ASN di Sultra Juara Ketiga Pelanggaran Pemilu Se-Indonesia
JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Aparatur Sipil Negara (ASN) di Sulawesi Tenggara (Sultra) nampaknya sangat hobby mengurus politik. Buktinya, berdasarkan data yang dirilis Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, ASN di daerah ini terbanyak ketiga melakukan pelanggaran pada Pemilu 2019. Total ada 20 pelanggaran yang dilakukan oleh abdi negara di Bumi Anoa ini.
Sedangkan posisi pertama ditempati oleh Jawa Tengah (Jateng) dengan 43 pelanggaran, disusul oleh Sulawesi Selatan (Sulsel) dengan 26 pelanggaran. Kemudian Jawa Barat (17 pelanggaran), Banten (17 pelanggaran), Bali (8 pelanggaran), Sulawesi Barat (7 pelanggaran), Nusa Tenggara Barat (6 pelanggaran), Kalimantan Timur (5 pelanggaran), Riau (5 pelanggaran), Bangka Belitung (3 pelanggaran), Sumatera Selatan (3 pelanggaran), Kepulauan Riau (2 pelanggaran), Papua Barat (2 pelangggaran) dan Maluku (1 pelangggaran).
Menurut Anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo bentuk pelanggaran ASN pun bermacam-macam. Tercatat ada delapan jenis pelanggaran yang acap kali dilakukan oleh ASN.
Pertama, mencalonkan diri sebagai calon legislatif namun belum mengundurkan diri sebagai ASN. Kedua, melakukan tindakan yang menguntungkan peserta/calon. Ketiga, melakukan tindakan menguntungkan peserta/calon di media sosial. Keempat, hadir dalam kampanye.
Kelima, menggunakan atribut partai/peserta pemilu dan/atau membagikan alat peraga kampanye. Keenam, melibatkan diri sebagai tim kampanye peserta pemilu. Ketujuh, menghadiri kegiatan peserta pemilu (non kampanye).
“Terakhir kedelapan, menjadi anggota partai politik,” kata Ratna.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara), Sofian Effendi tak memungkiri jika mendekati Pemilu, pelanggaran terhadap netralitas akan semakin banyak. Ia juga tak menampik jika pelanggaran ASN menghambat pencapaian target pemerintah untuk menjadikan ASN berkelas dunia.
Pelanggaran itu juga akan mereduksi indeks efektifits pemerintah. Pasalnya salah satu indikator penilaian indeks adalah pemerintah harus memiliki model kelembagaan ASN yang mampu melawan intervensi politik.
Kata Sofian, ada beberapa faktor penyebab ASN tidak netral. Pertama, motif mendapatkan/mempertahankan jabatan. Patronase politik terjadi karena Kepala Daerah adalah pejabat politik yang sekaligus menjabat sebagai PPK (Pejabat Pembina Kepegawaian).
PPK memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam mempromosikan, memutasi, mendemosi pegawai ASN. Hal ini mengakibatkan pegawai ASN dilematis. Di satu sisi, mereka harus bersikap netral, di sisi lain, karier mereka berada di tangan Kepala Daerah.
Kedua, adanya hubungan primordial. Pelanggaran ASN terhadap asas netralitas juga dipicu oleh hubungan kekeluargaan, kesamaan asal usul, suku, keturunan, ras dan agama dengan pejabat politik, baik hubungan di dalam organisasi maupun di luar organisasi yang mengganggu profesionalisme dalam menjalankan tugas. Dampaknya, penegakaan asas netralitas melemah, PPK tidak menindaklanjuti dan memberikan sanksi terhadap ASN yang melanggar, termasuk tidak menjalankan rekomendasi KASN.
Ketiga, ketidakpahaman terhadap regulasi berkaitan dengan netralitas. Beberapa pegawai ASN menyatakan bahwa mereka belum mengetahui dan memahami peraturan berkajtan dengan netralitas ASN yang dikeluarkan oleh KemenPAN-RB dan KASN pada tahun 2017.
Keempat, adanya tekanan dari pihak lain, rendahnya integritas ASN, anggapan ketidaknetralan adalah lumrah dan sanksi yang diberikan tak menimbulkan efek jera.
Meski demikian, Sofian mengaku tak akan tinggal diam. Ia berjanji akan semakin memperketat pengawasan terhadap ASN. Ini untuk menjaga netralitas ASN dalam Pemilu 2019.
“Mendekati Pemilu, pelanggaran terhadap netralitas akan semakin banyak. Oleh karena itu, kami akan memperketat pengawasan agar jangan sampai birokrasi kita dicemari ketidaknetralan ASN,” tandas Sofian beberapa waktu lalu.