Cari Keadilan di DPRD, Intan Irianti: Mahasiswa Akper Muna Jadi “ATM” Berjalan
MUNA, LENTERASULTRA.COM- Status kampus tak jelas. Perkuliahan berjalan tertatih-tatih, ijazah tak diakui. Predikat kampus ini, menghantui benak puluhan mahasiswa Akademi Keperawatan (Akper) Muna. Sempat bermasalah hukum dengan kepengurusan lama hingga tuntas diambil alih Pemerintah Kabupaten (Pemkab) setempat, namun justru kian rumit perkaranya. Sekolah kesehatan itu, tak menjaminkan masa depan yang menamatkan diri diinstitut pimpinan La Ondo itu. Makanya, puluhan mahawiswa Akper mendatangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Mereka mengadukan nasib lantaran tak ada kepastian pendidikan di kampus tersebut. Kedatangan, 24 perwakilan mahasiswi tersebut yang didampingi orang tua, Senin (1/10), untuk mencari keadilan, sekaligus mengeluarkan unek-unek yang dihadapi selama menimba ilmu dilembaga pendidikan itu. Legislatif dianggap sebagai lentera dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Intan Irianti Endang, salah satu mahasiswa Akper semester V mengaku, saat menjalani proses perkuliahan, mahasiswa sering dimintai sejumlah uang. Baru-baru saja ini, pihak kampus meminta Rp 150 ribu untuk praktek skill lab. Ironinya, skill lab diadakan di Waara dan Wakadia. Sementara, fasilitas dalam kampus ada. Parahnya juga, sudah membayar,tapi sudah dua pekan ini, tak ada praktek. Kemudian, setiap ada kegiatan, kita diwajibkan bayar Rp 100 ribu semua tingkatan. Tapi, kegiatannya tak jelas.
“Kampus, dijadikan ATM berjalan pak,” pengakuan Intan Irianti dihadapan ketua DPRD Muna dr. Rajab beserta ketua Komisi III Awaludin. Mendengar ucapan itu, Awaludin seraya berucap “Dijadikan ATM berjalan mereka,” ucapnya diamini koleganya Darmin.
Intan demikian disapa melanjutkan, mau praktek dirumah sakit, mahasiswa dibebankan membayar Rp 600 ribu. Praktek di kendari, membayar Rp 5 juta, di Jawa Rp 8 juta. Untuk, apa bayar mahal-mahal, kalau hanya untuk plesiran. “Kalau hanya mau jalan jalan, cukup di raha saja. Kami mahasiwa pengen belajar. Terlalu banyak teman-teman merasa terusing, harusnya Pemkab mengangkat direktur yang kompoten. Jangan sebaliknya,” cetus Intan.
Sementara, Riskal mahasiwa Akper angkatan 2016 menyampaikan beberapa hal urgen dalam pertemuan itu. Pertama, dosen yang ada, tak memiliki nomor induk nasional. Kedua, birokrasi kurang stabil. Pengajar datang pukul 09.00 wita. Sementara, jadwal perkuliahan jam 07.30. Ketiga, dalam pergantian pengelola sebanyak dua kali, tanpa pengetahuan bupati. “Keempat, keadaan kampus kumuh, sudah tidak terurus. Seperti kandang sapi,” narasinya.
Riskal mengaku, sebenanrnya, ditahun pelajaran 2017, sudah tak ada lagi penerimaan mahasiswa. Hal itu, berdasarkan perselisihan dengan pengurus lama. Kesepakatannya, hanya menyelesaikan angkatan 2016 saja. Namun, perjalaannya, kampus itu tetap menerima mahasiswa dengan ganjaran uang masuk diwajibkan bayar Rp 1,5 juta.
“Info dari kopertis, Akper Pemkab Muna sudah tidak ada. Sudah empat kali dibuka uji kompetensi mendapatkan STR, namun Akper di Muna tak diikutkan. Ini artinya, Akper tak ada lagi. Mumpung semester ganjil, siapa tau, kami masig bisa integrasi ke kampus yang lain,” pintanya.
Ia juga menyampaikan, koleganya sebanyak lima orang sudah integrasi ke Akper PPNI. Sementara, dirinya mau integrasi, direktur tak mau menekan berkas itu. Bisa dilakukan, terkecuali membayar dulu uang SPP semester lima sebesar Rp 300 ribu. “Kami tak tahu lagi mau buat apa. Perjelas status kami. Mudahan-mudahan, DPRD segera bertindak,” timpalnya.
Sementara itu, Ketua DPRD Muna, dr Rajab sudah mencatat apa yang menjadi keresehan mahasiswa. Pihaknya bakal memanggil instansi tehnis terkait hal itu. “Besok Selasa, kami akan panggil Dinkes,” tandasnya. (ery)