Dari Tanah yang Sunyi Jadi Simfoni Pembangunan

Catatan dari TMMD ke 124 di Matausu, Bombana

Oleh: Letkol Inf Andi Irfandi, S.I.P.

Komandan Satgas TMMD ke-124 Kodim 1431/Bombana

 

Di ujung tenggara Sulawesi, tersembunyi sebuah kecamatan bernama Matausu, sebuah lukisan alam yang nyaris tak tersentuh zaman. Hutan-hutan membentang sejauh mata memandang, hijau dan rimbun seolah menyimpan rahasia ribuan tahun. Sungai-sungai mengalir tenang, membelah bumi dengan kejernihan yang memantulkan langit. Di pagi hari, kabut turun perlahan menyelimuti perbukitan, menebarkan kesejukan dan aroma tanah basah yang menenangkan. Matausu adalah surga kecil yang belum sempat dijamah terlalu dalam oleh tangan-tangan modernitas.

Namun, di balik ketenangan yang memesona itu, tersembunyi kesunyian yang lain. Bukan kesunyian alam, melainkan diamnya harapan-harapan yang terperangkap oleh jalanan berlubang dan jembatan reyot yang nyaris menyerah pada waktu. Setiap langkah menuju dan dari Matausu seperti menantang nasib. Akses yang terbatas membuat kehidupan di sana berjalan lambat, kadang terseok. Warga tak mengeluh mereka terbiasa bertahan namun setiap genangan di jalan dan setiap papan jembatan yang berderak adalah bisikan lirih bahwa mereka tak pernah benar-benar didengar.

Sunyi yang menjerat bukan hanya di fisik, tapi juga di rasa seolah tempat ini dilupakan oleh sejarah dan pembangunan. Padahal, di balik rumah-rumah kayu dan hamparan ladang, ada anak-anak yang punya cita-cita, ada ibu-ibu yang menyimpan harapan, dan para ayah yang bertahan dengan sisa-sisa tenaga agar keluarganya tetap hidup dan bermimpi. Mereka hanya butuh satu hal jembatan menuju perhatian.

 

Langkah Awal TMMD ke-124

Kedatangan kami ke Matausu bukan sekadar kunjungan biasa. Di balik langkah-langkah sepatu lars dan deru kendaraan berat, tersimpan sebuah misi mulia membawa cahaya ke sudut-sudut negeri yang terlalu lama tertinggal dalam bayang-bayang. TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-124 yang dibuka secara resmi pada 6 Mei 2025 oleh Bupati Bombana, Ir. H. Burhanudin, M.Si, menjadi penanda bahwa negara belum lupa. Dalam sambutannya, Bupati Burhanudin menegaskan, “TMMD ini adalah bukti nyata bahwa negara hadir di tengah masyarakat, membangun tidak hanya infrastruktur, tetapi juga semangat dan harapan. Kami ingin masyarakat tahu bahwa mereka tak sendiri.” Bahwa keadilan sosial tak seharusnya hanya tinggal janji di atas kertas.

Penandatangan naskah TMMD Ke 124 sebagai tanda akan di mulainya pembangunan

 

Di sinilah kami berdiri, saya dan pasukan di bawah panji Kodim 1431/Bombana, memulai langkah dari titik nol. Bukan hal mudah, membelah belantara dengan alat seadanya, menembus medan yang keras tanpa jaminan apa pun kecuali tekad. Tapi kami tahu, membangun negeri bukan selalu tentang kegiatan besar di kota-kota megah. Kadang, ia bermula dari satu jalan kecil di desa terpencil, dari satu jembatan yang kembali menghubungkan harapan.

Kami membawa semangat gotong royong, bukan hanya sebagai nilai tradisional, tapi sebagai strategi utama. Dengan bahu membahu antara TNI dan warga, kami melangkah dari titik gelap menuju cahaya pembangunan. Setiap tetes keringat dan percikan lumpur di tubuh adalah bukti bahwa kerja keras tak pernah sia-sia. Dari sinilah cerita dimulai cerita tentang membangunkan sunyi menjadi nyala kehidupan.

 

Jembatan Harapan, Jembatan Kehidupan

 

Tahap pembuatan pondasi jembatan

 

Salah satu kenangan yang paling membekas di hati kami adalah saat membangun jembatan di Desa Morengke. Di tengah heningnya lembah, diiringi gemericik air sungai dan semilir angin yang membawa harum tanah basah, kami menyaksikan harmoni luar biasa antara manusia dan alam. Satgas TMMD Kodim 1431/Bombana dan warga, tanpa sekat, bergandengan tangan, berbagi keringat dan tawa.

Batu-batu besar diangkat dari dasar sungai yang dingin, dipanggul bersama di bawah terik matahari yang membakar. Mereka menyusunnya dengan penuh teliti di atas pondasi kokoh panjang lima meter dan lebar tiga meter. Namun yang lebih berat dari batu adalah harapan yang mereka bawa bersama. Setiap ayunan sekop, setiap adukan semen, mengandung doa yang tak terucap semoga jembatan ini bukan hanya penghubung dua sisi daratan, tapi juga penghubung mimpi-mimpi yang selama ini terpisah oleh jurang keterbatasan.

