Hikayat Bukit Lakokuli di Muna; Jejak Syekh Aceh Hingga Cerita Harimau Kontu
Legenda tentang tanah Muna yang lahir dari gugusan bebatuan berbunga, bukan sekadar mitos. Bumi Sowite punya banyak bukit batu, dengan aneka kisah kehidupan di masa silam. Mai Te Wuna, hanya itu cara untuk membuktikan pernah ada peradaban agung di tanah tempat terdamparnya Kapal Sawerigading dari Luwu.
Mualim Mbar
Puluhan anak-anak muda dari Kelurahan Watuputih, Raha berkumpul sejak pagi di sebuah puncak bukit batu di belakang kampung itu. Hari itu, Senin (29/1), mereka yang tergabung dalam kelompok bernama Seroja Merah, hendak menggelar pentas seni tradisional dan diskusi publik soal pariwisata Muna.
Puncak bukit itu memang terlihat indah, dan wajar jika digadang bakal jadi salah satu icon wisata. Anak-anak muda daerah itu menyebutnya sebagai puncak Baladewa. Ini adalah akronim dari barisan bukit Lakokuli, Wakofointo dan Wasirikamba, gugusan bukit batu yang lumayan elok untuk menikmati indahnya ciptaan Tuhan.
Sekilas, Baladewa itu memang menghadirkan sensansi keindahan dari ketinggian. Daerah yang jaraknya hanya sekira 5 kilometer dari Kota Raha ini, memang eksotis. Memandang ke arah barat, jelas terlihat gunung-gunung di Pulau Kabaena.
Tak hanya soal sensansi keindahan dari ketinggian, salah satu bukit di gugusan perbukitan Baladewa itu yakni Lakukuli ternyata menyimpan banyak hikayat. Nama ini ternyata diadopsi dari nama pemilik sebuah makam yang saat ini masih terlihat terawat. Lakukuli namanya. Ia kemudian digelar Kambera Kakuni atau Syech Kambera Kakuni.
Syahdan, Syekh Kambera Kakuni atau dalam bahasa lokal diartikan sebagai kupu-kupu kuning itu dianggap sebagai pembawa ajaran Islam, dari tarekat Naqsyabandiah. Ia diyakini bukan penduduk asli Muna, tetapi pendatang dari Aceh yang hidup di akhir abad ke-17.
Di awal ke-18, La Kukuli datang di Muna dan bermukim di Watuputih. Ia menyiarkan Islam di Siua Liwuno mulai dari kampung Watuputih, Bungi, hingga Mabhodo, Kontunaga, Lambiku, Duruka, Masalili, Mantobua, Lohia dan Mabolu.
Syech Kambera Kakuni bukan saja membawa ajaran Islam di Muna, tapi diyakini sebagai pembawa ajaran Martabat Tujuh di Muna dan di Buton. Ajaran tersebut diadopsi dan diadaptasi serta dijadikan sebagai undang-undang negeri.
“Ajaran martabat tujuh sebelumnya berkembang pesat di Aceh dengan tokohnya seperti Syech Abdul Rauf bergelar Syech Teungku Syiah Kuala dan muridnya Syech Kambera Kakuni,” kata Dr. Ader Laepe, S. S, M. Hum, salah satu penulis sejarah Muna, yang hari itu didaulat sebagai pembicara.
Keunikan Bukit Lakokuli kian sempurna dengan adanya sebuah batu yang berdiri kokoh di atas bebukitan. Batu itu tepat berada sekitar 30 meter dari makam Syekh Kambara. “Warga lokal menyebutnya ini sebagai Batu Harimau atau dalam bahasa lokal, Harimau Kontu,” tambah Dr. Aderlaepe.
Batu itu dianggap mempunyai kekuatan jahat dan arahnya bisa berubah-ubah. Bila wajahnya menghadap barat, maka kampung di wilayah barat itu dilanda kelaparan dan wabah penyakit. Begitupun saat menghadap ke arah lain.
Ketua komunitas Seroja Merah, Aswat Hanafi bercerita di akhir abad ke-20, ada seorang pemuda dari Watuputih bernama Made Sanda memotong lidah harimau Kontu dengan mengunakan parang. Terpotongnya lidah Harimau Kontu itu, membuat “kesaktiannya” soal bencana, ikut hilang.
“Tapi Made Sanda juga meninggal sebelum tiba di rumahnya,” kata Aswat. Ia menyebut, orang bernama Made Sanda itu masih memiliki keturunan dari generasi keempatnya, di Muna.(***)