RAHA, LENTERASULTRA.COM – Pemerintah Kabupaten Muna belum memastikan jadwal pelaksanaan pemilihan kepala desa serentak setidaknya hingga April 2022 ini. Pemkab dan DPRD Muna baru sebatas melakukan kesepakatan politik untuk menggelar hajatan demokrasi itu pada pertengahan Oktober nanti.
Ketidakpastian jadwal itu disebabkan upaya Pemkab untuk menyelesaikan peraturan Bupati tentang petunjuk teknis pelaksanaan Pilkades yang terbilang lamban.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Rustam beralibi jika draf Perbup terlambat disahkan karena menunggu proses revisi Peraturan Daerah nomor 1 tahun 2018 tentang Desa yang baru disahkan medio Februari. Pasal yang direvisi menyangkut usia calon kepala desa dari maksimal 60 tahun menjadi dihilangkan karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Desa nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 112 tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa.
Kendati, draf Perbup tentang petunjuk teknis pelaksanaan Pilkades di Kabupaten Muna tetap dijanjikan tuntas bulan ini. “Drafnya akan difinalisasi dulu di Biro Hukum Setda Sultra. Bulan ini kita usahakan selesai supaya Mei nanti tahapan Pilkades bisa dimulai,” kata Rustam saat ditemui di kantor DPRD Muna, Selasa, 5 April 2022.
Diagendakan sejak Tahun 2019
Wacana Pilkades sudah menggelinding sejak tahun 2019 lalu. Pemkab Muna awalnya merencanakan Pilkades pada Agustus 2019 untuk 35 desa yang masa jabatan kepala desa defenitifnya sudah berakhir tahun 2016 – 2018. Namun agenda itu batal karena tidak didukung dengan kebijakan anggaran.
Pemkab kembali melempar wacana Pilkades pada 2020, namun lagi – lagi diundur karena dinilai dapat menganggu agenda pemilihan Bupati dan wakil Bupati Muna. Ada kekhawatiran potensi konflik ditengah masyarakat.
Pelaksanaan Pilkades kemudian diagendakan tahun 2021 dengan mengikutkan 60 desa. Seluruh persiapan, termasuk anggaran dan pembentukan Desk Pilkades Kabupaten sudah dilakukan. Namun surat edaran Menteri Dalam Negeri terkait penundaan Pilkades untuk mencegah peningkatan penyebaran pandemi Covid – 19 membuyarkan semua rencana tersebut.
Selanjutnya Pilkades diputuskan bergulir tahun 2022. Pemkab merencanakannya pada bulan Maret. Lalu diundur menjadi bulan Juni. Kemudian bergeser lagi menjadi bulan September. Hingga akhirnya Pemkab dan DPRD Muna melalui Komisi I menyepakatinya pada pertengahan Oktober 2022 ini.
Desa Dalam ‘Kuasa’ PNS
Disisi lain, kepemimpinan 124 desa di Kabupaten Muna kini diambil alih pegawai negeri sipil dengan status penjabat Kepala Desa. Para PNS itu berbondong – bondong berkantor di desa secara bergelombang. Periode 2016 – 2018, Pemkab menempatkan 39 PNS sebagai Pj. Kades untuk menggantikan kepala desa defenitif yang purnatugas.
Gelombang kedua ‘migrasi’ PNS ke desa dilakukan Juni 2019 setelah 76 kepala desa defenitif purna tugas. Terakhir, sembilan PNS diangkat Bupati sebagai Pj. Kades pada Juli 2021. Total, saat ini ada 124 PNS yang ‘menguasai’ pemerintahan desa yang tersebar pada 22 kecamatan di Muna.
Sekretaris Komisi I DPRD Muna, Muh. Ikhsanuddin mengakui penempatan PNS sebagai Penjabat kepala desa dengan masa jabatan tiga sampai enam tahun seharusnya tidak dilakukan karena berakibat pada beberapa hal. Pertama menyangkut legitimasi dari masyarakat. Pj. Kades yang ditunjuk Pemda sudah pasti tidak lahir dari aspirasi mayoritas masyarakat. Sehingga dukungan dalam pelaksanaan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan sosial kemasyarakatan akan berkurang.
Kedua ialah efektifitas pembangunan desa. Pj. Kades kerap dipilih tidak berdasarkan kompetensi dan penguasaan wilayah tugasnya. Hal itu membuat akselerasi pembangunan desa terhambat karena kemampuan memetakan kebutuhan prioritas masyarakat yang tidak memadai.
