Amerika Sita Produk Rambut Manusia dari China Buatan Pekerja Uighur
LENTERASULTRA, WASHINGTON – Pejabat bea dan cukai Amerika Serikat (AS) mengatakan, mereka telah menyita pengiriman produk-produk yang terbuat dari rambut manusia asal China.
Produk-produk tersebut diyakini dibuat oleh warga Muslim di kamp-kamp kerja paksa di wilayah Xinjiang, China.
Produk ini adalah bagian dari pengiriman senilai USD800.000 atau sekitar Rp11,5 miliar dan seberat 13 ton milik Lop County Meixin Hair Product Co.Pihak bea dan cukai AS memerintahkan pada 17 Juni bahwa barang-barang perusahaan itu ditahan dengan alasan dikerjakan oleh warga yang menjalani kerja paksa, termasuk dari anak-anak.
“Produksi barang-barang ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius,” kata Brenda Smith, asisten komisaris eksekutif untuk perdagangan di Bea dan Cukai AS, melansir AFP sebagaimana dikutip Asiatoday.id Jumat (3/6/2020).
“Perintah penahanan dimaksudkan untuk mengirim pesan yang jelas dan langsung ke semua entitas yang ingin melakukan bisnis dengan Amerika Serikat, bahwa praktik ilegal dan tidak manusiawi tidak akan ditoleransi dalam rantai pasokan AS,” tegas Smith.
Lop County Meixin adalah pengekspor Xinjiang untuk rambut manusia. Produk itu biasanya digunakan dalam anyaman dan perpanjang rambut. Ini adalah perusahaan ketiga yang dimasukkan dalam daftar hitam dalam beberapa bulan terakhir karena menggunakan kerja paksa.
Pengumuman itu dikeluarkan ketika Departemen Keamanan Negara, Perdagangan, Perbendaharaan, dan Keamanan Dalam Negeri AS memperingatkan bisnis AS untuk berhati-hati mengimpor barang melalui rantai pasokan yang melibatkan kerja paksa atau penjara di Xinjiang dan di tempat lain di China.
Mereka juga memperingatkan perusahaan-perusahaan agar tidak memasok alat-alat pengawasan untuk digunakan oleh pihak berwenang di Xinjiang, atau membantu pembangunan fasilitas yang digunakan dalam penahanan massal warga Muslim dan minoritas di provinsi tersebut.
“Pemerintah China terus melakukan kampanye penindasan di Xinjiang, dengan menargetkan warga Uighur, etnis Kazakh, etnis Kyrgyz, dan anggota kelompok minoritas Muslim lainnya,” sebut Kementerian Luar Negeri AS.
“Bisnis yang membuka diri terhadap hal ini harus mewaspadai risiko reputasi, ekonomi, dan hukum,” pungkas pihak Kementerian. (ATN)