Jokowi Tetap Tolak Masa Jabatan Presiden Tiga Periode
JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Juru Bicara Presiden Republik Indonesia, Fadjroel Rachman, menyatakan Presiden Joko Widodo sama sekali tidak berniat dan juga tidak memiliki minat menjabat sebagai Presiden RI selama tiga periode.
“Berdasarkan pernyataan Presiden Joko Widodo pada 15 Maret 2021: ‘Saya tidak ada niat, tidak juga berminat menjadi Presiden tiga periode. Konstitusi mengamanahkan dua periode, itu yang harus kita jaga bersama,’” ungkap Fadjroel dikutip dari voaindonesia.com.
Pernyataan Presiden tersebut, ujar Fadjroel, merupakan sikap politik Jokowi yang tetap menolak wacana tiga periode maupun memperpanjang masa jabatan presiden, sampai detik ini. Ia menegaskan Jokowi memahami amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan domain dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Meski begitu, kata Fadjorel, sikap politik Jokowi tersebut menunjukkan kesetiaannya kepada konstitusi UUD 1945 dan amanah reformasi 1998.
“Pasal 7 UUD 1945 amandemen pertama merupakan masterpiece dari gerakan demokrasi dan reformasi 1998, yang harus kita jaga bersama. Disebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat diplih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan,” jelasnya.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, mengungkapkan bahwa rakyat harus menolak apabila memang wacana jabatan Presiden RI menjadi tiga periode menjadi kenyataan. Ia mengingatkan semua pihak harus konsisten dalam berdemokrasi dan menjalankan amanat konstusi dalam pasal 7 UUD 1945.
Namun Ujang mengakui bergabungnya Partai Amanat Nasional (PAN) dalam partai koalisi akan memungkinkan MPR melakukan amandemen UUD 1945. Meski demikian ia mengingatkan bahwa wacana amandemen di tengah pandemi sangat tidak tepat karena pada saat ini rakyat hanya membutuhkan sandang, pangan, pekerjaan dan kesehatan.
“Oleh karena itu saya melihat kalau amandemen, katakan secara matematika unggul, mereka bisa mengotak-atik amandemen, tetapi secara kontrol kekuatan rakyat bisa marah. Ini harus dimengerti oleh para elite bahwa amandemen itu bukan kepentingan rakyat, tapi kepentingan para elite parpol,” ungkap Ujang.
Namun, apabila memang wacana tiga periode ini direalisasikan, ia sangat yakin akan terjadi perlawanan dari rakyat.
“Saya punya keyakinan rakyat akan marah. Kemarin waktu revisi UU KPK masih sabar, lalu Omnibus Law juga masih sabar, tapi saya punya insting bawah terkait dengan tiga periode ini masyarakat kelihatannya akan melakukan mohon maaf dalam tanda petik perlawanan,” jelasnya.
Di sisi lain, langkah PAN yang akhirnya bergabung kepada pemerintahan, kata Ujang akan berdampak buruk dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Dengan bergabungnya PAN, maka partai oposisi hanya menyisakan Partai Demokrat dan PKS yang sama sekali tidak kuat. Padahal sejatinya, dalam sebuah negara, kata Ujang, selain dibutuhkan pemerintahan yang kuat, juga dibutuhkan oposisi yang kuat untuk mengontrol jalannya pemerintahan.
Ia mengingatkan istilah power tends to corrupt, yaitu kekuasaan akan cenderung korup atau disalahgunakan. Dan, tambahnya, kekuasaan yang dominan itu juga akan cenderung banyak disalahgunakan.
“Sebenarnya oposisi saat ini bukan di parpol, tapi di rakyat. Kontrol itu sekarang di rakyat, melalui netizen atau kritikan dari masyarakat, karena oposisi di parlemen tidak kuat,” tegasnya. [gi/ah/VOA]