Pecah Kongsi Duet Pemimpin Kolaka Utara

Nur Rahman Umar dan Jumarding. Dua nama yang begitu dihormati di Kolaka Utara, sebuah kabupaten di ujung barat Sulawesi Tenggara. Setahun lalu, saat kontestasi Pilkada berjalan, nama mereka dielu-elukan sebagai pasangan ideal untuk memimpin daerah. Benar saja, 38 ribuan suara cukup bagi mereka untuk menang. Bupati dan Wakil Bupati. Kini, mereka diambang “putus”, saat hubungan keduanya belum setahun.

Catatan :Abdi Mahatma

Mereka dilantik megah di Jakarta, 20 Februari 2025, dihadapan Presiden Prabowo Subianto. Keduanya bersumpah akan bekerja demi rakyat. Tapi sumpah yang lantang diucap, ternyata tak sekuat kenyataan yang menggerus. Baru juga 10 bulan bersama, aroma perpecahan menyeruak ke permukaan. Drama pecah kongsi itu kini jadi tontonan publik.

Bara konflik itu dipantik urusan mobil dinas. Kolaka Utara, kabupaten dengan APBD tak terlalu gemuk, tiba-tiba menganggarkan Rp1,74 miliar untuk menyewa 65 unit mobil pejabat. Mulai Rush, Innova Zenix, Veloz, hingga Fortuner. Semua berlogo Toyota, dan disiapkan untuk tiga bulan mulai Oktober sampai Desember 2025. Sebuah kontrak gemuk dengan perusahaan rental besar, PT Serasi Autoraya (TRAC). Kendaraan itu disiapkan demi jadi tunggangan para pejabat daerah termasuk kepala desa.

Wakil Bupati Jumarding, politisi Demokrat, murka bukan main. Bukan sekadar karena anggaran yang dianggapnya boros, tapi juga karena ia mendengar kabar ini bukan dari Bupati, teman berjuangnya di sebuah kontestasi politik ketat, tapi dari pesan berantai di aplikasi hijau. Baginya, itu tamparan keras. Seakan-akan ia bukan lagi orang nomor dua, melainkan sekadar penonton di panggung kekuasaan yang ia turut dirikan.

Murka itu lalu meledak ke publik. Ia menulis rilis pers resmi dan menyampaikannya ke banyak jurnalis. Jumarding menolak keras penggunaan APBD untuk menyewa mobil mewah. “Rakyat lebih penting dari gaya hidup dan gengsi pejabat,” tegas mantan Wakil Ketua DPRD Sultra ini. Dengan nada getir, ia menyebut keputusan ini hanya akan melahirkan pemborosan yang berulang, karena begitu kontrak habis, pasti akan diperpanjang lagi. “Mau ambil dari mana uangnya, kalau APBD kita ini seret?”

Namun alih-alih menenangkan gejolak, Bupati Nur Rahman malah melempar bensin ke api yang sudah menyala. Ia meminta Jumarding mengingat lagi peristiwa lampau, bahwa di sebuah masa, ketika mereka sama-sama berjuang, justru Wakil Bupati-lah yang sepakat soal sewa mobil ini. “Itu janji politik kita. Dulu malah dibahas di rumah Pak Wakil. Ini kebijakan pemerintah. Kita harusnya belajar berpemerintahan yang baik,”  kata Nur Rahman Umar.

Tak berhenti di sana, Nur Rahman menggoreskan sindiran yang lebih tajam. Ia menyinggung posisi Jumarding sebagai Ketua Partai Demokrat Kolaka Utara. Fraksi Demokrat di DPRD, katanya, jelas tahu soal ini. “Masa ketua partai tidak tahu apa yang dibahas fraksinya di dewan? Kalau dia bilang tidak tahu, ya saya juga bingung, tidak tahunya di mana?” ujarnya. Saya mengutip pernyataan ini dari portal online lasusuapos.com.

Retaknya hubungan kepala daerah dan wakilnya bukan hal baru di republik ini. Telah ada tiga pasangan hasil Pilkada 2024 yang hubungannya tak lagi harmonis. Sebelum Kolaka Utara, ada Jember danSidoarjo di Jawa Timur. Di Jember, Wakil Bupatinya benar-benar merasa diabaikan sejak usai pelantikan. Tak ada sama sekali kehadirannya dianggap. Sang Wakil melapork ke KPK, gara-gara ini.

Drama serupa juga terjadi di Sidoarjo. Hubungan keduanya mulai terasa tak sehat sejak Maret 2025. Ada ucapan Bupati Subandi yang dianggap merendahkan DPRD setempat, dimana Fraksi Gerindra menjadi yang terbanyak. Nah, Wakil Bupatinya kebetulan dari Gerindra. Muntab ia. “Kaya kacang lupa kulit, Gerindra yang usung tapi omongan tak dijaga,” kesal sang Wakil.

Konflik di Sidoarjo itu kian panas sepekan lalu saat ada pelantikan puluhan pejabat di daerah itu. Wakil Bupati, seorang perempuan bernama Mimik Idayana merasa tak dilibatkan. Baginya, ada prosedur yang salah dalam tata kelola birokrasi di daerahnya. Ia mengancam bakal melapor ke Kemendagri biar diluruskan.

Kini, dari Kolaka Utara, masalah kembali terjadi. Publik pastilah merasa, urusan kendaraan dinas itu hanyalah titik loncatan. Sejatinya, ada problem lain yang boleh jadi tak elok untuk diungkap yang justru menjadi api utama bagi retaknya hubungan keduanya.

Ada banyak hal yang menjadi pemincu retaknya perjalanan politik sepasang pemimpin daerah. Misalnya, soal pilihan pasangan. Boleh jadi, keduanya tidak benar-benar sejalan sejak awal tapi karena koalisi partai asal dari keduanya, perjodohan pun dipaksakan. Apalagi bila masing-masing memiliki keunggulan dari sisi popularitas dan juga cost politik. Setelah terpilih, friksi pun muncul karena tidak pernah benar-benar satu visi.

Tapi yang paling sering adalah soal distribusi kekuasaan yang tidak jelas. Kepala daerah tentu saja adalah eksekutif utama dimana wakil sering hanya dapat tugas “mendampingi”. Akibatnya, wakil merasa tersisih dan tidak punya peran signifikan lalu muncul kecemburuan politik. Apalagi jika 02 merasa memiliki andil besar dalam kemenangan, tapi tak jelas jatah kekuasaan setelah menang.

Pemicu lainnya adalah rebutan pengaruh politik dan tata kelola birokrasi. Kepala daerah biasanya ingin orang-orangnya mengisi posisi strategis di birokrasi, sedangkan wakil pun ingin punya jatah. Jika terjadi tarik-menarik, yang muncul adalah konflik kepentingan. Kepala daerah, di posisi ini, lalu memilih mengeksekusi sendiri karena “stempel” ada di tangannya.

Kini, retaknya hubungan Bupati dan Wakil Bupati Kolaka Utara bukan lagi sekadar isu, melainkan fakta yang mencoreng wajah pemerintahan daerah. Sumpah di Istana Negara kini tinggal kenangan. Yang tersisa hanyalah drama perebutan panggung, di mana kepentingan rakyat perlahan tergilas di bawah roda-roda mobil dinas yang memicu perang politik.(*)