Mengenal Lafran Pane, Pendiri HMI yang Jadi Pahlawan Nasional
LENTERASULTRA.com-Sebuah kebanggan kini melekat di dada setiap anak-anak Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Senior mereka, sekaligus pendiri organisasi ekstra kampus terbesar itu, (alm) Prof Lafran Pane, baru saja dinobatkan sebagai pahlawan nasional.
Penghargaan itu diserahkan Presiden Jokowi, Kamis (9/11) siang kemarin. Ia dianggap berjasa besar terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, hingga layak diganjar gelar kehormatan sebagai seorang pahlawan. Penghargaan itu diterima Muhammad Iqbal Pane, putra kedua Lafran.
Lafran Pane mendirikan HMI pada Februari 1947 saat ia kuliah di Sekolah Tinggi Islam (kini Universitas Islam Indonesia) Jogjakarta. Dari rahim organisasi tersebut lahir begitu banyak tokoh penting negeri ini. Bahkan nyaris semua petinggi republik ini, jebolan HMI.
Layak memang jika Lafran diberi gelar pahlawan. Dibawah panji HMI, ia menolak gagasan negara Islam yang pendirian Darul Islam, disampaikan Maridjan Kartosoewirjo, pendiri Darul Islam.
Pengusulan gelar kepahlawanan terhadap Lafran Pane mulai diusulkan tahun lalu oleh para kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang dipimpin langsung tokoh nasional Akbar Tandjung, yang juga mantan Ketua Umum HMI Cabang Jakarta era 1969-1970.
Sosok Prof Drs Lafran Pane sendiri, menurut penuturan sang anak, Iqbal Pane merupakan seorang ayah yang sangat rendah hati, tepat waktu, jujur, disiplin, dan penuh dengan religius.
“Jadi beliau (Lafran, Red) sampai dengan meninggal (24 Januari 1991, Red) masih menggunakan sepedanya. Padahal murid-murid dan kawan-kawan di HMI lainnya sudah pada jadi orang,” terang Iqbal.
Diceritakan Iqbal, pada waktu dahulu para kader yang dididik Prof Lafran seperti tokoh nasional Akbar Tandjung, Ghofur, tokoh Muhammadiyah Mar’ie Muhammad, Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla, dan sebagainya, semua sudah menjadi orang hebat. Meski demikian, sang ayah masih tetap mengendarai sepeda bututnya dengan penuh kerendahan hatinya.
“Kemudian soal kejujuran, saya tidak bisa menandingi ayah, misalnya beliau belanja di warung, tapi kurang uang, lalu penjualnya ngomong udah besok aja pak (bayarnya, Red). Tapi ayah nggak, begitu sampai ke rumah kita disuruh langsung nganter uang itu,” ceritanya.
“Jadi beliau paling takut untuk korupsi walaupun kecil jumlahnya. Sehingga beliau hidupnya sangat sederhana, beliau mendidik kami seperti itu,” tandasnya.
Terkait dengan ibadah, Prof Lafran yang juga adik kandung sastawan Sanusi Pane dan Armijn Pane itu sangat disiplin. Iqbal mengatakan, kalau salat selalu tepat waktu. Dalam mendidik anak-anaknya, sang ayah juga langsung mengajarkannya sendiri.
Prof Drs Lafran lahir di Padang Sidempuan, Sumatera Utara (Sumut), 5 Februari 1922. Dia meninggal pada usia 69 tahun, 25 Januari 1991 dan dimakamkan di D.I. Jogjakarta. Semasa hidupnya Lafran mencurahkan pemikiran dan karyanya untuk ke-Islaman, ke-Indonesiaan, dan kebangsaan.
Lafran juga tercatat menjadi pendidik di empat kampus di Kota Gudeg antara lain Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Gadjah Mada (UGM), IKIP yang sekarang menjadi Universitas Jogjakarta serta IAIN Jogjakarta yang sekarang Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka).
Dalam sejarah UGM, Lafran termasuk salah satu mahasiswa yang pertama kali lulus mencapai gelar sarjana pada 26 Januari 1953. Dengan demikian, dia menjadi salah satu sarjana ilmu politik pertama di Indonesia. Selanjutnya, Lafran lebih tertarik di lapangan pendidikan dan keluar dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan masuk kembali ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Koordinator Presidium Majelis Nasional KAHMI Mahfud MD menuturkan, gelar pahlawan Lafran Pane itu sejatinya bukan untuk dia, melainkan untuk bangsa Indonesia. ”Kalau beliau masih hidup, mungkin tidak akan mau,” ucapnya.
Dari situ orang akan terus mencari tahu siapa Lafran Pane dan HMI. Selain itu, gelar tersebut menjadi pengingat bahwa bangsa Indonesia merdeka juga karena peran berbagai elemen. ”Tidak boleh ada yang saling mengkhianati,” tutur mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu. (jpc)