Catatan :Abdi Mahatma
Mimpi itu sejatinya masih terus dirawat. Ia hanya jeda, tapi tak pernah sekalipun berhenti. Semangat itu tetap dipupuk, disemai dan kelak tumbuh jadi tunas keadilan, pohon kesejahteraan. Kelak, tak boleh lagi ada ibu hamil yang menahan perih ketika harus bertarung melawan gempuran ombak demi mempertahankan nyawa di dalam rahimnya agar bisa lahir. Nanti, kita bakal punya rumah sakit sendiri, yang perawat dan dokternya adalah anak-anak yang dibesarkan dari air Lakambula.
Asa itu tak pernah sekalipun padam. Sumbunya hanya diturunkan karena sumber api memang mengharuskan tak boleh ada bara. Kelak, ketika disulut lagi, maka teranglah kehidupan, cahayanya menyinari anak-anak pulau itu dengan benderang bahagia. Mereka bisa mengayuh sepedanya, menarik pedal gas kendaraannya di atas jalan yang hitam mulus tanpa harus menunggu lagi, jatah anggaran dialokasikan, itupun saat kebetulan diingat.
Demikianlah nyanyian itu terdengar mengalun merdu dari Pulau Kabaena, pulau tua di tenggara Sulawesi yang telah sejak lama menginginkan bisa diberi jatah “merdeka”, agar bisa mengatur sendiri sumber dayanya, mengelola sendiri kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang maju. Ia sangat layak dari semua sisi. Sayang, politik belum menginginkannya lahir lebih cepat. Bahkan untuk operasi cesar pun, bidannya tak memberi izin. Tapi nyanyiannya tetap mengalun setiap saat.
Suatu hari, di tahun 1948, seorang tokoh bernama KH Misbah bahkan pernah menemui Presiden Soekarno. Ikhtiarnya, Kabaena bisa jadi satu wilayah otonom. Tapi ia disarankan untuk bergabung dengan Buton, yang kemudian menjadi induk daerah itu hingga tahun 2003 dalam sebuah bingkai bernama Kabupaten Buton. Kabaena, dalam perjalanan Sejarah, kemudian pamit dari Buton, memilih menginduk ke Kabupaten Bombana, yang lahir tahun 2003 silam.
Skenarionya, setelah Bombana retas, Pulau Kabaena bakal mengusahakan dirinya bisa mandiri. Alasannya, rentang kendali jauh, layanan kesehatan terbatas, urusan administrasi pun demikian. Terpenting, bisa menikmati kue anggaran sendiri, tanpa bergantung kebaikan hati induk. Sayang, skenario semacam itu tak diinginkan sutradara utama negeri ini. Palu moratorium diketuk.
Satu dekade berlalu, harapan untuk bisa menjadi satu daerah otonomi tak sekalipun pernah diterbangkan angin. Ia tetap terjaga, mengendap di sudut jiwa anak-anak Pulau Kabaena, dan hanya menanti waktu. Lalu rezim berubah, dan cahaya itu perlahan terlihat kerlap-kerlip. Iskandar dan Ahmad Yani, dua figur utama orang-orang Pulau Kabaena saat ini, menangkap itu sebagai pertanda, meyakini ini adalah signal bahwa waktunya tak akan lama lagi.
Mereka Ketua DPRD dan Wakil Bupati Bombana. Keduanya menginisiasi, mengajak dan menyatukan lagi harapan orang-orang yang lahir dari beranda Gunung Batu Sangia, yang selama ini berserak. Keduanya duduk paling depan, di sebuah temu akbar para pesohor pulau itu, beberapa hari lalu. Dari gedung DPRD Bombana, semua berkomitmen : Mari kita mulai lagi, dan kali ini tak boleh lagi gagal. Kabupaten Kepulauan Kabaena : Bismillah…!
Kabaena, negeri itu punya semua syaratnya. Jangan tanya kami soal sumber daya alam ; bahkan setengah nikel yang dikeruk dari Sulawesi Tenggara, itu tanah kami. Padi tumbuh subur, sayur tinggal petik. Kebun jambu dan cengkih, komiditas ekonomi warga membentang. Kami hanya dimarginalkan politik. Laut, meski pesisir sudah dicemari aliran lumpur tambang, tapi perairan dalam masih bisa memasok ikan-ikan segar.
Syarat administrasi : Penduduk pulau Kabaena saat ini sudah diatas 35 ribu, bahkan sedikit lebih banyak dari Konawe Kepulauan (Konkep). Coba bandingkan dengan Kabupaten Tanah Tidung di Kalimatan Utara, yang sudah mekar sejak 2007 lalu. Tahu berapa penduduknya, sekarang? Tak sampai 25 ribu jiwa. Berarti, saat mekar 18 tahun silam mungkin tak sampai 20 ribu jiwa. Toh, direstui jadi daerah otonomi. Amat kelewatan jika Pulau Kabaena yang sudah hampir 40 ribu jiwa, masih ditolak juga. Di Kabaena saat ini ada 33 desa yang menyebar di enam kecamatan, dari timur hingga selatan.
Budaya ? Kami sangat kaya. Tahukah kawan, tahun 2022 dan 2024, tetarian dari Kabaena pentas di Istana Negara. Lumense dan Lulo Alu, bahkan membawa nama Sulawesi Tenggara. Nama Kabaena sudah benar-benar naik level. Wisata? Kami punya segalanya. Negeri di awan, eksotisme Sagori, susur gua Batuburi, moleknya pasir di Damalawa. Ah, kami punya semua itu. Politik yang masih tak memihak kami.
Sebagai bagian paling kecil, yang lahir dan tumbuh besar di Pulau Kabaena, hanya ingin menitip harap. Mereka-mereka yang kini dipercaya mengelola asa masyarakat Kabaena, lambarilah perjuangan mewujudkan cita-cita itu dengan ikhlas. Lagu mekar yang mengalun kembali ini, harus dinyanyikan dengan harmoni. Jangan berbeda tabuhan gendangnya. Silakan muncul suara 1, suara 2 atau bahkan suara 3 tapi tetap dengan lagu yang sama. Irama tetap seiring.
Saya yakin, dan itu wajar, dalam perjalanan nanti, riak-riak ego itu pasti muncul. Boleh jadi diskusi tentang saya dapat apa nanti, atau kenapa harus saya kalau yang lain bisa. Itu mungkin bisa jadi pengganggu orkestra besar ini. Tapi, saya yakin, dirijen yang memimpin kali ini, duet Iskandar-Ahmad Yani, bakal bisa mengelola dinamika itu. Negeri itu, tahu caranya berterima kasih dengan indah. Bila ini berhasil, legacy itu sudah dibuat, sejarah sudah dicatat.
Saya membayangkan, bila nanti Kabupaten Kepulauan Kabaena itu ada ; waktu tempuh dari Batuawu di Selatan, ke Dongkala di Timur tak sampai sejam. Karena saat ini, bisa lebih dua jam bonus kendaraan rusak, badan pegal-pegal. Tak akan ada lagi ibu hamil, pasrah digotong menyeberang pulau hanya demi mencari akses kesehatan. Terpenting, saya bisa menulis dari beranda rumah saya di Tirongkotua, mengunggahnya ke media sosial tanpa buffering.(***)
—-
Penulis : Penyuka Kopi yang Lahir di Pulau Kabaena