Mencari Imam Terbaik Sultra
Ramadan 1436 Hijriah
30 Juni 2015 tepatnya. Dua perusahaan berbeda menggelar buka puasa di sebuah hotel di Kota Kendari. Mereka mengambil ruang berbeda di hotel itu. Setelah azan magrib, mencicipi beberapa kudapan untuk sekadar membatalkan saum hari itu, semuanya mengerumuni beberapa keran air yang disiapkan hotel. Wudhu, mengejar waktu salat magrib yang memang cepat berlalu.
Salat dimulai. Imamnya seorang yang memang sengaja diundang salah satu perusahaan. Makmumnya lumayan banyak, meski banyak yang tertinggal dan harus masbuk. Sampai rakaat ketiga tuntas, antrian berwudhu di keran belum kelar. Ada sekira belasan orang yang meski memulai salat dari awal karena tak ikut berjamaah di kesempatan pertama.
Kerumitan kemudian terjadi. Lima orang pria yang pertama membentuk saf baru, tak ada yang maju menjadi imam. Mereka bergantian saling menyilahkan. Tak ada yang berlomba untuk menjadi imam. Bisa jadi semuanya tahu diri bahwa urusan ini perkara besar karena tanggungjawabnya juga berat.
Hingga akhirnya seorang pria yang usianya di kisaran 30 tahunan ikut berdiri di barisan itu, didaulat jadi imam. Bergamis, menggunakan kopiah plus janggut yang tak cukup lebat jadi rujukan bila lelaki itu memiliki kompetensi yang layak untuk jadi imam. Sempat menolak, ia sulit membantah karena semua mata memintanya, sembari membandingkan pakaian mereka yang hanya beroblong tanpa kopiah. Ayat-ayat pendeknya lumayan fasih.
Mereka memilih imam tanpa berisik. Yang ditunjuk tak menawarkan diri tapi akhirnya sanggup memanggul amanah tiga rakaat. Makmumnya khusyu dan sangat to’maninah. Usai salat, tangan sang imam yang lebih awal menjulur, bersalaman. Sebagai penghormatan kepada yang usianya lebih tua, dan pertanda ia dapat amanah saat dipercaya
Tiga Calon Imam
Tentu tak sepadan membandingkan proses mencari imam salat dengan mencari “imam” sebuah daerah. Kompleksitas persoalan dan urusannya berbeda. Tapi yang mestinya sama adalah carilah imam yang tak pernah pongah menggembar gemborkan kemampuannya, yang memang lahir dari proses demokrasi yang baik.
Sultra, tak sampai lima bulan lagi bakal menggelar proses pencarian imam untuk daerah ini. Ada tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang disodorkan oleh sistem. Mereka adalah Asrun-Hugua, Ali Mazi-Lukman Abunawas, dan Rusda Mahmud-Sjafei Kahar. 1,7 juta warga Sultra yang sudah punya hak pilih, siapa yang pantas jadi imam mereka.
Masa kampanye yang kini sedang berjalan adalah media bagi rakyat untuk mengenali dan memilah, siapa yang sejatinya layak jadi pemimpin mereka. Kini, saatnya rakyat menimbang-nimbang mana diantara kandidat-kandidat itu yang terbaik. Bila sudah ada yang menentukan pilihan, urusan berikutnya pastikan bahwa anda benar-benar terdaftar sebagai pemilih.
Dalam sebuah demokrasi, Pilkada adalah kesempatan besar yang hanya datang lima tahun sekali bagi rakyat untuk menentukan pemimpinnya. Salah memilih, tak ada kesempatan kedua untuk menyesal apalagi mengganti pemimpin sebelum lima tahun berlalu. Silahkan memilih tiga pasangan yang ada.
Seandainya proses melahirkan pimpinan daerah itu bisa sesederhana mencari imam salat, para penegak hukum pasti kekurangan pekerjaan. Daerah dikelola dengan baik, karena pemimpinnya lahir dari kepercayaan tinggi dari makmum (baca rakyat).
Bahwa semua orang memang pantas jadi pemimpin, apalagi jika memanuhi syarat seperti yang ada dalam UU Nomor 10 2016. Tapi akan sangat indah, jika ia lahir karena dorongan orang-orang yang percaya pada kemampuannya, bukan karena sang calon imam yang mamantas-mantaskan diri.
Suka tidak suka, pemimpin di negeri ini lahir dari proses yang kadang tak bermoral. Pendukung fanatik yang terikat oleh iming-iming. Jangan pernah menyesal kalau kemudian lahir para pemimpin karbitan, yang meski kematangannya belum ambang, tapi dipaksakan. Emosional, petantang-petenteng dan enggan mendengar saran. Seleksi pemimpin lebih sering karena modal, bukan karena kualitasnya.
Kini, sebelum semua terlambat, rakyat Sultra harus benar-benar selektif. Di tangan rakyat, masa depan daerah ditentukan. Pemilih bisa memastikan nilai pajak bumi dan bangunan (PBB) yang akan kita bayar lewat Pilkada. Berapa kilometer jalan akan diaspal, berapa rumah sakit dan Puskesmas serta apa saja fasilitasnya, berapa sekolah yang akan diperbaiki, termasuk jumlah pengangguran bisa ditentukan oleh Pilkada. Pemimpin yang tepat, pasti membuat daerah itu lebih baik.
Apapun profesi anda saat ini, jangan pernah apriori. Stiga yang apatis “siapapun pemimpinya saya tetap begini” sebaiknya tidak dilatenkan. Karena itu sejatinya keliru. Apapun profesi anda, mungkin akan bernilai lebih dan bahkan jauh lebih sukses bila anda tepat memilih pemimpin daerah.
Partisipasi warga sangat diperlukan. Seluruh warga berkewajiban menyukseskannya. Kesuksesan bukan hanya diukur dari kelancaran penyelenggaraan. Tapi partisipasi masyarakat menggunakan hak pilihnya juga bagian indikator keberhasilan Pilkada. KPU hanya menyiapkan fasilitas bagi pemilih dan pasangan calon, sisanya terserah pemilih.
Semua anda yang tentukan. Satu hal lagi, jangan pernah kotori Pilkada ini dengan kecurangan hanya karena ingin pemimpin yang kita dukung terpilih. Cukuplah jari kita yang kotor saat dicelupkan ke tinta usai mencoblos. Pilkada bersih akan meningkatkan kualkitas demokrasi dan itu adalah indikator bahwa pemimpin terpilih itu benar-benar pilihan rakyat.
Panjangnya waktu sosialisasi pasangan calon diharapkan meningkatkan partisipasi warga memilih calon pemimpinnya. Semoga dengan berdialog, pasangang calon bisa menyakinkan warga untuk memilih. Menyadarkan kita semua, bahwa memilih adalah hak. Mari sama-sama menggunakan hak itu.
Kita mendambakan seorang pemimpin yang sifat-sifatnya dalam ranah ideal. Ia harusnya sidiq, amanah, tabligh, fatonnah. Yang bisa jadi teladan bagi rakyatnya, memberi semangat dan mendorong kemajuan dan partisipasi semua pihak. Kalaupun sosok itu sulit, carilah yang sedekat-dekatnya kategori itu. Siapa dia? Anda penentunya.(***)
*Abdi Mahatma R/Jurnalis lenterasultra.com