Ada Tambang yang Tumbang di Pulau Kabaena

Penulis saat berada di sebuah areal produksi pertambangan di sebuah site di Sultra Gambar ini hanya penguat narasi.

 

Pulau Kabaena, lanskap pulau-pulau kecil yang telah lama menjadi lokasi eksploitasi nikel. Nafsu hilirisasi atas nama transisi energi jadi pembenar. Pegiat lingkungan protes karena tambang memicu deforestrasi. Tapi warga lokal juga mengaku terbantu, geliat ekonomi dalihnya. Tambang menggerakan banyak sektor. Ketika operasional usaha berhenti, ada sendu dan tepuk tangan yang hadir bersamaan.

 

Catatan : Abdi Mahatma

Karyawannya banyak. Ada yang menyebut lebih 1000 orang, klaim yang lain memberi angka 812 orang. Satu hal yang pasti, mereka semua adalah manusia produktif, dengan ragam keahlian. Mereka bertahun-tahun bertahan hidup dan menghidupi keluarganya dari satu perusahaan tambang di Pulau Kabaena. Saban hari, dengan uniform khas, helm aneka warna mereka bekerja.

Lalu tiba-tiba, tanpa aba-aba persiapan, tanpa raungan sirine, mimpi menyekolahkan anak sampai setinggi-tingginya seperti buyar. Asa untuk punya rumah layak mendadak jadi samar. Seketika menganggur, kehilangan pegangan dan tentu saja menjawab pertanyaan orang di rumah. “Kenapa Bapak tidak kerja?”.

16 Juni 2025 tepatnya. Dua lembar surat dari manajemen bernomor 001/SKPHK dikeluarkan. Isinya, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), alias pemecatan. Untuk semua karyawan, dari operator alat berat sampai helper, dari ahli K3 hingga admin. Semua diminta keluar site, segera bawa barang-barang pribadi. karyawan juga diminta untuk mengambil barang pribadi yang masih tertinggal di site. Aset Perusahaan semisal laptop, handy Talky, kamera, drone dan alat topografi dikembalikan.

Surat itu diteken Syam Alif Amiruddin, sebagai Direktur Utama. Ia menjanjikan hak-hak karyawan akan diselesaikan sesuai tata cara di Indonesia. Rasanya seperti diputus kekasih, saat sedang sayang-sayangnya, tapi karena orang tua tak restu, semua harus diakhiri. “Semoga kalian menerima putusan ini dengan lapang dada,” begitu bunyi surat sang direktur, dengan tanda tangan bertinta biru.

Perusahaan itu berbendera Tonia Mitra Sejahtera. Orang-orang menyingkatnya jadi TMS. Telah beberapa tahun terakhir, kawasan hutan di wilayah Kabaena Tengah diekplorasi perusahaan ini. Di balik punggung bukit bagian tengah Pulau Kabaena, mereka menyingkirkan setiap yang tumbuh, lengan-lengan besi bekerja siang malam, mengubah wajah hutan jadi hamparan lalu menggali ribuan ton tanah, membawanya ke tongkang-tongkang di tepi laut. Setelahnya dibawa pergi entah kemana. Tanah-tanah itu penuh kandungan nikel, dibarter dengan tumpukan rupiah.

Para pemilik, komisaris dan pemegang sahamnya tentu kaya raya karena itu. Lalu Kabaena dapat apa? Kampung-kampung dikirimi beragam bantuan, ada sumbangan bertajuk Corporate Social Responsibilty (CSR). Warga yang bukan pekerja, disangu dengan berbagai label. Mulai dari uang rumpun, uang debu dan macam-macam. Mereka tak perlu tahu bahwa ada bahaya ekologis yang mengintai, yang mungkin baru terasa dampaknya 10 atau 15 tahun nanti.

Kenapa TMS tiba-tiba tumbang? Tanda-tandanya mulai terlihat sejak 15 Mei lalu, ketika karyawan diminta tinggal di rumah dulu. Lalu muncul surat pengumuman resmi penghentian aktivitas tambang, oleh HRD PT TMS pada 30 Mei 2025. Tapi alasan berhenti, tak ada informasi secara resmi. Mengutip laporan dari media matalokal.com, tumbangnya TMS karena adanya penindakan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH). Ada dugaan, TMS menggarap hutan lindung. Setiap yang baik belum tentu legal, yang benar belum tentu baik. Entahlah..!

Kisah TMS ini mengulang cerita serupa yang dialami sebuah perusahaan dengan bendera PT Surya Saga Utama (SSU). Saat masuk Pulau Kabaena, ia digadang-gadang jadi perusahaan smelter raksasa yang berbasis di Kabaena Utara, bahkan lebih besar dari yang di Morowali. Operasionalnya sudah berjalan, tungku sudah dibangun, mess karyawan didirikan. Lalu tiba-tiba, SSU kolaps di tahun 2019. 544 karyawannya kehilangan pekerjaan. Kini, kawasan SSU telah berubah jadi hutan kembali.

Ketika pertama kali SSU kolaps, tema soal pengangguran juga bermunculan. Pemerintah didesak berpikir karena ada banyak orang kehilangan pekerjaan gara-gara SSU. Perusaah juga sempat berjanji akan kembali dengan “ilmu” yang lebih siap. Tapi seiring waktu, tak pernah lagi ada SSU. Mereka yang pernah bekerja dan kena PHK, semua menyesuaikan dengan keadaan. Tumbangnya satu tambang, bukan berarti kiamat. Mungkin semesta tengah meminta jeda, agar pepohonan yang sudah digusur, bisa hijau kembali.

Setahu saya, tanah Pulau Kabaena tidak pernah membiarkan orang busung lapar, apalagi mati karena tak ada makanan. Tinggal asah parang, buka lahan, lalu bercocok tanam. Seperti yang dilakukan leluhur kita sejak dulu, saat membesarkan anak-anaknya. Mungkin yang terasa adalah, bagi mereka yang tengah mengangsur kendaraan dengan jaminan gaji tapi mendadak semuanya tak jelas. Atau mereka yang selama ini mendapat manfaat tanpa harus jadi karyawan, bisa jadi merasakan perubahan hidup.

Setelah SSU dan TMS, apakah akan ada lagi yang tumbang? Tergantung permainan banyak tangan….!

#AMR, Penyuka Kopi