” politik sama dengan “yahudi” jaman milenial.

Penulis: Direktur AMAN Center, La Ode Rahmat Apiti

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

BERITA TERBARU