PBB dan Dunia Internasional Desak Israel Hentikan Penggusuran di Yerusalem Timur
JENEWA, LENTERASULTRA.COM – Kantor Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) menyerukan agar Israel menghentikan penggusuran paksa warga Palestina di Yerusalem Timur. Kantor HAM PBB menyebut rencana penggusuran tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran aturan internasional atau bahkan masuk kategori kejahatan perang. Saat ini, terdapat delapan keluarga pengungsi Palestina di Yerusalem Timur yang terancam digusur paksa otoritas Israel atas gugatan dari sebuah organisasi pemukim Yahudi.
Colville mengatakan delapan keluarga pengungsi Palestina di Yerusalem Timur terancam digusur di tengah gugatan hukum organisasi bernama Nahalat Shimon. Empat dari delapan keluarga Palestina, lanjut Colville, terancam digusur dalam waktu dekat.
“Penggusuran, jika diperintahkan dan diimplementasikan pengadilan, dapat melanggar kewajiban Israel di bawah hukum internasional,” tutur Colville, dikutip dari asiatoday.id.
Ia mengutip sebuah survei Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) pada 2020, yang mengatakan bahwa setidaknya 218 keluarga Palestina di Yerusalem Timur, menghadapi kasus penggusuran.
“Dan mayoritas dari kasus ini diinisiasi oleh sejumlah organisasi pendatang,” sebut Colville. Ia menyebut sekitar 970 orang, termasuk 424 anak-anak, berisiko digusur dari Yerusalem Timur.
“Mengenai peristiwa di Sheikh Jarrah dalam beberapa hari terakhir, kami ingin menekankan bahwa Yerusalem Timur masih menjadi bagian dari wilayah Palestina, di mana aturan kemanusiaan internasional berlaku,” ungkapnya.
AS Serukan Diakhirinya Bentrokan di Kompleks Masjid Al-Aqsa. Amerika Serikat menyuarakan kekhawatiran mendalam atas aksi kekerasan di kompleks Masjid Al-Aqsa di Kota Tua Yerusalem pada Jumat malam kemarin. Ketegangan meningkat usai pasukan Israel menyerbu masyarakat Palestina yang baru saja selesai menunaikan ibadah salat Isya dan Tarawih di Masjid Al-Aqsa. Bentrokan tersebut juga dipicu ketegangan beberapa hari sebelumnya terkait rencana penggusuran Israel terhadap sejumlah rumah milik warga Palestina di Yerusalem, termasuk di wilayah Sheikh Jarrah.
“Kami sangat khawatir atas konfrontasi di Yerusalem, termasuk di Haram al-Sharif/Temple Mount dan di Sheikh Jarrah, yang dikabarkan telah berujung pada terlukanya sejumlah orang,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Ned Price.
“Aksi kekerasan tidak dapat dibenarkan. Pertumpahan darah ini juga sangat mengganggu karena terjadi di hari-hari terakhir bulan Ramadan,” sambungnya, dikutip dari laman Anadolu Agency pada Sabtu, 8 Mei 2021.
AS juga mengecam aksi serangan sekelompok warga Palestina terhadap prajurit Israel di hari yang sama. Tak lama usai serangan itu, Israel balik menyerang masyarakat Palestina di Tepi Barat.
Price menegaskan bahwa Washington menyerukan agar Palestina dan Israel bertindak cepat dalam menurunkan ketegangan dan menghentikan kekerasan.
Sementara itu, Rusia mengecam bentrokan yang terjadi antara pasukan keamanan Israel dan masyarakat Palestina di kompleks Masjid Al-Aqsa pada Jumat malam kemarin. Moskow meminta kedua kubu untuk menghentikan aksi kekerasan dan menahan diri demi menurunkan ketegangan. Lebih dari 200 orang terluka saat pasukan keamanan Israel menyerbu sekelompok warga Palestina yang baru selesai menunaikan ibadah salat Isyah dan Tarawih pada Jumat malam. Peristiwa itu dipandang sebagai puncak dari ketegangan antar kedua kubu yang dipicu banyak hal, termasuk rencana penggusuran Israel terhadap delapan keluarga Palestina di Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur.
Mengenai ancaman penggusuran di Sheikh Jarrah, Rusia kembali menegaskan bahwa penciptaan permukiman oleh Israel di wilayah Palestina, termasuk Yerusalem Timur tidak memiliki kekuatan hukum.
“Aksi semacam itu merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional dan menghambat upaya damai menuju penciptaan dua negara — Palestina dan Israel,” sambungnya.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi mengecam agresi dan rencana otoritas Israel yang hendak menggusur sejumlah keluarga Palestina di wilayah Sheikh Jarrah dalam waktu dekat. Menurutnya, tindakan Israel dapat diibaratkan seperti “bermain dengan api.”
Dalam serangkaian tulisan via Twitter, Safadi menegaskan bahwa “langkah ilegal dan provokatif Israel di Yerusalem, termasuk ancaman penggusuran warga Palestina di Sheikh Jarrah, dapat mendorong ketegangan ke batas yang berbahaya.”
“Yerusalem adalah garis merah. Ini seperti bermain dengan api,” ungkap Safadi, dilansir dari laman Middle East Monitor pada Sabtu, 8 Mei 2021.
Safadi menegaskan, sejumlah keluarga Palestina yang diancam dengan penggusuran di Sheikh Jarrah adalah pemilik sah rumah mereka. Hal ini dibuktikan dengan dokumen kepemilikan lahan dan rumah yang diserahkan oleh Yordania kepada Otoritas Nasional Palestina (PNA).
Sebagai otoritas pendudukan, lanjut Safadi, Israel bertanggung jawab secara hukum untuk memastikan hak kepemilikan itu dilindungi.
Mengenai ancaman penggusuran di Sheikh Jarrah, Safadi menyerukan komunitas internasional untuk mengambil langkah cepat dan efektif untuk mencegah terjadinya hal tersebut.
Di waktu bersamaan, ia memuji sejumlah negara Barat yang sudah menyerukan Israel untuk menghentikan proyek permukiman ilegalnya di Tepi Barat.
“Kami menyambut baik pernyataan dari Prancis, Jerman, Italia, Spanyol, dan Inggris,” tulis Safadi.
Mereka juga mengecam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan dunia Arab yang terkesan hanya memprotes seadanya atas langkah penggusuran Israel.
Dalam beberapa bulan terakhir, Pengadilan Sentral Israel di Yerusalem Timur menyetujui keputusan menggusur beberapa keluarga Palestina dari rumah mereka. Penggusuran ini merupakan buntut dari gugatan hukum beberapa organisasi atas status kepemilikan rumah keluarga Palestina di Yerusalem Timur. Ratusan ribu warga Palestina melarikan diri dari sejumlah desa dan kota di wilayah Yerusalem pada 1948 ke negara tetangga seperti Yordania, Lebanon, dan Suriah. Ada juga warga Palestina yang melarikan diri dan telantar di Jalur Gaza serta Tepi Barat.
Saat para pengungsi mencoba kembali ke tempat asal mereka, kelompok pendatang Yahudi sudah berada di sana. Para pendatang Yahudi kemudian berusaha mengusir sejumlah keluarga Palestina di bawah aturan hukum yang disahkan parlemen Israel pada 1970. (ATN)