Tak jauh dari sana, di Desa Kolombi, cerita serupa hidup kembali. Jembatan yang rusak kini diperbaiki dengan teknik sederhana, namun penuh semangat dan cinta. Panjangnya enam meter dan lebarnya tiga, namun maknanya tak bisa diukur dengan angka. Ia bukan lagi sekadar penghubung antara dua titik, melainkan simbol perjuangan bersama yang dilahirkan dari ketulusan dan keinginan untuk maju.

 

Jembatan yang sudah jadi hasil kerja keras warga dan satgas TMMD

 

Kini, anak-anak tak lagi harus berjalan memutar atau menyeberang sungai dengan risiko besar untuk sampai ke sekolah. Hasil panen bisa diangkut lebih cepat, dan yang lebih penting, harapan bisa melintas tanpa hambatan. Jembatan-jembatan ini adalah saksi bisu bahwa kerja keras dan cinta pada tanah air bisa menjelma menjadi bangunan yang menjembatani masa depan.

 

Akses untuk Masa Depan

Pembukaan jalan usaha tani

 

Setelah jembatan berdiri, jalan usaha tani menjadi prioritas. Di Desa Wia Wia, kami membuka jalan sepanjang 800 meter dengan lebar 4 meter, membelah semak dan ladang, membuka ruang gerak baru bagi petani. Sementara di Desa Lamuru, jalan sepanjang dua kilometer menjadi napas segar bagi warga yang selama ini harus bergelut dengan medan berat hanya untuk menjual hasil panen. Jalan-jalan ini mungkin masih berupa tanah merah, namun bagi mereka, ini adalah permadani harapan yang membentang hingga ke horizon.

Kini, kendaraan roda dua dan empat bisa masuk lebih dalam ke lahan pertanian. Biaya angkut menurun, dan efisiensi meningkat. Anak-anak bisa naik kendaraan ke sekolah, dan warga yang sakit bisa segera dibawa ke puskesmas. Jalan ini bukan hanya akses ke ladang, tapi juga jalan menuju kehidupan yang lebih layak.

“Dulu, kami harus memikul hasil panen sampai ke ujung kampung karena tidak bisa dilewati motor,” kata Pak La Ode Ruma, petani lokal di Desa Wia Wia. “Sekarang, cukup satu kali angkut dengan kendaraan, waktu dan tenaga kami bisa dipakai untuk hal lain.” Pernyataan itu diamini pula oleh Ibu Hasna, warga Desa Lamuru, yang menyatakan, “Dengan jalan ini, kami tidak lagi merasa terisolasi. Rasanya seperti dunia luar kini lebih dekat.”

 

Tempat untuk Bermimpi

 

Pembangunan RTLH yang sudah siap huni

 

Di balik ladang dan jembatan, ada pula rumah-rumah kecil yang menanti disentuh. Rumah Ibu Tina dan Ibu Hanaeni kami renovasi agar lebih layak dihuni. Tidak mewah, tapi cukup untuk melindungi mereka dari hujan, panas, dan ketidakpastian. Di Desa Wia Wia, kami memberikan bantuan tambahan untuk rumah Ibu Salmawati. Karena membangun negeri, bagi kami, juga berarti memastikan bahwa setiap orang punya tempat yang pantas untuk bermimpi dan kembali pulang.

Rumah yang kokoh adalah titik awal dari kemandirian dan kenyamanan hidup. Kami pastikan struktur bangunannya kuat, ventilasi cukup, dan lantainya aman. Di setiap dindingnya, tertulis cerita tentang kehangatan keluarga yang akhirnya bisa tinggal tanpa rasa takut dan was-was. Salah satu penerima bantuan, Ibu Tina, tak kuasa menahan haru saat rumahnya selesai direnovasi. Dengan mata berkaca-kaca ia berkata, “Terima kasih, Pak TNI. Rumah ini bukan hanya bangunan bagi kami, tapi juga tempat lahirnya kembali semangat hidup kami. Saya merasa seperti dilahirkan kembali, punya harapan baru untuk masa depan anak-anak saya.”

 

Infrastruktur Penunjang, Kecil Tapi Penting

 

Proses pembuatan plat duiker di salah satu titik sasaran

 

Kami juga membangun plat duiker di berbagai titik, termasuk di Wia Wia dan Totole, agar jalan yang baru dibuka tidak mudah rusak saat hujan datang. Di Desa Morengke, kami membangun fasilitas MCK dan sumur bor, memberikan akses pada kebutuhan dasar yang selama ini tak selalu tersedia. Kami juga membangun tribun upacara di Wia Wia dan Morengke bukan hanya sebagai tempat seremonial, tapi juga sebagai simbol bahwa desa-desa ini kini punya ruang untuk merayakan diri mereka sendiri.

