Perbankan Indonesia Didorong Investasi di Proyek Smelter Nikel
JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Industri perbankan di Indonesia didorong untuk aktif berinvestasi di industri nikel, dengan jalan membiayai para pengusaha di dalam negeri yang sedang membangun smelter nikel. Pasalnya, prospek industri nikel Indonesia sangat cerah dan menjanjikan di masa depan.
Menurut Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) RI, Bahlil Lahadalia, selama ini perbankan di dalam negeri belum menunjukkan antusiasme untuk membiayai industri ini, padahal investasi membangun smelter nilainya tidak besar hanya berkisar antara Rp3 triliun atau Rp4 triliun.
Bahlil menegaskan, sejauh ini pemerintah sudah mendorong berbagai cara agar para pengusaha tersebut mudah berinvestasi membangun smelter, termasuk dengan memberi berbagai insentif.
“Tax holiday kita kasih, insentif master list kita kasih, tapi perbankan nasional kita tidak ada yang mau membiayai. Andai pun ada minta equitynya antara 40 sampai 50 persen,” jelasnya dikutip dari asiatoday.id.
Bahlil memandang, situasi ini tidak adil ketika ada investor dari luar negeri yang berani untuk berinvestasi di Indonesia untuk membangun smelter, seperti dari China.
Harusnya kata dia, perbankan nasional juga mendukung pengusaha dalam negeri yang sedang membangun smelter.
“Pada dasarnya perbankan tidak perlu takut berinvestasi untuk pengolahan nikel, sebab tidak ada satu pun investor smelter nikel yang merugi sampai dengan saat ini. Katakanlah dari China atau dari negara mana yang kita ributkan itu, padahal tidak ada yang melakukan investasi smelter nikel yang rugi, tunjukkan kepada saya, tidak ada,” paparnya.
Menurut Bahlil, ini disebabkan Harga Patokan Mineral (HPM) logam nikel dengan Ni kadar 1,8 persen memiliki harga jauh lebih tinggi di pasar dunia sekitar US$70-80 per metrik ton.
“Di pasar dunia itu, harga nikel US$70-80 sementara di Indonesia hanya US$35 per metrik ton. Maka kita sekarang lagi mendorong untuk melarang ekspor ore nikel dengan menjadikan Indonesia sebagai pusat industri baterai dunia,” tegas Bahlil.
“Indonesia tidak punya Lithium hanya ada di Australia tetapi kita bisa impor. Dengan 25 persen total cadangan nikel dunia itu ada di Indonesia, ini jadi momentum untuk Indonesia bangkit,” tandasnya. (ATN)