Perundungan Siswi Karena Busana, Pemerintah Diminta Buat Aturan Tegas
JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Lebih dari 800 orang dan organisasi kemasyarakatan mengajukan petisi kepada Presiden Joko Widodo terkait pembatalan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri soal seragam sekolah negeri oleh Mahkamah Agung pada 3 Mei 2021. Petisi itu dituangkan dalam “Seruan Indonesia Hentikan Perundungan dan Intimidasi Lewat Aturan Busana.” Mereka mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera mengeluarkan aturan yang lebih kuat dalam rangka menjamin kebebasan berbusana bagi perempuan dan anak perempuan.
Psikolog Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Ifa Hanifah Misbach, mengatakan pencabutan SKB 3 Menteri terkait busana di lingkungan sekolah, merupakan pencederaan terhadap hak individu yang bebas mengekspresikan diri sesuai ketentuan Undang-Undang. Bahkan, Komisi Yudisial diminta memeriksa hakim MA terkait kode etik, dalam kaitan putusan tentang busana ini.
“Pencabutan SKB 3 Menteri terkait seragam sekolah, untuk para pendukung petisi ini adalah, melihat ini bukan merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Dan kami sebagai bagian dari publik menyesalkan, publik tidak dibiarkan mengetahui proses sampai hasil keputusan itu memberi jalan yang tidak transparan,” katanya, dikutip dari voaindonesia.com.
Sampai hari, lanjut Ifa, masyarakat tidak bisa mengakses keputusan sehingga timbul kesan pemerintah terburu-buru dan tertutup.
“Mencerminkan tidak dilakukannya verifikasi mendalam atas berbagai pelanggaran aturan jilbab di berbagai provinsi, bukan hanya di Sumatera Barat Saja,” tambahnya.
Kondisi tersebut dianggap memprihatinkan, karena terjadi di sekolah negeri serta institusi publik yang dibiayai negara dari dana publik. Pemaksaan ini yang diprotes sejumlah pihak, termasuk bila terjadi larangan memakai jilbab di daerah lain, seperti Bali, Flores dan Papua. Hal itu juga orang tua siswa di Lampung, di mana kedua anaknya mengalami intimidasi dan diskriminasi akibat menolak memakai jilbab.
“Pas anak saya pulang sekolah, dia nangis, dia nangis menyampaikan dia tidak ingin sekolah di situ, di SMA Negeri, dia ingin pindah ke Jawa, ingin ikut mbah utinya (nenek), kenapa, karena hujatan-hujatan yang disampaikan oleh kakak kelas atau panitia, termasuk OSIS dan rohis, itu sangat-sangat menyentuh perasaan dan membuat dia merasa menjadi seseorang yang tidak bermoral,” kata seorang tua siswa dari Lampung, yang minta dirahasiakan namanya.
Yefri Heriani, Kepala Ombudsman Sumatera Barat, mengatakan masyarakat harus berani melaporkan setiap perlakuan diskriminatif yang diterima dari penyelenggara layanan publik, khususnya terkait busana yang harus dikenakan seseorang yang mengakses layanan publik. Yefri mengatakan, aturan berbusana bisa saja dibuat oleh sekolah atau institusi, tetapi tetap harus menghargai kebebasan seseorang yang dilindungi Undang-Undang.
“Sebetulnya sekolah punya wewenang untuk buat aturan, boleh, tetapi sekolah juga harus menghargai adanya kebebasan yang itu ada di dalam konstitusi, itu artinya penyelenggara layanan publik tidak boleh melebihi, tidak boleh menggunakan wewenangnya tidak sesuai dengan tujuannya,” kata Yefri Heriani.
Direktur Eksekutif Kalyanamitra, Lilis Listyowati, mengatakan dalam konteks pendidikan anak-anak Indonesia dibutuhkan kenyamanan dan keamanan dalam menjalani pendidikannya. Ketika ada unsur ketidaknyamanan, maka akan berimbas pada pendidikan yang diterima oleh anak-anak Indonesia. Poin yang mendasar SKB 3 Menteri, kata Lilis, telah cukup mengakomodir kebutuhan masyarakat, dalam hal ini tidak ada pemaksaan dalam berbusana.
“Ketika orang menyerukan bahwa mendukung SKB 3 Menteri, kemudian dikatakan bahwa itu anti-jilbab, tidak. Karena kalau kita cermati bahwa SKB 3 Menteri juga berbicara, tetap mendukung pilihan orang untuk menggunakan jilbab. Tetapi poinnya adalah tidak boleh melakukan pemaksaan terhadap pilihan orang,” ujarnya.
Orang tua siswa di Lampung, yang anaknya mengalami perundungan, berharap adanya aturan legal yang membebaskan berbusana atau mengenakan atribut tertentu oleh para pelajar, karena kasus yang dialami anaknya banyak juga dialami anak-anak lain, tapi mereka takut bersuara.
“Saya sangat-sangat berharap adanya sebuah aturan yang legal, tidak ada pemaksaan terhadap atribut tertentu mengatasnamakan agama atau apapun, karena kita punya hak. Dan kenapa saya berharap, saya yakin dan saya tahu, banyak orang tua-orang tua yang juga merasakan seperti saya tapi tidak mampu untuk berargumentasi, tidak mampu melakukan sesuatu hal seperti yang saya lakukan, karena tidak berani,” katanya. [pr/ah/VOA]