 

Renovasi Masjid yang menjadi salah satu sasaran kegiatan TMMD

 

Dan di Desa Morengke serta Desa Totole, dua masjid kami rehabilitasi memperbaiki atap yang bocor, mengganti dinding yang rapuh, hingga mengecat ulang agar tampak segar dan nyaman. Semua dilakukan dengan semangat untuk menjadikan tempat ibadah ini lebih dari sekadar bangunan ia adalah nafas spiritual desa, titik temu yang menyatukan warga dalam ibadah dan dialog sosial.

Kepala Desa Morengke, mengungkapkan rasa syukurnya, “Masjid ini dulunya sering kami gunakan dengan keterbatasan. Sekarang sudah diperbaiki, anak-anak bisa belajar mengaji dengan lebih nyaman, dan kami bisa beribadah tanpa khawatir kehujanan. Terima kasih atas perhatian dan kerja keras dari seluruh tim TMMD. Ini akan selalu kami kenang.”

Masjid bukan hanya rumah ibadah, tapi juga pusat kebudayaan desa. Kami ingin tempat suci ini tetap kokoh dan layak, tempat masyarakat bisa berkumpul, berdiskusi, dan membangun kebersamaan yang tulus.

 

Membangun Kesadaran, Menyentuh Pikiran dan Jiwa

Kegiatan penyuluhan dalam dalam kegiatan non fisik

 

Namun membangun tak hanya soal fisik. Kami menyentuh sisi lain yang tak kalah penting pikiran dan kesadaran. Melalui penyuluhan Wawasan Kebangsaan, kami tanamkan cinta tanah air. Lewat penyuluhan bahaya narkoba, kami jaga masa depan generasi muda. Keluarga Berencana, kesehatan, lingkungan hidup, hingga Bela Negara semua kami hadirkan, agar warga Matausu tidak hanya hidup dalam ruang yang layak, tapi juga dalam pemahaman yang kuat sebagai bagian dari bangsa yang besar.

Pendidikan kesadaran adalah pondasi dari pembangunan berkelanjutan. Karena dari kepala dan hati yang tercerahkan, lahir tindakan-tindakan bijak yang akan mengubah wajah desa—bukan untuk sesaat, tapi untuk selamanya.

 

Semangat yang Tak Pernah Padam

 

Gotong royong yang menjadi slah satu kunci suksesnya kegiatan TMMD

 

Di setiap titik kegiatan, ada wajah-wajah yang tak akan pernah kami lupakan warga yang datang bukan untuk meminta, tapi untuk membantu. Gotong royong menjadi ruh dari semua ini. Mereka yang tak punya kekuatan fisik, membantu dengan makanan dan doa. Mereka yang masih sanggup memikul beban, turun langsung bersama kami di lumpur dan batu. Di sinilah kami benar-benar merasa, membangun negeri adalah kerja bersama.

Kami menyaksikan betapa solidaritas masih menjadi akar yang kuat di desa. Dari anak-anak muda yang membawa ember berisi air, hingga para orang tua yang menyambut kami dengan senyuman hangat dan cangkir kopi. Mereka bukan sekadar penonton, mereka adalah pelaku utama pembangunan ini.

 

Kehadiran Tim Wasev, Semangat yang Diperkuat

Kolonel Inf Marthen Pasunda, S.Sos, M.H., ketua Tim Wasev tinjau lokasi kegiatan TMMD

 

Dan di tengah perjalanan ini, hadir pula sosok yang memberi kami semangat baru Kolonel Inf Marthen Pasunda, S.Sos, M.H., yang memimpin langsung kunjungan Tim Wasev. Beliau menyusuri hasil kerja kami, menanyakan kabar warga, dan memberi arahan dengan ketegasan yang menenangkan. Dalam sambutannya di hadapan para personel dan warga, Kolonel Marthen menyatakan, “Apa yang dilakukan di sini adalah pondasi masa depan. Kalian membuktikan bahwa pembangunan bukan hanya tentang kota besar, tapi tentang menyatukan bangsa dari desa-desa yang sering terlupakan.” Kehadiran beliau adalah pengingat bahwa apa yang kami lakukan di pelosok ini tak pernah berdiri sendiri—semua menjadi bagian dari gerakan besar untuk membangun Indonesia, setapak demi setapak.

 

Sunyi yang Kini Bernyawa

Matausu mungkin masih sunyi. Tapi kini, sunyinya telah berubah. Ia bukan lagi kesepian yang ditinggal zaman, tapi ketenangan yang sedang tumbuh pelan, pasti, dan dengan harapan yang tak lagi diam. Karena setiap jembatan yang berdiri, setiap jalan yang terbuka, setiap rumah yang diperbaiki, dan setiap anak yang mendengar penyuluhan, adalah bukti bahwa Indonesia dibangun dari pinggiran oleh tangan-tangan yang percaya bahwa setiap sudut negeri layak untuk diperjuangkan.

Di tempat inilah, dari titik paling ujung, kami menyaksikan bahwa perubahan bisa lahir dari semangat yang tak pernah menyerah, dari kerja yang terus dilanjutkan, dan dari cinta pada negeri yang tak lekang oleh jarak dan waktu.(*)