Indonesia Kehilangan Kesempatan Memimpin Penyelamatan Iklim Global
JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Indonesia sangat berpotensi memimpin negara-negara di dunia dalam menangani krisis iklim. Selain merupakan negara ketiga terbesar pemilik hutan hujan tropis di dunia setelah Brazil dan Kongo, Indonesia juga berhasil dalam menurunkan deforestasi hingga 75 persen di periode 2019-2020.
“Capaian tersebut adalah wujud komitmen dan aksi nyata bagi Indonesia dalam menangani krisis iklim dunia. Apalagi Pemerintah Indonesia juga telah menurunkan angka deforestasi hutan alam selama 4 tahun berturut-turut,” kata Nadia Hadad, Direktur Program Yayasan Madani Berkelanjutan, Sabtu (24/4/2021) menanggapi Pidato Presiden Joko Widodo pada Leaders Summit on Climate tanggal 22 April 2021.
Namun sangat disayangkan, Pidato Presiden Joko Widodo pada forum Leaders Summit on Climate yang digagas oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden tak menyiratkan hal tersebut. Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa moratorium izin baru di hutan alam dan lahan gambut telah mencakup 66 juta hektare yang mana lebih besar dari luas gabungan Inggris dan Norwegia. Namun, hanya dengan pencapaian itu saja belum cukup. Masih diperlukan upaya untuk memperkuat komitmen iklim di sektor Penggunaan Lahan dan Perubahan Tata Guna Lahan Kehutanan (LULUCF) tersebut.
Dalam dokumen LTS-LCCR 2050, Indonesia telah menargetkan di sektor kehutanan skenario paling ambisius (LCCP) terhadap laju deforestasi hutan alam tahun 2010-2030 sebesar 241 ribu hektare per tahun dan di periode tahun 2031-2050 sebesar 99 ribu hektare per tahun.
“Dengan skenario ini, Indonesia mampu mencapai netral karbon sebelum 2070, dengan syarat Indonesia harus mengadopsi skenario paling ambisius dan menargetkan kuota deforestasi yang lebih rendah dalam Updated NDC,” tambah Yosi Amelia, dikutip dari asiatooday.id.
“Namun perlu adanya peningkatan target pemulihan gambut untuk membantu sektor hutan dan lahan menjadi net sink pada 2030. Dalam Perpres BRGM, target pemulihan gambut hanya mencakup luasan area 1,2 juta hektare untuk periode 2021-2024 dari wilayah prioritas restorasi yang mencapai 2,6 juta hektare dari wilayah prioritas 2016-2020. Sayangnya, target tersebut hanya mencakup pemulihan ekosistem gambut yang berada di luar area izin dan konsesi. Sementara itu di sisi lain 14,2 juta hektare ekosistem gambut telah dibebani izin dan 99% ekosistem gambut Indonesia berada dalam status rusak,” ujar Yosi Amelia.
“Oleh karena itu, penting bagi pemerintah Indonesia untuk segera merealisasikan target restorasi gambut yang telah ada dan memperluas pelaksanaan restorasi gambut ke area yang terbakar pada kebakaran hebat tahun 2019 lalu tidak hanya pada ekosistem gambut yang berada di luar area izin/konsesi namun juga ekosistem gambut yang berada di dalam area izin/konsesi,” tambah Yosi Amelia.
Presiden Joko Widodo juga menyampaikan terkait peluang dan rencana pengembangan biofuel di Indonesia.
“Upaya penurunan emisi karbon sektor energi dengan menggunakan energi terbarukan biofuel harus dilakukan dengan hati-hati, karena jangan sampai upaya pengembangan biofuel ini mengorbankan hutan alam Indonesia dengan menggantikan hutan alam menjadi hutan tanaman energi atau memperluas perkebunan sawit guna memenuhi bahan baku biofuel. Pembukaan hutan dan lahan untuk biofuel akan berisiko meningkatkan deforestasi sehingga Indonesia akan gagal mencapai komitmen iklimnya serta mencapai net zero emission di tahun 2050,” ungkap Yosi Amelia.
Negara-negara peserta KTT telah menyampaikan komitmen yang lebih ambisius mengurangi emisi dalam upaya memerangi krisis iklim, termasuk negara Brasil yang memiliki hutan hujan tropis terluas di dunia berkomitmen mencapai netralitas karbon pada tahun 2050.
Namun, Indonesia sendiri belum berani menunjukkan komitmen yang ambisius untuk mencapai net zero emission sebelum tahun 2050.
“Seharusnya Pertemuan Leaders Summit on Climate ini dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk memimpin negara-negara lain di dunia untuk mengatasi krisis iklim, serta menjadi momentum bagi Indonesia untuk menyampaikan pencapaian netral karbon (net zero emission) di tahun 2050 sebagaimana ditargetkan di dalam Persetujuan Paris,” tutup Nadia Hadad. (AT Network)