Pemerintah Berkomitmen Hapus Kekerasan Seksual

122
Karangan bunga di dekat pintu masuk bagian belakang kompleks DPR di Senayan dari berbagai organisasi perempuan sebagai bentuk keprihatinan dan mendesak DPR agar segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), Jakarta,

JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Pemerintah berkomitmen bahwa upaya penghapusan kekerasan seksual tidak hilang meski Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) mandek di tengah jalan. Pejabat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Ali Khasan mengatakan tahun ini pemerintah membentuk Gugus Tugas RUU PKS.

“Gugus tugas ini merupakan lembaga koordinatif lintas kementerian atau lintas lembaga yang bertugas mengkoordinasikan langkah percepatan dalam proses pembentukan Undang-Undang PKS,” kata Ali Khasan dalam diskusi yang diselenggarakan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR RI dengan tema “Perlukah Negara Mengintervensi Hak Seksualitas Manusia?”, Kamis (19/8).

Gugus tugas tersebut, katanya, melibatkan Menteri PPPA, Kepala Staf Presiden, Menteri Hukum dan HAM, Kapolri dan Jaksa Agung sebagai pengarah.

Dia memastikan, perhatian presiden terkait isu ini belum pudar. Presiden sudah memerintahkan adanya layanan rujukan bagi perempuan dan anak korban kekerasan.

Selain itu, Ali Khasan memastikan pemerintah tetap berkomitmen menghadirkan UU PKS. Pemerintah memandang perlu adanya payung hukum khusus sebagai upaya pembaharuan hukum yang diwujudkan secara menyeluruh atau komprehensif.

RUU PKS masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada 2016. Namun pembahasannya tak kunjung usai. RUU tersebut kembali menjadi sorotan publik ketika DPR mencabutnya dari Prolegnas 2020.

Para pembicara diskusi ini secara umum memandang perlu adanya aturan hukum khusus terkait penghapusan kekerasan seksual.

Badriyah Fayumi dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menyebut organisasi itu sejak awal sudah memberi masukan terkait RUU PKS. Dia bahkan menegaskan, negara wajib hadir dalam upaya penghapusan kekerasan seksual.

Dalam soal sanksi hukum, KUPI menyebut ketentuannya harus berorientasi pada keadilan dan kemaslahatan bagi korban, serta efek jera dan rehabilitasi bagi pelaku. RUU ini perlu mengatur ketentuan pidana yang tidak menghukum korban, tidak menghukum yang bukan pelaku, mempertimbangkan aspek penjeraan pelaku dan pemulihan bagi korban.

“Pemulihan korban sangat perlu diatur secara khusus karena pemulihan korban belum ada aturan spesifik dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada,” kata Badriyah dikutip dari voaindonesia.com.

Selain itu, secara rinci KUPI memberi masukan untuk menyederhanakan definisi kekerasan seksual. Bentuk-bentuk kekerasan seksual, definisi dan penjelasannya perlu dirumuskan secara hati-hati, jelas, tidak multitafsir, tidak menjerat orang yang bukan pelaku, tidak menjerat orang yang dalam posisi dipaksa oleh pelaku dan yang terpaksa oleh sistem.

Related Posts
PENGUMUMAN KPU KABUPATEN MUNA  

Pengumuman Kabupaten Bombana

KUPI juga berpendapat, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak cukup hanya mengatur pencegahan. Lebih jauh, aturan hukum ini perlu mengatur aspek hukum acara yang memudahkan pihak korban, keluarga korban, dan pendamping korban mendapatkan hak-haknya. Penting juga untuk menghadirkan hukum acara yang menjamin kemudahan akses keadilan

“RUU PKS perlu mengatur pemantauan karena negara bertanggung jawab memastikan berjalannya perlindungan setiap warga negara dari kekerasan seksual melalui melalui Lembaga Nasional HAM yang mempunyai mandat spesifik penghapusan kekerasan terhadap perempuan,” tambah Badriyah.

Sementara pakar hukum Dr. Ninik Rahayu menyebut aturan hukum terkait penghapusan kekerasan seksual ke depan, setidaknya harus memiliki dua pendekatan. Pertama, kebijakan pencegahan harus menggunakan pendekatan kerangka kerja ekologis. Seluruh pihak harus terlibat, bukan hanya pemerintah tetapi juga masyarakat.

“Kedua, kebijakan Hukum Penindakan yang menggunakan sarana penal dan pemulihan melalui kebijakan integratif menggunaan pendekatan restorative justice,” ujar Ninik.

Selain itu, ada empat hal pokok yang harus diperhatikan dalam penyusunannya. Keempatnya adalah kebijakan pencegahan atau primary prevention, perlindungan kepentingan hak-hak dan pemulihan bagi korban, pemidanaan (penal) dan penindakan (matregel) untuk rehabilitasi bagi pelaku.

“Terakhir adalah pemulihan keseimbangan tatanan atau restitutio an integrum dan partisipasi masyarakat,” tambah Ninik.

Sedangkan anggota Fraksi PPP DPR RI, Illiza Sa’aduddin Djamal, memberikan sejumlah rekomendasi terkait RUU PKS ke depan. Meskipun masih ada perdebatan terkait RUU ini, menurut Illiza, langkah perjuangan untuk mencegah tindak pidana seksual bisa dilakukan melalui dua langkah.

“Yaitu memperjuangkan RUU khusus seperti negara Common Law yang mengatur tindak pidana seksual berupa RUU ini, sekaligus memperjuangkan materi dan subtasi RUU ini dalam RKUHP, seperti yang terjadi dibeberapa negara Civil Law,” kata Illiza.

Dia juga mengatakan, pasal-pasal dalam RUU PKS harus menghindari faktor yang membuat rapuh ketahanan istitusi keluarga dan tidak boleh bertentangan dengan nilai agama dan Pancasila. Selain itu, jenis-jenis kekerasan seksual yang dimunculkan jangan multi tafsir. Illiza juga setuju, selain mengatur sanksi pemidanaan, RUU PKS ke depan juga harus mengatur pencegahan, rehabilitasi dan pemulihan korban kekerasan seksual.

Pakar Hukum Universitas Indonesia, Dr. Neng Djubaidah, menambahkan sejumlah usulan penting bagi RUU PKS ke depan. Dia berpendapat, bagi korban tindak pidana seksual, terutama korban perkosaan baik heteroseksual maupun homoseksual, semestinya menerima ganti kerugian berupa restitusi maupun kompensasi. Ganti kerugian itu dibebankan kepada pelaku, dan besarnya dapat dihitung dengan rinci.

“Korban hubungan seksual oleh keluarga sedarah, hendaknya ditentukan hukuman tambahan berupa pemisahan tempat tinggal korban dengan pelaku incest,” tambah Djubaidah. [ns/ah/VOA]

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

BERITA TERBARU