Pemerintah Tegaskan Penanganan KKB Papua Tidak Langgar HAM
JAKARTA, LENTERADULTRA.COM – Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan, bahwa pemerintah tidak akan melanggar nilai-nilai HAM dalam menangani persoalan KKB di Papua. Menurutnya, hal tersebut merupakan pesan penting yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam Sidang Kabinet Paripurna yang berlangsung pada Selasa (27/4) lalu.
Presiden sudah pesan kepada Kapolri dan Panglima TNI, untuk wanti-wanti terhadap persoalan HAM. Namun demikian persoalan KKB harus ditangani secara terukur, secara proporsional dengan pendekatan penegakan hukum,” ungkap Moeldoko dalam konferensi pers Festival HAM 2021 secara daring di Gedung Bina Graha Jakarta, Rabu (28/4).
Dikutip dari voaindonesia.com, sebelum Sidang Kabinet Paripurna, beragam masukan terkait penanganan KKB Papua juga sudah disampaikan oleh TNI, Polri, Badan Intelijen Negara (BIN), Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan, Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), hingga Bupati Puncak, kepada dirinya.
Upaya ini pun terus ditindaklanjuti oleh Moeldoko dengan melakukan dialog bersama para tokoh agama, budaya, dan masyarakat asli Papua. Ia berharap, dialog yang dilakukan secara terus menerus ini bisa menyelesaikan persoalan penanganan KKB secara tepat dan tidak mengorbankan banyak pihak.
Lanjutnya, ia melihat memang ada situasi baru yang muncul di tanah Papua, yaitu KKB mulai melakukan tindakan-tindakan yang masuk ke dalam kategori tindakan terorisme seperti, membunuh guru, membakar sekolah, dan mengintimidasi masyarakat.
“Kegiatan-kegiatannya sudah menjurus ke kegiatan terorisme karena memunculkan rasa tidak aman, rasa takut yang terbangun berlebihan di masyarakat karena pembunuhan. Bahkan Bupati Puncak merasa aneh, karena sudah mulai membunuh kepada warga asli Papua. Ini ada kecenderungan hal-hal yang baru yang lebih keras,” paparnya.
Pihaknya, kata Moeldoko pun sedang mengkaji dengan seksama terkait pelabelan terorisme kepada kelompok tersebut. Ia meminta semua pihak bersabar untuk menunggu hasilnya nanti.
“Intinya di situ adalah bagaimana meletakan antara ketegasan dengan penghormatan terhadap HAM, kita tidak boleh mengabaikan tentang itu. Di satu sisi diperlukan tindakan-tindakan yang sangat tegas karena ini berkaitan dengan rasa takut yang berlebihan bagi masyarakat, dan rasa aman yang sudah mulai diragukan di sana, buktinya ada pembunuhan guru, pembunuhan masyarakat asli, membakar sekolah dan lain-lain,” pungkasnya.
Label Teroris Persulit Situasi
Setara Institute dalam siaran persnya di Jakarta, Rabu (28/4), menilai pelabelan atau cap teroris kepada KKB di Papua tidak akan bisa menyelesaikan konfilik.
Desakan agar KKB di Papua dilabeli sebagai organisasi teroris semakin menguat belakangan ini, setelah kematian Kabinda Papua, Mayjen (anumerta) I Gusti Putu Danny Karya Nugraha.
Menurut Setara pihak-pihak yang mendukung pelabelan ini hanya berpikir sederhana dan pendek karena mengira dengan begitu operasi pengejaran dan melumpuhkan kelompok bersenjata di Papua jauh akan lebih efektif, padahal realitanya tidak semudah itu. Di lain pihak, ada juga yang mendukung, tapi mempunyai agenda lain, yaitu berkepentingan agar label teroris di negeri ini tidak semata pada kelompok kekerasan yang mengaku mewakili agama tertentu.
Di Indonesia sendiri bila mengacu pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2018 definisi terorisme dirumuskan secara luas dan multi interpretasi sehingga dimungkinkan adanya interpretasi yang membenarkan pelabelan itu.
“Setara Institute berpandangan dengan pelabelan organisasi teroris kepada kelompok bersenjata di Papua apalagi kemudian jika pelabelan itu melebar diberikan kepada kelompok pro kemerdekaan di Papua yang berjuang secara damai, tidak akan membantu bagi penyelesaian konflik di Papua tapi justru sebaliknya kontra produktif,” ungkap Setara Institute.
Tambahnya, cap atau label kelompok perlawanan di Papua diyakini tidak akan memutus siklus kekerasan yang telah berlangsung lama dan panjang. Setara menilai, kegagalan aparat keamanan dalam melumpuhkan kelompok bersenjata selama ini lebih karena kurangnya dukungan dan kepercayaan dari rakyat setempat. Selain itu, kendala utamanya adalah kondisi geografis dan pengenalan area di pegunungan.
Masih menurut Setara, pemerintah perlu memikirkan dampak buruk dari pelabelan teroris kepada kelompok KKB. Pertama, hal ini bisa jadi menutup ruang negosiasi dan perundingan. Sehingga akibatnya eskalasi kekerasan akan meningkat dan dampaknya buruk bagi rakyat setempat.
“Mereka terpaksa mengungsi untuk mencari selamat, kehilangan penghasilan ekonomi, anak-anak tidak bersekolah, kesehatan dan sanitasi lingkungan terganggu serta hal lain-lain,” tuturnya.
Kedua, pelabelan teroris akan menambah luka sosial rakyat Papua. Mereka akan merasa pelabelan ini bukan hanya untuk KKB semata, tetapi juga untuk rakyat Papua secara keseluruhan.
“Selama ini mereka merasa didiskriminasi dan mengalami perlakuan rasisme. Sekarang bertambah dengan label teroris,” katanya.
Dampak psikologi sosial semacam ini perlu dipertimbangkan oleh pemerintah. Pendekatan keamanan dan kesejahteraan fisik tanpa dipadani pendekatan kultural dan psikologi sosial akan membuat penyelesaian konflik di Papua semakin jauh panggang dari api.
Pemerintah, ujar Setara, harus menyusun sebuah strategi komprehensif untuk penyelesaian damai Papua. Tidak hanya tertuju pada percepatan pembangunan, penambahan provinsi, dan revisi UU otonomi khusus, tapi juga membuka ruang pembicaraan dan perundingan dengan kelompok-kelompok yang melakukan perlawanan selama ini. Langkah awal itu adalah mencari kesepakatan agar dihentikan penggunaan kekerasan dan permusuhan antara kedua belah pihak.
“Pemerintah Indonesia bisa memulai dengan menjajaki membuka saluran komunikasi dengan pihak yang selama ini melakukan perlawanan. Pemerintah Indonesia tidak perlu merasa kalah apalagi khawatir akan kehilangan Papua bila duduk dalam satu meja dengan kelompok perlawanan. Perdamaian di Papua tidak akan tercapai melalui ujung senjata tetapi melalui perundingan,” pungkasnya. [gi/ft/VOA]