Ketiga ialah potensi terganggunya stabilitas desa karena Pj. Kades tidak lahir dari keinginan mayoritas masyarakat sehingga terkadang menimbulkan pro kontra. Terlebih, tidak sedikit Pj. Kades melakukan bongkar pasang perangkat desa yang memicu timbulnya konflik ditengah masyarakat.
“Pj. Kades ini kan seharusnya tugas utamanya mengawal transisi. Tetapi kalau kelamaan juga akan merugikan desa itu sendiri. Contohnya Desa Bangunsari di Kec. Lasalepa yang belum lama ini berkonflik sampai – sampai Dana Desanya baru bisa cair akhir tahun 2021,” terangnya.
Politisi Gerindra itu melanjutkan, kendati demikian, Pemkab Muna juga dalam posisi dilematis pada konteks Pilkades ini. Pasalnya, regulasi Pilkades mensyarakatkan pelaksanaanya secara serentak. Sementara disisi lain, akhir masa jabatan Kades di Muna memiliki rentang waktu berjauhan. Hal itu diperberat dengan adanya pandemi Covid – 19 sehingga Pemda menghindari potensi kegiatan yang menimbulkan kerumunan massa. Tak kalah berat ialah soal dukungan penganggaran. Dimana akibat pandemi itu, banyak alokasi anggaran yang direfokussing, termasuk untuk Pilkades.
Namun ia menegaskan, kondisi tersebut tak lantas menjadi alasan mengulur pelaksanaan Pilkades. Dirinya juga mengkritik Dinas PMD dan Bagian Hukum, Setda Muna yang lamban menuntaskan regulasi pendukung Pilkades. Waktu empat bulan ini disebut terbuang sia – sia karena Pemda hanya mampu berkutat pada urusan Perbup.
“Masa sampai April ini hanya berputar di Perbup. Berarti kita ini belum memulai tahapan apa pun sebenarnya. Tetapi kami di DPRD berkomitmen mengawal Pilkades agar tetap dilaksanakan tahun ini, paling lambat Oktober. Sehingga, tidak akan ada lagi istilah penundaan,” sebutnya.
Dianggap Cara Merampas Hak Otonomi Desa
La Husen Zuada, akademisi yang membuat karya tulis tentang desa di Sulawesi Tenggara dan diterbitkan dalam jurnal internasional scopus Q2 di Lithuania (Eropa) berpendapat, penempatan PNS sebagai Pj. Kades memang tidak melanggar regulasi, namun tetap dianggap bertentangan dengan semangat UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Terlebih, jika masa jabatan Penjabat sudah setara satu periode kepala desa defenitif.
Menurutnya, UU nomor 6 tahun 2014 yang merupakan turunan UU nomor 23 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, mengamanatkan adanya otonomi bagi desa. Desa diberi hak mengatur dirinya sendiri sesuai dengan nilai kearifan lokal desa, tanpa adanya intervensi dari pemerintah diatasnya. Otonomi desa itu meliputi program pembangunan desa, penganggaran, termasuk dalam hal menentukan pemimpin sendiri.
“Dalam hirerarki pemerintahan, desa itu sesungguhnya sudah menjadi pemerintahan tingkat ketiga setelah provinsi dan kabupaten. Desa memiliki otonomi yang secara indenpen mengatur dinamika pembangunan, penganggaran dan sosial kemasyatakatannya sendiri,” kata Magister Ilmu Politik, Universitas Indonesia itu.
Pria kelahiran Muna yang kini menjadi Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Tadulako, Palu itu menganggap PNS merupakan bagian dari unsur pemerintah daerah sehingga kehadirannya di desa berpotensi membuka ruang intervensi daerah terhadap otonomi desa. Ada potensi ‘mengatur’ penganggaran desa, penempatan perangkat desa hingga penentuan program bantuan dan pembangunan yang sesuai ‘selera’ Pemda. Padahal seringkali hal itu mengabaikan hak desa untuk mengatur dirinya sendiri sesuai kearifan lokalnya. Termasuk pula, menghambat proses demokratisasi desa dalam menentukan pemimpinnya melalui proses Pilkades.
“Juga yang berbahaya ialah potensi menggarap dana desa untuk kepentingan pemerintahan di atas,” paparnya.
(Ode)