Dituntut 8 Tahun Penjara, Asrun Sebut Jaksa KPK Kehilangan Independensi Akal Sehat
JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Jaksa Komisi Pemberantasan Koupsi (KPK) disebut kehilangan independensi akal sehat. Hal itu dikemukakan oleh mantan Wali Kota Kendari, Asrun saat membacakan nota pembelaan alias pledoi atas surat tuntutan Jaksa KPK di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat pada Rabu, (17/10/2018).
Saat membacakan pledoi, Asrun mengatakan tuntutan Jaksa KPK kepadanya tidak berdasarkan fakta-fakta yang muncul di persidangan. Seperti kesaksian Direktur Utama PT Sarana Bangun Nusantara (SBN), Hasmun Hamzah yang menyebut ada penyerahan fee sebanyak 7% untuk setiap pengerjaan proyek di lingkungan Pemkot Kendari.
“Pernyataan itu adalah pernyataan sepihak. Bahkan Fatmawati saat bersaksi di bawah sumpah mengatakan dia tidak pernah menerima dan meminta fee,” kata Asrun. Fakta lainnya yang diduga dipelinter adalah soal dirinya yang disebut bersama-sama dengan anaknya Adriatma Dwi Putra dan Fatmawati Faqih menerima suap sebanyak Rp 2,8 Miliar dari Hasmun. Yang mana uang tersebut nantinya akan digunakan untuk kampanye sebagai Calon Gubernur Sulawesi Tenggara (Cagub Sultra) pada Pilkada 2018 kemarin.
Padahal faktanya, klaim Asrun, uang tersebut adalah uang pinjaman. Uang itu rencananya akan digunakan oleh ADP untuk membangun rumah. Hal itu menurutnya terbukti dari masih utuhnya uang yang dijadikan barang bukti OTT itu.
“Jadi tidak ada perbuatan pidana yang saya lakukan seperti didakwaan ke satu. Bahkan dari fakta-fakta itu terungkap bahwa saya tidak turut serta, tidak menyuruhkan, tidak menggunakannya dan tidak turut serta menggunakan seperti dakwaan ke satu,” tegas Asrun.
Dalam kesempatan tersebut, Asrun juga meminta agar Majelis Hakim mempertimbangkan sejumlah prestasi yang pernah ditorehkannya saat menjabat sebagai Walikota Kendari selama 2 periode. Salah satunya adalah soal mendapatkan WTP dari BPK selama 9 tahun berturut-turut. “Sebelumnya 2006, 2007 Kota Kendari selalu mendapatkan disclaimer,” ucap Asrun.
Atas dasar itu, Asrun meminta agar Majelis Hakim membebaskannya dari segala tuntutan pidana. Namun, jika Majelis Hakim berpendapat lain, ia meminta supaya Majelis Hakim menjatuhkan hukuman yang seadil-adilnya. Mengingat ia masih memiliki tanggungan keluarga.
Sementara itu, Jaksa KPK, Roy Riadhy membantah telah kehilangan independensi akal sehat saat menyusun surat tuntutan untuk terdakwa Asrun. Menurutnya apa yang tertuang dalam surat tuntutan sudah sesuai dengan fakta-fakta yang muncul di persidangan.
“Seperti kesaksian Hasmun yang diminta oleh terdakwa untuk dikesampingkan. Keterangan Hasmun ini tidak berdiri sendiri, ini berkesesuaian dengan kesaksian Istrinya Yoselin bahwa tidak ada yang gratis untuk mendapatkan proyek di Kendari. Keterangan ini sama juga seperti keterangan saksi Afdal,” jawab Roy.
Hal itu kemudian dibantah oleh Kuasa Hukum Asrun, Safarullah. Menurut Safarullah, saat bersaksi Yoselin menerangkan bahwa ia pernah mendengarkan ada tuntutan fee untuk setiap proyek. Namun tidak disebutkan secara gamblang di proyek yang mana.
“Malah suaminya Yoselin (Hasmun Hamzah) mengerjakan proyek bukan hanya di Kendari tapi di Pemprov Sultra dan Konawe Selatan. Nah tidak tahu fee itu yang dimananya,” kata Safarullah.
Majelis Hakim pun kemudian menengahi argumentasi yang disampaikan oleh masing-masing pihak dan memutuskan untuk menutup sidang hari ini dan melanjutkannya pada Rabu, (31/10/2018) dengan agenda pembacaan vonis.
Untuk diketahui, Jaksa KPK menuntut agar Majelis Hakim Tipikor menjatuhkan hukuman penjara 8 tahun dengan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan kepada Asrun. Tidak hanya itu, Jaksa juga meminta supaya Majelis Hakim menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik selama 3 tahun ke depan kepada Asrun pasca menjalani masa hukuman.(Rere)