Konflik Tambang di Wawonii Melebar Sampai ke Acara Melayat
JAKARTA, LENTERASULTRA.COM-Masuknya investasi pertambangan di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara kian mengkhawatirkan. Konflik sosial antar warga makin terbuka. Saking mirisnya, saat ada yang meninggal dunia, warga sudah tak saling melayat antara pihak yang pro dan kontra tambang.
Hal itu dituturkan Prof Dr Ir Rilus A Kinseng MA, Guru Besar Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor (IPB) saat sidang perkara nomor 35/PUU-XXI/2023 di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materiil Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 juncto UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K).
Pengaju judicial review UU PWP3K adalah perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara (Sultra), yakni PT Gema Kreasi Perdana (GKP). Uji materi yang diajukan perusahaan menyoal pasal 35 huruf k dan Pasal 23 ayat (2) mengatur larangan kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil.
Agenda pada Sidang MK kali ini mendengar Keterangan DPR dan ahli dari pihak terkait yakni Idris, dkk (28 orang dari masyarakat Wawonii) yang diwakili oleh INTEGRITY Law Firm. Hadir pula pihak terkait lainnya, yakni KIARA dan WALHI yang merupakan anggota KORAL, JATAM dan masyarakat. Sidang MK tersebut juga dihadiri oleh pemohon yakni PT GKP; perwakilan pemerintah, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kemenkumham.
Prof Rilus mengatakan, dirinya mengumpulkan sejumlah bukti adanya konflik sosial di Pulau Wawonii menggunakan metode kualitatif. “Saya punya dua bukti sebenarnya, tapi kualitatif. Bukti pertama dari rekan saya, kebetulan pengacara di sini orang di sana yang menceritakan keluarganya sendiri,” kata Prof Rilus.
“Kata orang sana (Wawonii), baku apa ya, bertengkarlah, tidak harmonis lagi. Bahkan kematian pun tidak saling mengunjungi,” ungkapnya. Tak hanya itu, Prof Rilus melakukan pertemuan secara virtual lewat aplikasi zoom meeting dengan beberapa tokoh ada masyarakat Pulau Wawonii, pada 27 November 2023.
“Mereka mamang mengeluh, dan mereka adalah pelaku-pelaku yang sempat melawan dengan orang-orang dari pihak perusahaan (PT GKP). Mereka mengatakan ini ada penyerobotan (lahan), pemaksaan dan seterusnya,” tambahnya.
Prof Rilus menjelaskan, sejak awal sebelum beroperasinya PT GKP, masyarakat sudah melakukan penolakan terhadap perusahaan tambang dan telah terjadi konflik. Untuk itu, Prof Rilus pun meminta pasal 35 huruf k dan 23 Ayat 2 UU PWP3K tak boleh dihapus karena diperlukan untuk melindungi kontrol dan akses masyarakat pesisir dan nelayan terhadap wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil.
Menurut Prof Rilus, keberadaan pulau-pulau kecil punya arti penting sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat petani/nelayan yang tinggal di dalamnya. Tapi sangat disayangkan, pada kenyataannya, masyarakat pesisir dan nelayan masih berhadapan dengan kemiskinan, marginalisasi, penggusuran dan konflik sosial.
“Tidak jarang, alam sebagai sumber penghidupan mereka terganggu akibat berbagai kegiatan pembangunan, termasuk yang bersifat ekstraktif seperti pertambangan,” ujar Prof Rilus A Kinseng. Itu sebabnya, akademisi ini menegaskan agar akses dan kontrol masyarakat pesisir dan nelayan terhadap sumber daya alam di pulau-pulau kecil sangat perlu dilindungi.
Prof Rilus menegaskan penghapusan pasal 35 huruf k dan Pasal 23 ayat (2) UU PWP3K akan membuka peluang diskriminasi, marginalisasi, penindasan penguasa dan pengusaha terhadap masyarakat petani dan nelayan di pulau-pulau Kecil. “Kalaupun mau dihapus, maka harus ada pasal pengganti yang menjamin agar masyarakat petani dan nelayan di pulau-pulau kecil lebih terlindungi lagi dari aktivitas pertambangan,” tegasnya.(rilis)